32 Tahun di Era Soeharto, Perayaan Imlek Dilakukan Sembunyi-sembunyi

Selasa 01-02-2022,10:40 WIB
Reporter : Iing Casdirin
Editor : Iing Casdirin

HARI ini (1/2/2022), perayaan Imlek atau Tahun Baru China. Perayaan ini tidak lepas dari ingatan setiap orang, dengan warna merah yang menghiasi ornamennya hingga hidangan atau snack khas Tionghoa di berbagai sudut kota.

Sejatinya, hari raya Imlek di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, yakni Presiden Soeharto pernah melarang keras hari raya tersebut. Seiring berjalannya waktu, Imlek kembali hadir di Indonesia sejak era kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Soeharto Larang Imlek: Soeharto pernah mengamanahkan 21 peraturan perundang-undangan yang dibuat setelah memperoleh Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Peraturan itu tertuang dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Berangkat dari Inpres tersebut, Soeharto memerintahkan menteri agama, menteri dalam negeri, dan seluruh pemerintah pusat maupun daerah untuk menerapkan peraturan tersebut. Berdasarkan Isi dari Inpres tersebut, yakni pelaksanaan Imlek dilakukan secara internal dalam hubungan keluarga atau perseorangan.

Kemudian, perayaan pesta agama dan adat istiadat China dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. Aturan ini membuat aktivitas warga Tionghoa dibatasi selama perayaan Imlek.

32 TAHUN RAYAKAN TERTUTUP

Usai Inpres tersebut ditetapkan, perayaan Imlek tak boleh digelar secara terbuka atau di depan publik. Selain itu usai merayakan Imlek, Cap Go Meh, barongsai, dan liang liong dilarang dirayakan secara terbuka.

2

Bahkan, huruf atau lagu Mandarin tak boleh dikumandangkan di radio, sehingga perayaan tersebut digelar sembunyi-sembunyi selama 32 tahun Soeharto memimpin. Tidak hanya soal aturan, Inpres tersebut juga mengganti istilah \"Tionghoa\" menjadi \"China\", dengan tujuan upaya dalam proses asimilasi etnis.

Namun sejak pasca-Reformasi, aturan tersebut mulai memudar lantaran memasuki era Presiden Habibie. Ia menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa.

Dalam Inpres tersebut, mengatur penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi dihentikan. Masuk ke era Gus Dur pada 17 Januari 2000, Inpres baru kembali dikeluarkan, yakni Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 buatan Soeharto.

Berkat Inpres tersebut, warga Tionghoa bebas untuk merayakan hari raya Imlek. Bahkan, memasuki era Presiden Megawati kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. (*/ing)

Tags :
Kategori :

Terkait