Hari ini Bareskrim Mabes Polri dijadwalkan memeriksa Bonaparte. Kalau tidak tiba-tiba sakit. Atau ada agenda lain.
Bareskrim sudah lebih dulu memeriksa tiga saksi. Termasuk tahanan yang mendapat tugas dari Bonaparte untuk menyiapkan tahi manusia itu. ”Menyiapkan” di situ termasuk mencari, membungkus, dan meletakkan di ruang tahanan.
“Mntr pendapat saya, kece memang kurang ajar, tapi napoleon juga salah menganiaya kece di dalam tahanan, keduanya sama2 salah dan melanggar hukum/ tdk boleh ditolelir,” tulis salah satu anggota grup. Muhammad AS Hikam, yang juga sering berkomentar di situ menimpali: “Sekalipun kurang ajar Kiai, tetap harus mengikuti proses hukum dan tidak dibenarkan main hakim sendiri. Apalagi alasan agama. Agama kita tidak mengajarkan untuk itu. Apalagi ngelaburi taikk manusia..”.
AS Hikam adalah seorang profesor, doktor, dan pernah menjabat menteri ristek di zaman Presiden Gus Dur. Kini Prof Hikam mengajar di President University untuk banyak mata kuliah: di international relations, pengantar ilmu sosial dan budaya, diplomasi budaya, komunikasi internasional & budaya, dan pengantar politik ekonomi internasional.
Rupanya ada juga yang tidak sependapat dengan AS Hikam. Juga dari orang terkenal: Ustaz Yusuf Mansyur.
“Untuk hal ini, saya setuju sama Napoleon, hehehe. Ampun. Saya ga bisa begitu, hehehe…,” tulisnya.
Prof Hikam langsung menimpali dengan dua posting berurutan: “Membela agama kita harus dengan cara cara yang tepat dan beradab,” tulisnya. Lalu disusul ini: “Beradab…. kalo Napoleon dibenarkan maka akan bahaya ke depannya, akan ada perlakuan serupa nantinya ..Ngapunten …Ngunu Yo Ngunu Tapi Yo Ojo Ngunu Toh !! Hii hii.”
Ada anggota grup yang langsung menyahut. Rupanya dari Cirebon: “Kalau dalam hukum fikih, yang murtad dan melecehkan agama harus diperangi dan dipenggal…untung aja Kece ngga di Cirebon, klo disini dikarungin”.
Prof Hikam kelihatannya menjadi penegak pikiran Gus Dur. Komentar itu langsung ia jawab: “Fikih dengan hukum Indonesia beda, Kyai”.
Soal ”beda” itu dijawab lagi oleh yang menganut fikih tadi: “Hukum pemerintahan dan hukum di dalam tahanan beda”. Ia ini punya alasan: “Saya sepakat, adanya shock terapy terhadap mereka yang melecehkan agama. Biar ke depannya gak ada lagi org seperti Kece jilid 2 dst”.
Prof Hikam didukung anggota grup lain: “Nabi pernah dihina-hina oleh orang kafir, bahkan ditawari malaikat Jibril untuk menghabisi mereka, tapi nabi memilih mendoakan mereka agar diberi hidayah. Jika setiap orang yang menghina Nabi lalu kita penggal kepalanya mungkin tidak muncul Umar bin Khattab yang makamnya di sebelah Nabi”.
Saya suka mengikuti pembicaraan di grup Santrine Gus Dur itu. Misalnya ketika membahas musik itu halal atau haram –terkait ketakutan atas Taliban 2.0 yang akan kembali mengharamkan musik.
Kelihatannya dalil yang dipakai untuk mengharamkan musik sangat kuat. Tapi dalil yang dipakai untuk tidak mengharamkan juga ada. Saya sendiri suka dengan posting-an seorang kiai berikut ini. Yakni yang berisi jawaban filsuf Islam Jalaluddin Rumi –saya pernah ke makamnya di Turki– ketika ditanya: musik seperti apa yang diharamkan dalam Islam.
Rumi menjawab: “yang diharamkan adalah musik dari suara dentingan sendok dan piring yang didengar orang miskin yang kelaparan”. (dahlan iskan)
*Tulisan ini sudah tayang di laman www.disway.id dengan judul “Tahi Napoleon” hari ini, Selasa, 21 September 2021.