Disway Pilihan

Kamis 30-12-2021,08:00 WIB
Reporter : Yuda Sanjaya
Editor : Yuda Sanjaya

Itu bagian dari \'\'dosa.... \'\'  jurnalisme  —saya kok lupa kata yang dipakai Prof Pry untuk menggantikan istilah \'\'dosa turunan\'\' di salah satu  komentarnya pekan lalu.

Mengapa \'\'kerja gampang\'\' untuk menghasilkan tulisan pendek seperti itu tidak saya anggap sebagai yang terjelek?

Jawab: karena di tulisan itu ada mission besar di dalamnya –untuk perbaikan negara.

Bekerja itu harus membawa misi –sekecil apa pun? Tulisan pendek itu membawa misi besar. Untuk apa menulis panjaaaaang tanpa misi.

Misalnya tulisan panjang tentang \'\'orang tua yang sibuk dengan kuda mereka masing-masing\'\' di edisi kemarin. Untuk apa? Sama sekali tidak ada gunanya bagi perbaikan negara kita. Padahal untuk menyiapkan tulisan itu memakan waktu dan energi 10 kali lipat dari menulis soal KPK.

Toh saya menuliskannya. Dengan asyik pula. Sialan! Amitohu, Puji Tuhan, Alhamdulillah. Rahayu...

Hal seperti itu harus pernah terjadi. Sesekali.

Saya, duluuu, memang sering mendoktrinkan ini: redaktur harus punya \'\'kepribadian\'\' ganda. Di satu sisi redaktur harus jadi produsen yang sangat baik.

Di sisi lain harus bisa jadi \'\'konsumen yang rewel\'\'. Jangan hanya jadi produsen yang tidak mau tahu kebutuhan pembaca.

Anda sudah tahu: birahi wartawan umumnya di bidang politik. Tapi konsumen politik itu kecil. Paling-paling hanya Aryo Mbediun dkk.

Maka setiap pukul 00.00, saya sempatkan melihat hasil kerja redaktur halaman depan. Saya ingin lihat: ada berapa berita di calon halaman depan itu; berita tentang apa saja; apa yang dijadikan berita utama.

Tidak jarang saya lantas bertanya ke sang redaktur: kalau beritanya serius semua seperti ini, besok ibu-ibu akan baca yang mana? Betapa kecewa ibu-ibu ketika besok pagi membuka koran kita?

Juga: para pejabat dan pegawai negeri besok akan membaca yang mana? Kok politik semua?

\"Rombak!\" kata saya.

Kadang tidak ada bahan untuk merombak. Sudah pukul 00.00 pula. Tidak mau tahu. Harus diusahakan. Sesulit apa pun.

Perasaan saya, waktu itu, wanita tidak menyukai politik. Mungkin karena belum ada kuota perempuan untuk menjadi caleg DPR.

Tags :
Kategori :

Terkait