BETAPA sulitnya menjadi menteri kesehatan di masa sekarang ini. Lebih sulit lagi karena di tiga kali perubahan sistem penanganan pandemi, sang menteri tidak menjadi pemegang komando tertinggi.
Jumlah penduduk yang terjangkit Covid mencapai rekor baru –bahkan di tingkat dunia. Jumlah yang meninggal belum pernah setinggi Jumat lalu. Obat sulit didapat. Harga obat naik ratusan persen. Oksigen dikeluhkan di mana-mana.
Rumah sakit kewalahan. Dokter dan nakes banyak berkurang –karena meninggal, sakit, dan isoman. Masih pula dipermalukan di depan publik. Dan yang mempermalukan atasannya sendiri: Presiden Republik Indonesia.
Anda semua sudah tahu: Bapak Presiden ke sebuah apotek kecil di Bogor. Dalam keadaan normal pun belum tentu punya stok vitamin D3 5.000 iu. Bapak Presiden menemukan kenyataan: banyak obat yang sangat diperlukan tidak ada di apotek itu. Termasuk vitamin D3 5.000 iu tersebut.
Sang presiden lantas menelepon Menteri Kesehatan Budi Sadikin. Wajah sang menteri, yang lagi menerima telepon, ada di layar dekat presiden. Presiden tidak marah-marah. Tidak menegur. Tidak mengeluarkan kalimat bernada tinggi. Presiden hanya memberitahukan apa yang dilakukan di apotek barusan. Tidak ada juga petunjuk dari presiden harus bagaimana dan harus melakukan apa.
Pun, presiden tidak memberikan target: apa yang harus dilakukan dan kapan harus diselesaikan. Presiden hanya memberitahukan apa yang beliau lakukan dan beliau lihat. Tanpa “diberi tahu” presiden pun, Budi Sadikin sudah tahu. Semua jenis media mempersoalkannya sejak sebulan sebelumnya.
Melihat adegan itu –agak telat– perasaan saya campur aduk. Saya pernah menjadi bawahan seperti itu. Tapi, saya belum pernah merasakan suasana seperti itu. Ups... mungkin pernah. Ketika menjadi bawahan yang sangat bawah dulu. Di masa muda.
Dipermalukannya pun sebatas sebagai bawahan yang bawah. Sakitnya terbatas. Tapi, ketika bawahan itu seorang menteri, posisi bawahan tersebut sangat tinggi. Ketika dijatuhkan, sakitnya tentu luar biasa. Akan beda dengan ketika posisinya masih bawahannya bawahan. Mungkin Pak Menteri menyesal: mengapa mau diangkat menjadi menteri. Yang pengangkatannya dilakukan di tengah pandemi. Bukan sebelum pandemi. Beliau tentu sudah tahu: risiko apa yang harus dihadapi. Seberat apa tanggung jawabnya.
Kini beliau tidak bisa lagi menyesali diri. Di depannya hanya ada pilihan: mundur atau bertahan. Saya akan menghargai dua-duanya. Kalau beliau mundur, memang pahit sekali. Mungkin baru sekali ini ia mengalami kegagalan dalam karier.
Beliau bukan orang yang diambil dari comberan. Beliau adalah berlian di sepanjang hidupnya: kuliah di ITB –prodi nuklir pula, jadi bankir yang sangat menonjol, menjadi CEO salah satu bank terbesar di negeri ini –dengan sukses besar– menjadi penerobos pengambilalihan Freeport –yang sangat bersejarah. Lalu, masuk ke arena jabatan politik: kalah.
Letnan Jenderal Ali Sadikin juga selalu sukses besar. Jadi dewa. Dipuja. Lalu, masuk arena sepak bola: gagal. Namanya pun jatuh. Waktu naik ke arena politik, beliau masuk posisi yang salah. Beliau bukan dokter. Tapi, mau menjadi menteri kesehatan. Saya termasuk yang tidak menilai itu salah. Menjadi menteri adalah menjadi pemimpin –bukan menjadi kepala bagian produksi sebuah pabrik.
Untuk jabatan setinggi itu, yang diutamakan adalah dua ini: kemampuan leadership dan kemampuan manajerial. Budi Sadikin punya dua-duanya. Sangat tidak diragukan. Sudah dibuktikan. Apalagi, beliau diberi pendamping, wakil menteri, seorang dokter yang levelnya sudah doktor dan guru besar: Dante Saksono Harbuwono.
Tentu saya tidak tahu bagaimana proses Budi Sadikin bisa menjadi menteri kesehatan. Apakah tahu-tahu jadi. Atau ada proses dialog. Saya teringat ketika diminta Bapak Presiden (SBY) untuk menjadi Dirut PLN. Juga dalam situasi krisis: krisis listrik.
Saya tahu diri. Saya tidak langsung bersedia –meski saya sadar bahwa perintah seorang presiden jangan diabaikan. Niat saya tidak mengabaikan. Saya justru ingin menjunjung marwah seorang presiden.
Yakni, Presiden harus tahu bahwa saya bukan insinyur listrik –bahkan bukan sarjana. Saya hanya tamatan pondok pesantren: hanya tingkat madrasah aliyah pula. Saya kemukakan itu di depan presiden. Agar dipikirkan ulang pencalonan saya.