“Mungkin di rumah ini. Atau di jalan,\" jawabnya.
Ali, Sabtu lalu mengantarkan dua orang pulang ke Pacitan. Itu asisten di rumahnya. Naik mobil. Ia sendiri yang mengemudikan.
Sejauh enam jam. Pukul 02.00 dini hari baru tiba di Pacitan –kampung halamannya. Tidur sebentar. Bangun, salat subuh. Tidur lagi sebentar. Pukul 08.00 sudah mengemudikan mobil lagi balik ke Surabaya. Enam jam lagi.
\"Saya salah. Saya terlalu pe-de. Kan saya merasa badan saya segar saja. Rupanya tidak cukup istirahat di Pacitan,\" katanya.
Orang yang ia antarkan ke Pacitan itu, setelah dites, ternyata positif.
Saya masih mengusahakan agar Ali dites lebih lanjut: virus jenis apa yang menular padanya. Saya masih bertanya-tanya apakah bisa dilakukan di Surabaya.
Ali adalah salah satu pelatih senam kami.
Kami punya banyak sekali pelatih. Peserta yang sudah pintar digilir naik panggung. Grup pelatih inti tinggal tampil seminggu sekali.
Saya sendiri sudah pensiun dari pelatih. Jadi pelatih cadangan saja. Gerakan saya sudah tidak hot seperti dulu lagi.
Saya segera menginformasikan positifnya Ali itu ke dokter Terawan Putranto. Dulu pun, begitu.
Setika mendengar ada yang sudah VakNus masih bisa positif saya juga informasikan ke inisiator VakNus itu.
Berarti Ali Murtadlo ini kasus kedua. Ia positif meski tidak merasa apa-apa. Ia tidak merasa apa-apa, tetapi positif.
Untung ia makan nasi goreng. Kalau wajahnya tidak mbrabak ia tidak akan melakukan PCR.
\"Memang saat ini penularan begitu tinggi,\" ujar dokter Terawan.
Ia minta agar Ali jaga imun, istirahat, isolasi mandiri.
Data Worldometer Selasa pagi lalu memang mengagetkan. Indonesia sudah menjadi juara dunia Covid-19: 29.745 orang. Kemarin sore jadi 31.000. India sudah terkendali, tinggal 26.612 orang.