Kembali ke Hukum Kolonial, RUU Kejaksaan Dinilai Berikan Kewenangan Berlebih kepada Jaksa

Selasa 29-09-2020,00:02 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

JAKARTA - Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (RUU Kejaksaan) dinilai akan mengembalikan sistem hukum di Indonesia kembali ke zaman Belanda.

Sebab, RUU dinilai akan memberikan kewenangan yang berlebihan terhadap jaksa dalam penegakan hukum. Sedangkan Polisi hanya sebagai pembantu jaksa.

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, Mudzakir mengatakan, RUU Kejaksaan jangan memberikan kewenangan berlebihan kepada jaksa dalam menyelesaikan kasus pidana.

Menurutnya, pasal di RUU Kejaksaan yang memuat memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada jaksa, sama saja dengan mengembalikan sistem hukum di Indonesi ke zaman kolonial Belanda.

“Kalau sekarang jaksa diberi kewenangan penyelidikan dan penyidikan, itu sebenarnya kita kembali pada Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) zaman Belanda dulu. Jadi balik lagi ke sono,” katanya melalui keterangan tertulisnya, Minggu (27/9).

Dikatakannya, dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan, bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan UU.

Menurutnya, prinsip RUU Kejaksaan tersebut seperti prinsip HIR dulu, dimana jaksa sebagai penuntut sekaligus berwenang melakukan penyidikan. Sedangkan, Polisi hanya sebagai pembantu Jaksa. “Sistem hukum seperti itu sudah tidak sesuai lagi apabila ingin diterapkan sekarang. Karena, kepolisian sekarang sudah mulai berubah, sedikit demi sedikit, tahap demi tahap, menuju proporsional,\" ungkapnya.

2

Diakuinya, masa kini penegakan hukum kepolisian menjadi masalah, sejak cara penegakan hukum menjadi diskriminatif karena dicampur-campur dengan politik. “Dimana hanya mengabdi pada penguasa, bukan penegak hukum yang independen. Maka, polisi yang harus berubah dan tidak boleh main-main politik penguasa,” terangnya.

Di sisi lain, dia juga berpendapat jaksa memang perlu turut ke lapangan mengawasi kinerja kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana.

“Misalnya, jaksa tidak lagi berada di belakang meja tapi harus sama-sama turun ke lapangan. Kalau Jaksa di belakang meja, tentu tidak mengerti suasana kebatinan suatu perkara sehingga bagaimana bisa menuntut adil karena tidak mengerti suasana kebatinan,\" katanya.

Sedangkan polisi sangat mengerti suasana kebatinan karena turun ke lapangan misalnya ada pembunuhan dan lainnya. “Jaksa tidak lagi di belakang meja, tapi harus di depan meja dan dia harus mengerti jiwa suatu perkara. Menjiwai suatu perkara, ya harus melihat perkara pada saat kejadian, bukan saat di berkas,” tandasnya.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menyesalkan ada pasal yang memberi kewenangan berlebihan terhadap kajaksaan. “Terkesan jaksa selain menjadi penuntut, penyidik juga, advokat juga. Karena itu, harus dibatasi,” katanya.

Dia menilai, ada kesan Kejaksaan serakah terhadap wewenang dan tugas dalam penegakan hukum dalam revisi UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan.

Menurutnya, kewenangan jaksa sebagai penyidik harus dibatasi dan diletakkan pada proporsinya, yakni hanya menangani perkara tindak pidana tertentu saja.

Selain polisi, katanya, selama ini penyidikan juga bisa dilakukan oleh PPNS atau penyidik PNS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tags :
Kategori :

Terkait