ROBERT Lai sangat mengkhawatirkan saya. Demikian juga Meiling.
Khas orang Singapura. Yang tidak pernah mendengar ada teman terkena Covid-19.
\"Jadi, saya ini satu-satunya teman Anda yang terkena Covid?\" tanya saya pada Robert.
\"Iya,\" jawabnya. \"Saya sampai panik.\"
\"Lho, kan banyak orang Singapura yang terkena Covid?\" kata saya, menunjuk angka 59.250 (sakit) dan 29 (meninggal).
\"Itu hampir semua pekerja asing,\" jawabnya. Yakni pekerja asal India atau Bangladesh. Atau Myanmar.
Buruh proyek bangunan. Yang ditampung di asrama yang padat. Di awal pandemi dulu.
Tidak ada teman atau keluarga yang terkena Covid. Kita dulu juga begitu. Di Indonesia. Kalau ada orang terkena Covid itu hanya dalam berita. Entah siapa dia. Temannya teman pun bukan.
Kian lama kian dekat. Mengenai temannya teman. Lalu mengenai teman sendiri. Dan sekarang mengena pada diri sendiri.
Kita pun makin biasa mendengar punya teman terkena Covid. \"Benar, Anda satu-satunya teman saya yang terkena Covid,\" jawab Meiling, untuk pertanyaan yang sama.
Dia pernah ke rumah saya di Surabaya. Bersama suami dan anaknyi. Juga mertuanyi. Yang punya banyak Ferrari.
Itu Februari 2020. Mereka datang mengenakan masker semua. Kami tidak.
Mereka terheran-heran. Begitu mendarat di Juanda seperti tidak ada apa-apa. Tidak ada pemeriksaan virus. Tidak ada yang pakai masker.
Waktu itu orang Singapura sudah panik. Kita masih bangga: Covid tidak mau masuk Indonesia –dengan guyon prosedurnya berbelit-belit dan harus menyogok.
\"Semua teman saya di Singapura berhati-hati. Waspada. Demikian juga saya dan keluarga. Semua ikut apa kata pemerintah. Hanya Anda ini yang sembrono dan nakal,\" ujar Meiling.