Bantuan itu sudah saya gunakan untuk modal jualan jasa titipan sayur –yang saya pernah cerita ke Abah dulu.
Pertengahan Oktober barusan, ada teman belanja jilbab. Uangnyi akan ditransfer. Tapi mintanyi ke rekening bank BRI. Alasannyi, agar tidak kena biaya administrasi.
Saya ingat, bahwa saya pernah punya rekening BRI. Yakni saat saya dulu dapat bantuan.
Saya kasihkan nomor rekening itu.
Dua hari kemudian, saya ingin mengambil uang jilbab itu. Saya butuh uang buat belanja dagangan lagi.
Sampai di BRI ternyata dana saya itu nggak bisa ditarik. Dananya ada. Di cetakan di buku juga terlihat. Tapi saya tidak boleh ambil uang tersebut.
Kaget dong. Itu kan rekening saya. Masak ngga boleh ambil uangnya.
Antrelah saya di customer service. Mengadu. Ternyata, rekening saya itu diblok. Tidak boleh diambil uangnya. Alasannya: sebagai ganti cicilan uang bantuan yang Rp 2,4 juta tahun 2019 dulu itu.
Pikiran saya, loh, itu kan bentuknya bantuan. Bukan pinjaman. BRI tidak bisa menjelaskan: kenapa rekening saya diblok. Katanya, mereka hanya sebagai penyalur saja.
Waktu menerima bantuan itu sama sekali tidak ada dokumen pinjam meminjam. Tidak ada akad kredit.
Saya penasaran bagaimana bantuan Rp 2,4 juta berubah jadi pinjaman, justru setelah dipakai.
Saya ganti pindah ke kantor BRI lainnya. Siapa tahu ada kesalahan di BRI yang pertama. Eh ternyata sama. Tapi yang ini disertai penjelasan. Bahwa di 2020, Oktober, saya sudah dianggap mampu. Buktinya saya sudah bisa bikin CV.
Padahal CV itu saya buat dengan uang pinjaman. Yakni dari seseorang yang Anda pasti sudah tahu.
Lucunya, saya justru diminta melunasi kekurangan dari total Rp 2,4 juta itu.
Astaga naga! Bagaimana tidak. Saya merasa di-prank oleh pemerintah.
Tetiba saya ingat nasib orang-orang yang menerima bantuan traktor yang setelah selesai seremoni traktornya diambil lagi.