LASEM kini lagi ruwet-ruwetnya. Itu berarti, ada harapan. Banyak jalan lagi digali. Di pinggirnya. Bersamaan pula dengan musim hujan. Becek dan lumpur bersatu dengan tanah galian.
Padahal, saya ingin berjalan kaki di kota unik itu. Agar bisa menikmati ketuaan bangunan di sana. Gagal. Tidak nyaman. Apa boleh buat.
Tujuan utama saya pasti –Anda pun tahu: ke Jalan Karang Turi. Itulah pusat batik Lasem Tionghoa –di masa nan lalu.
Ternyata juga ada galian. Pun di pinggir Jalan Karang Turi. Untung, ada halaman terbuka di Rumah Merah di Karang Turi.
Saya bisa parkir di halaman itu. Sambil menyesal: kenapa tidak makan siang di situ saja. Di teras Rumah Merah. Ternyata ada kantinnya. Banyak pula pilihan makanannya.
Sungguh menyesal. Kenapa tadi mampir sate kambing. Hanya gara-gara ada asap dan aroma kambing bakar di pinggir Jalan Jatirogo. Padahal, sulit sekali mencapainya: ada galian besar yang memisahkan jalan itu dengan sate tersebut.
Padahal, Lasem adalah juga Rumah Merah itu. Belum ke Lasem kalau belum ke Rumah Merah.
Kelak, Jalan Karang Turi tidak boleh hanya diberi selokan. Harus lebih istimewa. Lebih khas. Karang Turi adalah jalan yang kelak sangat layak jual: sebagai pusat turis.
Masih banyak yang harus dikerjakan untuk memoles Jalan Karang Turi. Toh, jalan tersebut tidak panjang. Kurang dari 300 meter. Tidak akan mahal membuat Jalan Karang Turi bernuansa istimewa.
Karang Turi juga tidak lebar. Hanya 6 meter. Yang 4 meter sudah telanjur diaspal. Mestinya jangan ada aspal di Karang Turi. Jalannya bisa dibuat dari batu-batu model Jalan Braga di Bandung.
Karang Turi bukan jalan utama di Lasem. Juga, bukan satu-satunya yang berciri Tionghoa. Tapi, Karang Turi-lah jantungnya.
Tidak sulit menemukan Karang Turi. Waktu itu saya datang dari arah Semarang –tepatnya dari arah Pati-Rembang. Lewat Jalan Daendels –sekarang lebih terkenal sebagai jalan pantura.
Begitu memasuki Kota Lasem, tengoklah ke kanan. Ada masjid besar di pinggir jalan pantura. Itulah Masjid Jami’ Lasem. Berilah tanda: akan belok kanan. Untuk masuk ke Jalan Jatirogo. Itulah jalan utama di dalam Kota Lasem.
Sekitar 300 meter dari masjid, sudah mulai tercium rasa China Town-nya. Itulah Pecinan Lasem. Rasanya nyaris seluruh Lasem adalah China Town. Konon, itulah pecinan tertua di Jawa. Sudah ada sejak sebelum zaman Majapahit.
Saya pun masuk ke Rumah Merah itu. Yang catnya memang serbamerah. Yang diselingi warna kuning. Khas China Town.