Bye-Bye 380

Sabtu 20-03-2021,08:15 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

DUA jenis pesawat ini tidak akan diproduksi lagi. Minggu ini keduanya diluncurkan untuk kali terakhir. Satu dari keluarga Boeing (Amerika) dan satunya lagi dari Airbus (Eropa). Itulah nasib jenis pesawat Boeing 787 dan Airbus A380. Dua-duanya ternyata kurang laku. Padahal orang seperti saya sangat kagum dengan A380 itu.

Indonesia pernah merencanakan membeli A380. Yakni untuk angkutan jamaah haji. Dananya pun akan dipinjam dari dana haji. Hitungan sudah dibuat: masuk. Di luar musim haji masih bisa untuk pelayanan umrah.

Batal.

Tidak ada bandara yang bisa didarati A380. Landasan terlebar kita, di Soekarno Hatta, Cengkareng, masih kurang lebar. Memang bidang aspalnya sudah cukup. Roda-rodanya bisa menggelinding sempurna di aspal. Tapi posisi mesin terluar A380 masih akan terlalu dekat dengan rumput.

Anda sudah tahu: A380 itu mesinnya empat buah. Dua di sayap kanan, dua lagi di sayap kiri. Era pesawat-besar-empat-mesin sebenarnya sudah dikoreksi oleh Boeing 777. Pesawat berbadan lebar tidak lagi harus bermesin 4. Begitu besarnya B777 tapi tetap bisa dengan 2 mesin. Efisiennya bukan main. Maka B777 laris sekali. Sampai tahun lalu, sebelum pandemi, sudah ada 1.598 pesawat B777 yang mondar-mandir di langit biru. Masih ada 500 lagi order yang belum dikirim.

Itulah pesawat berbadan lebar yang paling sukses penjualannya. Itu sekaligus mengakhiri sejarah pesawat berbadan lebar sebelumnya: Boeing 747. Yang bermesin 4 buah. Yang bagian depannya dua tingkat itu. Yang saya terkagum-kagum ketika kali pertama menaikinya: Lufthansa.

Dari 598 buah Boeing 747 yang pernah dibuat, tahun ini tinggal 25 pesawat yang masih mengudara. Selebihnya sudah harus pensiun. Yang masih mengudara itu pun sebagian besar pesawat cargo. Yang tanpa jendela kaca itu. Yang moncong depannya bisa dibuka: dari moncong depan itulah barang-barang berukuran besar dikeluarkan dari pesawat.

Saya pernah mencarter B747. Dari Jerman ke Jakarta. Itu karena saya \'kalah janji\'. Waktu itu saya baru diminta mengambil alih manajemen harian Merdeka. Yang meminta adalah pemiliknya sendiri: BM Diah –tokoh pers masa lalu dan juga pernah menjabat menteri penerangan.

Saat Merdeka diserahkan ke kami oplahnya tinggal \'\'satu becak\'\' –mengutip kata-kata Margiono yang saya tugaskan menjadi dirut barunya.

Saya bilang kepadanya: kapan pun oplah Merdeka meningkat menjadi 40.000 saya belikan mesin cetak yang baru dan yang besar. Saya pikir target itu baru tercapai 2 tahun kemudian.

Ternyata, dalam 6 bulan, oplah Merdeka melewati angka 40.000. Saya kaget. Tapi saya tidak pura-pura lupa. Saya pun kontak ke relasi di Jerman: apakah ada mesin baru yang siap dikirim.

Saya tahu: cara membeli mesin cetak web offset tidak seperti itu. Harus tanda tangan kontrak dulu baru mesinnya dibuat. Dua tahun kemudian baru bisa dikirim. Perjalanannya pun bisa dua bulan –naik kapal dan mampir-mampir pelabuhan lain.

Ternyata saya dapat jawaban yang tidak kalah mengejutkan: ada mesin baru yang siap dikirim. Kebetulan ada order dari Israel yang tiba-tiba dibatalkan. Saya bisa membelinya dengan harga 2 tahun sebelumnya –saat mesin itu dipesan.

Dua hari kemudian mesin itu sudah tiba di Cengkareng, Jakarta. Dinaikkan Boeing 747 cargo. Margiono memang hebat. Tidak heran kalau kelak –delapan tahun lalu– terpilih sebagai ketua umum PWI Pusat. Pun terpilih lagi untuk periode kedua.

Itulah kenangan manis bersama Boeing 747. Tidak lama lagi pesawat jenis itu akan hilang dari langit. Kalah efisien dengan \'\'adik\'\'-nya, Boeing 777, yang bermesin dua. Yang begitu laris –apalagi kalau tidak ada pandemi lagi.

Tags :
Kategori :

Terkait