Oleh: Kurniadi Pramono
KUDA Hitam! Ungkapan itu menjadi populer manakala berlangsung hajatan primer sepak bola. Interval dua tahunan, bergantian dalam Euro dan World Cup, Kuda Hitam diberi ruang khusus untuk tampil sebagai sosok yang mengagumkan.
Legenda Black Stallion ini selalu dinantikan semua orang sebagai lakon yang tak pernah usang. Sikapnya tenang, cenderung pendiam dan kesannya jinak. Namun Kuda Hitam yang sebenarnya liar itu, tengah menantikan ruang dan waktu yang pas sebagai efek kamuflase yang memaksa siapa saja menjadi terlambat mawas diri.
Coba saja tanyakan hal itu sekarang ke kubu Prancis dan Belanda. Dua tim kandidat yang mabuk kepayang dengan puja dan puji. Mereka mungkin agak malu mengakuinya. Tapi sebetulnya, mereka masih meringis kesakitan disepak Kuda Hitam yang beringas.
Belanda mendikte Republik Ceko dalam 30 menit pertama dengan setidaknya 5 peluang bersih yang gagal. Kemudian yang terjadi selanjutnya, dalam 60 menit setelah itu, Belanda yang awalnya sempat memukau dengan peragaan permainan indah melalui passing akurat khas Holland, akhirnya harus mengakui bagaikan vokalis band rock yang kehilangan mik di atas panggungnya sendiri.
Diawali kartu merah Matthijs de Ligt kala laga babak kedua baru berjalan 10 menit, setelah itu berbalik, sepertinya Ceko menjadi konduktor yang memaksa Belanda mengikuti irama permainannya. Cukup 2-0, Belanda pun tertunduk malu.
Beda lagi dengan juara dunia Prancis yang kharismatik. Tertinggal satu gol dari kop duel, Haris Seferovic yang dengan cerdas menempatkan bola ke pojok kiri bawah yang tak terjangkau kiper Hugo Lloris. Mental Prancis tak jatuh, bahkan mereka rebound menawan. Malah Karim Benzema dan Paul Pogba bersama Antoine Griezmann dan Kylian Mbappe bagaikan putaran mixer dan blender di area bawah lawannya.
Swiss babak belur tertinggal 3-1 dan nyaris menjadi 4-1 kalau saja Mbappe bisa lebih tenang mengolah bola matang.
Di saat Prancis kehilangan mawas diri, di situlah roh Kuda Hitam seolah meringkik minta korban lagi! Prancis pun akhirnya harus tahu diri.
Apakah cerita seru balada si Kuda Hitam sudah selesai? Tentu saja belum. Dibandingkan dengan pergelaran Piala Dunia yang lebih mapan, arena Euro yang semula sejak 1960 bertajuk Piala Eropa, Kuda Hitam lebih leluasa berjingkrak.
Barangkali masih segar dalam ingatan kita, berapa Denmark (1992), Yunani (2004) dan Portugal (2016) adalah Kuda Hitam yang merangsak sampai ke podium juara. Belum lagi jika flashback lebih dalam. Ceko (Slovakia) menjungkirkan Jerman (Barat) di final 1976 atau Yugoslavia sebagai satria Eropa Timur yang nyaris saja merajai Piala Eropa 1960 dan 1968.
Jadi, tanpa harus dibuktikan dengan teori lain, Euro atau yang sering dijuluki khalayak sebagai piala dunia kecil, adalah gelanggang riuh yang memang seolah-olah sengaja menyediakan kandang untuk kehadiran Kuda Hitam dari satu waktu ke waktu yang lain.
Sedangkan di platform piala dunia, dongeng Kuda Hitam baru dua kali mementaskan Uruguay (1950) di tragedi Maracana dan Jerman (Barat) sebagai juara Jules Rimet 1954 membungkam dominasi Hungaria.
Rerata, Kuda Hitam di piala dunia terperosok di semifinal dan final. Dalam interval 4 tahunan, misalkan Kroasia (2018), Belanda (2014), Ghana (2010), Portugal (2006), Korea Selatan dan Turki (2002), Kroasia (1998), Swedia dan Bulgaria (1994), Kamerun (1990), Belgia (1986), Polandia (1974), atau Portugal (1966), Swedia (1958), mereka semua adalah warna-warni indah yang memastikan bahwa sepak bola adalah tanah harapan.
Balik ke Euro 2020 ini, figur misteri Kuda Hitam yang datang entah dari mana dan akan pergi ke mana, masih belum keruan siapa sosok dia sebenarnya. Apakah Denmark (lagi), Swiss, Ceko (lagi) atau Swedia/Ukraina yang bisa menjelma sebagai laskar pemimpi juara.