JAKARTA - Posisi keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 31 Desember 2020 masih defisit. Nilainya mencapai Rp6,36 triliun.
Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan kondisi keuangan BPJS Kesehatan mengalami surplus dari sisi arus kas sebesar Rp18,74 triliun pada akhir 2020. Namun, ternyata BPJS Kesehatan masih memiliki komponen lain yang mengurangi arus kas tersebut, dengan total mencapai Rp25,15 triliun.
“Sekarang aset netto per 31 Desember 2020 dana jaminan sosial kesehatan masih minus Rp6,36 triliun. Jadi kalau arus kas uangnya yang ada sekitar Rp18,74 triliun tapi ini belum membayar kewajiban seperti IBNR,” katanya saat Rapat Kerja Dengan Komisi IX DPR, Rabu (17/3).
Dijelaskannya, dari nilai surplus Rp18,74 triliun, BPJS Kesehatan masih memiliki kewajiban yang harus dibayar sebesar Rp25,15 triliun. Kewajiban tersebut terdiri atas incurred but not reported (IBNR) atau klaim yang sudah terjadi namun belum ditagihkan fasilitas kesehatan, lalu klaim dalam proses verifikasi atau outstanding claim (OSC), dan utang atau klaim dalam proses bayar.
Dia menrinci, kewajiban membayar OSC sebesar Rp 1,16 triliun. Lalu untuk IBNR sebesar Rp 22,80 triliun, dan utang BPJS Kesehatan Rp 1,19 triliun.
“Jika antara saldo kas dan kewajiban dijalankan, maka BPJS Kesehatan masih defisit Rp6,36 triliun,” katanya.
Dengan demikian, aset bersih masih negatif atau defisit Rp6,36 triliun sehingga kondisi keuangan dana jaminan sosial belum “sehat” sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan, kondisi keuangan dana jaminan sosial kesehatan bisa dikatakan aman jika memiliki aset yang mencukupi estimasi pembayaran klaim 1,5 bulan ke depan atau sekitar Rp13,93 triliun.
“Jika ada aset netto sebesar Rp13,93 triliun, maka dana jaminan sosial kesehatan bisa dipersepsikan aman. Namun, sekarang BPJS Kesehatan masih defisit Rp6,36 triliun,” katanya.
Dikatakannya, pada 2019 terjadi gagal bayar sebesar Rp15,508 triliun. Pada Januari-Juni 2020 masih terjadi gagal bayar. Tetapi, mulai Juli 2020 dan seterusnya, tidak terjadi gagal bayar.
“Tahun-tahun sebelumnya memang terjadi gagal bayar di BPJS Kesehatan artinya sudah waktunya rumah sakit itu klaim dan sudah beres klaimnya itu kita belum bisa bayar jadi gagal bayar. Ini yang kemudian disampaikan BPJS surplus Rp 18,74 triliun,” ucap Ali.
Sebelumnya, Fahmi Idris, saat menjadi Direktur Utama BPJS Kesehatan menuturkan kenaikan iuran pada 2020 menjadi salah satu faktor yang membuat keuangan BPJS Kesehatan surplus. Menurutnya, iuran peserta saat ini membuat keuangan menjadi BPJS Kesehatan lebih kuat.
“Salah satu faktor utama adalah penyesuaian iuran, ini akan lebih sustainable (berkelanjutan) saat iuran disesuaikan,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Senin (8/2).
Kenaikan iuran ini tertuang dalam PP Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Berdasarkan beleid itu, iuran kepesertaan mandiri kelas I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu per peserta.