Harga Minyak Dunia Naik, Pertamina Disebut Rugi Jual Pertamax dan Pertalite

Selasa 20-07-2021,15:00 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

PERTAMINA disebut merugi menjual BBM jenis Pertamax dan Pertalite saat ini, sebab harga kedua jenis BBM itu tidak di review meskipun harga minyak dunia, Indonesian Crude Price (ICP) maupun Argus yang menjadi patokannya, melonjak tinggi akibat lonjakan kasus Covid-19 di dunia.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan di Jakarta, Senin (19/7).

Sebagaimana diketahui, harga minyak dunia terus mengalami kenaikan yang signifikan, bahkan sempat menyentuh tertinggi untuk minyak berjangka jenis Brent di level USD77.16 per barel pada 5 Juli 2021 lalu. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Saat ini memang harga minyak dunia sudah sedikit mengalami penurunan di level USD73.59 per barel untuk pengiriman bulan September yang diperdagangkan pada hari Jum’at 16 Juli 2021.

Penurunan harga minyak disebabkan mulai meningkatkan kasus Covid-19 varian delta yang dikhawatirkan akan melemahkan permintaan minyak global karena kemungkinan terjadinya penguncian di beberapa negara. Selain itu, belum tercapainya kesepakatan antara UEA dengan Arab Saudi terkait dengan rencana peningkatan produksi anggota OPEC+, menjadi pemicu melemahnya harga minyak dunia.

Kenaikan harga minyak dunia, diiringi dengan kenaikan harga Indonesian Crude Price (ICP) sepanjang 2021 ini. Kenaikan ICP ini sangat jauh jika dibandingkan dengan ICP sepanjang tahun 2020 yang lalu.

Selain ICP, kenaikan harga minyak juga terjadi pada harga MOPS ataupun Argus yang merupakan harga acuan dalam menentukan BBM yang beredar di tanah air sesuai dengan KepMen ESDM No 62 tahun 2020 Tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar Yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Dan/Atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.

Menurut Mamit, dalam kurun waktu 3 bulan terakhir, dikarenakan naiknya harga minyak dunia serta kenaikan MOPS, SPBU swasta yang beroperasi di Indonesia sudah beberapa kali mengalami kenaikan yang cukup signifikan, mengingat ruang mereka untuk itu di atur dalam KepMes ESDM no 62/2020 tersebut, dimana periode tanggal 25 pada dua bulan sebelumnya, sampai dengan tanggal 24 satu bulan sebelumnya untuk penetapan bulan berjalan.

Mamit mengungkap, jika melihat rata-rata MOPS MOGAS 92 untuk 3 bulan terakhir dimana bulan April 2021 adalah USD71.7, Mei USD74.32 dan Juni 2021 adalah USD78.85, sehingga rata-rata 3 bulan terakhir adalah USD74.95 per barel. Belum lagi landed cost sebesar USD2 per barel, maka harga landed Pertamax adalah USD76.95.

Dengan menggunakan kurs rata-rata 3 bulan terakhir adalah Rp 14.400 per dollar, maka harga perliter adalah sebesar Rp 6.969. Ditambah dengan konstanta sebesar Rp 1.800 dan margin 10% maka harga sebelum pajak adalah sebesar Rp 9.646/liter. Jika ditambah dengan PPN dan PBBKB maka harga Pertamax adalah sebesar Rp 11.093 dibulatkan menjadi Rp 11.100.

“Jika mengacu kepada harga saat ini, maka Pertamina sudah mengalami kerugian sebesar Rp 2.100 per liternya, dihitung dengan formula yang ditetapkan dengan KepMen ESDM 62/2020 tersebut,” ungkap Mamit.

Begitu juga untuk jenis Pertalite, Menurutnya jika mengacu kepada harga MOPS MOGAS 92 bulan untuk 3 bulan terakhir, dengan formula sesuai KepMen 62/2021, dimana untuk RON 90 formulanya adalah 99.21 persen dari MOPS Mogas 92, maka seharusnya harga Pertalite adalah Rp 11.000 perliter, sedangkan saat ini Pertamina menjual dengan harga Rp 7.650 dimana ada selisih kekurangan sebesar Rp 3.350 per liternya.

“Kondisi ini jelas memberatkan bagi Pertamina, ditengah pandemi Covid-19 yang masih belum selesai di Indonesia. Pembatasan mobilitas masyarakat berpengaruh terhadap penjualan BBM milik Pertamina jika pembatasan ini akan berlangsung cukup lama. Belum lagi, sebagai negara yang sudah menjadi net importir, maka Pertamina harus mengimpor minyak mentah maupun produks ditengah harga yang tinggi ini,” tuturnya.

Hal ini bisa dipastikan akan membahayakan keuangan Pertamina karena harga beli yang tinggi tetap harga jual tidak mengalami kenaikan. Selain membebani Pertamina, kata Mamit, untuk produk BBM yang bukan subsidi maupun bukan penugasan, maka selisih harga ini akan ditagih oleh Pertamina dalam bentuk dana kompensasi yang harus di bayarkan oleh Pemerintah.

“Yang jadi permasalahan, dana kompensasi tersebut tidak bisa langsung dibayarkan oleh Pemerintah tetapi menyesuaikan dengan kondisi keuangan negara, sehingga arus keuangan Pertamina menjadi terganggu,” tuturnya.

Oleh karena itu, lanjut Mamit, perlu kiranya pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM untuk sedikit memberikan kelonggaran bagi Pertamina menyesuaikan harga BBM non subsidi mereka. Jika tidak, maka keuangan Pertamina bisa terganggu karena harus menanggung kerugian yang cukup besar dari selisih harga BBM yang mereka jual.

Tags :
Kategori :

Terkait