Bisakah perusahaan swasta menjadi integrator pembelian senjata?
Jalan ke sana memang sudah terbuka. Sekarang ini. Sejak UU Cipta Kerja disahkan.
Dulu, peran integrator itu harus BUMN. Berdasar UU Pertahanan. Tapi, sejak ada UU Omnibus, keharusan itu tidak ada lagi.
Apakah benar PT TMI ”hanya” sebagai integrator? Atau memang broker? Bahkan pembeli?
Itulah yang harus dijelaskan. Terbuka saja.
Mungkin Menhan memang memerlukan ”kendaraan” untuk mengontrol visi dan misinya. Maka, ia gunakan yayasan milik Kementerian Pertahanan sebagai alat. Yayasan itulah yang kemudian membentuk PT TMI –dengan kepemilikan saham 99,9 persen. UU PT melarang pemegang saham tunggal. Maka, 0,1 persen saham PT TMI dipegang koperasi Kementerian Pertahanan –kelihatannya sekadar untuk memenuhi ketentuan UU PT.
Meski PT itu dimiliki yayasan Kementerian Pertahanan, secara hukum, tetap saja PT itu dianggap perusahaan swasta. Yang tidak mudah dilibatkan dalam pengadaan barang dari APBN. Agar tidak melanggar, mungkin perlu ada perpres untuk memayunginya sebagai integrator.
Tapi, untuk menjadi integrator, kan harus punya pabrik. Yang bisa mengintegrasikan berbagai bagian menjadi satu produk senjata. Atau, TMI akan bekerja sama dengan pabrik senjata.
Maka, tetap belum jelas akan sebagai apa PT TMI.
Masih ada pekerjaan lain yang harus dibereskan: bagaimana dengan keberadaan lembaga KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan). Yang dijamin oleh UU Pertahanan. Yang tidak dihapus oleh UU Cipta Kerja.
Ketua KKIP itu presiden. Ketua hariannya: Menhan. Wakil ketuanya: Menteri BUMN. Anggotanya: Menkeu, Menristek, dan beberapa menteri lagi.
Apakah keberadaan KKIP dianggap tidak relevan lagi? KKIP dianggap tidak bisa memberantas mafia? Terbukti, masih ada kasus pembelian pistol dari luar negeri, dengan harga luar negeri, padahal Pindad sudah bisa membuatnya dengan harga lebih murah?
Juga, masih sulit dilupakan: kok ada pembelian helikopter dulu itu. Yang hebohnya berbulan-bulan itu.
Mungkin tidak cukup perpres untuk menghilangkan peran KKIP.
Masih begitu, banyak pekerjaan. Padahal, masa kerja sebuah pemerintahan itu tidak lama. Hanya lima tahun. Sekarang tinggal tiga tahun. Masih begitu banyak kerikil yang harus disingkirkan. Lalu, kapan bisa dikerjakan.
Mafia sering sabar menunggu selesainya masa jabatan seseorang. (dahlan iskan)