BANDUNG – Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Jawa Barat (Jabar) sekaligus Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono menyoroti kenaikan impor gandum yang mencapai 11 juta ton. Hal tersebut disebabkan perubahan konsumsi masyarakat terutama anak muda yang hobi makan mie instan.
“Kita ribut soal impor beras yang mencapai 1 juta ton. Tapi impor gandum yang kini mencapai 11 juta ton adem-adem saja. Kenapa gandum meningkat? Karena ada perubahan pola konsumi di masyarakat terutama anak muda,” ucap Ono di Kota Bandung, Jum’at (19/3).
“Sekarang dalam 1 hari tidak semua makan beras, tapi makan mi hingga akhirnya impor gandum melonjak hingga 11 juta ton gandum. Ini tentunya harus kita sikapi juga,” imbuhnya.
Tak hanya itu, ia pun menyoroti soal neraca garam yang menurutnya cukup membingungkan. Seperti yang dilaporkan Menko Maritim dan Investasi kebutuhan untuk farmasi 5.000 ton, aneka pangan 612 ribu ton, untuk industri 2,4 juta ton,
“Saya hitung totalnya 6 juta ton. Pemerintah kemudian memberikan izin impor garam 3 juta ton, tapi di sisi lain produksi dalam negeri mencapai 2,1 juta ton sehingga bila ditotal semua 5,1 juta ton. Nah ini neraca seperti apa, kok bisa berlebih seperti itu,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, Indonesia adalah negara yang memiliki garis pantai di kisaran 84 ribu hingga 120 ribu kilometer. Anggap saja garis pantai Indonesia adalah 80 ribu kilometer. Daerah pemilihannya Kabupaten Indramayu, daerah produsen garam terbesar di Jawa Barat.
“Bila saya hitung panjang pantai Kabupaten Indamayu mencapai 147 km dan mampu memproduksi garam 37 ribu ton garam setahun dengan asumsi Januari – Mei itu tidak ada produksi karena musim hujan. Sehingga bila kita hitung dengan panjang pantai 80 ribu kilometer, seharusnya kita punya potensi 20 juta ton garam per tahun,” ungkapnya.
Ono berharap Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat menggali potensi daerah penghasil garam lain di Indonesia, mengingat daerah produsen garam di Indonesia masih minim.
“Hanya dengan teknologi sederhana sudah dapat dihasilkan garam putih dengan kandungan nacl yang cukup tinggi. Sehingga tentunya garam juga harus kita sikapi betul,” terangnya.
Terlebih, kata dia, teknologi produksi garam juga tergolong mudah dan tidak ribet. “Jangan sampai semua regulasi yang berkaitan dengan importasi apapun pada akhirnya menurunkan produksi, seperti pada tahun 80-an di mana Indonesia berhasil swasembada bawang putih. Tapi ketika mulai diotak-atik oleh oknum agar dibuka keran impor, habislah. Garam saat ini harganya cuma harga Rp100 per kilo, siapa yang mau jadi petani garam,” pungkasnya. (win)