Untuk ke lokasi PLTA itu, sekarang, hanya bisa dengan helikopter. Tidak ada jalan sama sekali. Pun setapak. Berarti harus dibangun dulu jalan raya lebih 200 Km. Dari nol. Dari mulai membabat hutan, membangun badan jalan, mengeraskan, dan mengaspalnya.
Tidak cukup ada sumber batu gunung di kawasan itu. Maka batu gunung dari Palu atau Toli-Toli akan jadi pilihan terdekat. Tinggal menyeberang laut satu malam: memotong selat Makassar.
Para pemilik batu gunung di Sulawesi Tengah akan ikut panen.
Pun di kawasan industri Tanah Kuning itu. Masih perawan. Belum ada secuil pun pelabuhan. Belum ada pula bandara. Berarti harus membangun pelabuhan baru.
Yang besar sekali. Yang –kalau melihat kedalaman pantainya– harus dibangun menjorok jauh ke tengah laut. Akan mahal sekali.
Ini berbeda dengan konsep Gubernur Kaltim (waktu itu) Awang Faruq. Yang akan membangun industrial estate di Maloy –dekat Sangatta. Yang kedalaman pantainya lebih 20 meter.
Berarti nasib Maloy menjadi tersisihkan.
Maloy memang sangat dekat dengan sumber energi. Hanya 10 Km. Tapi batu bara.
Tanah Kuning lebih dekat ke energi hijau: PLTA Krayan. Meski yang disebut dekat itu sekitar 200 Km.
Pilihan seperti itu menandakan energi oriented lebih diutamakan. Energi menjadi pertimbangan utamanya.
Batu bara akan habis dalam 50 tahun –atau kurang dari itu.
Air sungai Kayan tidak pernah habis –seumur hidup.
Batu bara, kotor.
Air, bersih.
Harga listrik dari batu bara 5 cent dolar/kWh.
Harga listrik dari PLTA-besar hanya 2,5 cent.