Solusi Istana Tak Jitu

Minggu 25-08-2013,09:10 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

*Paket Kebijakan Dinilai Tidak Berdampak Jangka Pendek   JAKARTA - Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi permasalahan rupiah, tampaknya masih jauh dari harapan pasar. Kalangan pengusaha menganggap berbagai solusi pemerintah itu belum bisa menghilangkan efek yang mengakibatkan rupiah melemah. Banyak pihak menyatakan masih menunggu kelanjutan konkret dari komitmen pemerintah untuk menilai dampak paket kebijakan tersebut. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit mengatakan, paket ekonomi pemerintah bisa dikatakan tidak jitu alias belum menyentuh inti permasalahan. Misalnya, rencana pemerintah untuk memberikan insentif pajak kepada perusahaan padat karya yang mengekspor 30 persen produknya. Hal tersebut dilakukan karena lesunya kinerja industri padat karya menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya kinerja ekspor Indonesia. Dibarengi dengan konsumsi produk impor yang terus meningkat, neraca perdagangan pun negatif Rp9,8 triliun. ”Masalah pemerintah yang bakal mengurangi pajak bagi industri padat karya itu tidak signifikan. Pajak itu hanya berkontribusi 10 persen dari beban perusahaan. Yang jadi inti persoalan adalah (upah) buruh yang sudah mencapai 30 persen dari beban perusahaan. Kalau pemerintah memang mau membantu, seharusnya regulasi tentang ketenagakerjaan yang diurus,” ujar Anton saat diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, kemarin (24/8). Anton mengatakan, pihak perusahaan –terutama yang bersifat padat karya– memang merasakan hambatan dari aspek tersebut. Permasalahan buruh tidak hanya membuat beban perusahaan jadi lebih besar, namun juga kinerja tak kondusif. Misalnya, buruh sering melakukan sweeping. Kejadian tersebut sering diabaikan pihak berwenang. Akibatnya, investor terus mengeluhkan masalah keamanan dalam mengoperasikan perusahaan di Indonesia. ”Indonesia ini memang aneh. Saat keadaan buruk baru mengeluarkan kebijakan baik. Seperti upah buruh yang katanya sudah tidak zaman kalau masih dalam besaran itu. Tapi, setelah sudah telanjur, sekarang baru presiden bicara soal upah. Itu pun ternyata langkah yang ditempuh kurang tepat. Ini seperti sakit flu tetapi diberi obat jantung,” tegasnya. Karena langkah yang dilakukan tidak jitu dan kurang mendapat respons, Anton mendesak pemerintah untuk melakukan langkah yang lebih konkret. Di antaranya, berkaitan dengan kepastian hukum dalam mengoperasikan perusahaan di Indonesia. Juga, peningkatan kinerja pendukung industri seperti infrastruktur. ”Contohnya, pernyataan Pak Presiden yang saya harus dipuji. Saat diberi tahu tentang ini, dia bilang ke Menko Polhukam untuk segera memberantas penyelundupan. Itu sangat konkret karena saya juga yakin masih banyak yang menyelundupkan barang ke dalam negeri. Itulah yang mendistorsi kinerja produk dalam negeri,” ungkapnya. Di tempat sama, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, kebijakan yang dipilih pemerintah masih bersifat jangka menengah. Menurut dia, regulasi tersebut belum bisa memberikan dampak dalam jangka pendek. ”Penyebab kurs rupiah yang terus melemah adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah. Kalau ternyata DHE (devisa hasil ekspor) sudah masuk ke negara, kenapa mereka lebih percaya dolar daripada rupiah?” tegasnya. Karena itu, Enny meminta pemerintah merumuskan regulasi untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. ”Sekarang bagaimana masyarakat mau percaya, nota keuangan pemerintah saja selalu meleset. Jadi, ini butuh penanganan yang cepat. Misalnya, kebijakan untuk mengurangi impor pemerintah dengan menggunakan biofuel. Kita perlu tahu insentif apa yang diberikan ke produsen biofuel agar efek bisa dirasakan secepatnya,” ungkap dia. Mendengar kritik tersebut, Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Keuangan M Ikhsan Modjo mengaku, memang dampak empat paket kebijakan moneter masih belum bisa dirasakan dalam waktu dekat. Sebab, kebijakan tersebut memang menangani likuiditas dolar secara bertahap. ”Jadi, sebenarnya ini tidak bisa dibilang krisis yang sama dengan 1998. Hanya, masyarakat merasa kaget karena inflasi dalam bulan ini sangat tinggi. Bulan depan juga saya perkirakan masih bertambah 1,5-2 persen. Tapi, setelah itu, regulasi akan bertambah,” jelasnya. Soal kebijakan, Ikhsan mengatakan bahwa pemerintah sudah mengambil langkah yang tepat. Sebab, regulasi dalam paket-paket yang diberikan pemerintah menyentuh dasar permasalahan. Misalnya, upaya mengubah sistem impor bahan-bahan pangan. Dia menegaskan, harga bahan pokok naik karena pasokan yang langka. Itu berkontribusi cukup besar. Ditambah, upaya impor dinilai sangat lambat sehingga tak bisa secepatnya menangani inflasi. ”Kalau kuota kan prosesnya berbelit-belit. Harus menentukan berapa yang diimpor, siapa yang boleh mengimpor. Akhirnya, seperti yang terjadi Lebaran ini, upaya impor masih terhambat dan membuat kondisi ekonomi berlarut-larut. Kalau diubah menjadi dasar harga, bisa lebih cepat mengendalikan volatile food (harga pangan yang bergejolak, red). Tapi, tidak berarti sedikit-sedikit impor,” jelasnya. Sebelumnya pemerintah menyampaikan empat paket kebijakan ekonomi untuk mengatasi gejolak di sektor keuangan. Empat paket yang dipaparkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa itu menawarkan upaya untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan. Misalnya, mendorong ekspor dengan memberikan additional deduction tax untuk sektor padat karya yang memiliki ekspor minimal 30 persen dari total produksi. Atau, menurunkan impor migas dengan meningkatkan penggunaan biodiesel dalam porsi solar. Pada bagian lain, mantan anggota Komisi BUMN DPR M Misbakhun meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berpikir ulang atas rencana BUMN melakukan pembelian kembali (buyback) saham BUMN di bursa di tengah kejatuhan IHSG. ”Perlu diingatkan bahwa OJK perlu bekerja profesional dan independen dalam menghadapi gejolak turunnya nilai tukar rupiah atas dolar dan turunnya IHSG,” tutur Misbakhun. Dia menanggapi pernyataan Ketua OJK Muliaman D Hadad yang akan membuat aturan buyback saham oleh BUMN. Menurut Misbakhun, OJK harus mengingat bahwa tugas utama BUMN bukan melakukan buyback saham. Penyelamatan IHSG juga bukan tugas BUMN. Idealnya, OJK membiarkan BUMN bekerja sesuai dengan bidang masing-masing. Dia menjelaskan, apabila BUMN diminta menyelamatkan krisis seperti saat ini, publik akan kembali diingatkan pada kasus bailout Bank Century, saat BUMN diminta menempatkan dananya di bank bermasalah tersebut. ”Akibatnya, pemerintah terpaksa harus mem-bailout Bank Century karena, antara lain, ingin menyelamatkan dana BUMN yang telanjur disimpan di sana,” ujar Misbakhun. Dia menekankan, OJK tidak perlu menjadi lembaga yang membuat payung hukum untuk melegalkan buybuck. Sebab, itu bukan tugas OJK. Selain itu, OJK seharusnya menyadari bahwa ada risiko pada masa mendatang apabila kebijakan buyback saham oleh BUMN dilakukan. ”Siapakah yang akan menanggung kerugian apabila buyback tersebut gagal mengangkat IHSG\" Maka, kerugian buyback tersebut menjadi tanggungan sepenuhnya BUMN,” jelasnya. ”Yang pasti, akan memengaruhi kinerja BUMN dan proyeksi kinerjanya. Akibat secara keseluruhan akan memengaruhi laba BUMN yang harus disetorkan ke APBN,” lanjutnya. Menurut Misbakhun, bila ingin ikut menyelamatkan ekonomi negara, OJK tidak harus melakukan buybuck saham semata. Sebab, menyelamatkan perekonomian negara tidak identik dengan menyelamatkan IHSG. ”IHSG hanya komponen kecil dalam struktur ekonomi negara. Sumbangsih pasar modal pada pertumbuhan ekonomi negara juga sangat kecil,” tandasnya. Misbakhun lantas mencontohkan, banyak industri kecil dan menengah yang harus diselamatkan negara dari dampak turunnya rupiah. Selama ini justru mereka yang menopang fundamental struktur perekonomian negara. ”Mereka yang menjadi juru selamat negara justru harus dijaga dengan kebijakan negara untuk makin memperkuat posisi mereka sebagai pelaku ekonomi,” tuturnya. (bil/c10/agm)  

Tags :
Kategori :

Terkait