Rupanya mengubah batu bara menjadi gas harus skala besar. Dengan teknologi yang canggih. Artinya: yang mahal.
Begitu mahal investasi gasifikasi itu, bisa-bisa gas yang dihasilkannya tidak lebih murah dari gas alam.
Gasifikasi yang direncanakan PT Bukit Asam di Sumsel (kini di bawah grup BUMN PT Inalum?) misalnya, memerlukan investasi Rp42 triliun.
Untuk itu, perusahaan tambang batu bara di Tanjung Enim tersebut menggandeng perusahaan gas raksasa dari Amerika Serikat. Yang berpusat di Pennsylvania: Air Products.
Maka kajian proyek gasifikasi memang harus mendalam. Termasuk menentukan jenis gas apa yang ingin dihasilkan.
Kalau hanya diubah menjadi metana berarti hanya bisa untuk bahan bakar. Mau dialirkan ke mana? Tanjung Enim itu di pedalaman. Kita masih sangat lemah di bidang jaringan pipanisasi gas metana.
Memang ideal kalau gas metana itu dialirkan ke seluruh dapur emak-emak di kota-kota besar. Tapi jaringan pipanya tidak ada.
Maka seperti Bukit Asam memilih akan memproduksi DME —metana yang diolah. Berarti diperlukan investasi tambahan lagi.
Negara sebenarnya sangat memerlukan DME ini. Bisa untuk menggantikan LPG. Yang penggunaannya terus melambung. Yang 75 persennya harus diimpor.
Tapi dengan investasi Rp42 triliun bisa-bisa harga jual DME dua kali lebih mahal dari LPG.
Benar-benar tidak mudah. Pun sudah dicurigai akan menikmati royalti 0 persen.
Selain Bukit Asam, tiga raksasa batu bara sebenarnya juga sudah tertarik ke proyek gasifikasi: Adaro, Kaltim Prima Coal dan Arutmin. Mereka sudah melakukan studi. Pun sebelum ada UU Omnibus Law.
Sekarang ini dunia energi memang sedang di persimpangan jalan. Antara energi lama dan baru.
Hilirisasi batu bara akan menghadapi kalkulasi bisnis yang rumit. Ada atau tidak ada retribusi 0 persen.
Hilirisasi nickel kelihatannya di ambang sukses. Hilirisasi batu bara menjadi sangat menantang.
Jangan-jangan seperti ekspor benur lobster. Yang serius malah rugi. Yang untung adalah yang mampu memboncengnya. (dahlan iskan)