Adam Eva

Minggu 07-08-2022,05:00 WIB

RAKYAT Jepang terbelah: haruskah biaya pemakaman mantan perdana menteri Shinzo Abe yang hebat itu pakai uang negara?

Lebih separo rakyat tidak setuju. Tapi sidang kabinet sudah memutuskan: dibiayai APBN. "Kalian terlalu cepat memutuskan itu. Harusnya minta persetujuan parlemen dulu," komentar di Yomiuri Shinbun.

Pemakaman itu akan dilakukan tanggal 27 September depan. Masih lama. Selama penantian itu pro-kontra terus berlangsung. 

Bagi yang setuju punya alasan: Abe perdana menteri terlama memimpin Jepang. Ia berhasil mengatasi berbagai bencana. Ekonomi maju. Politik stabil.

Bagi yang kontra: Abe itu pemecah belah bangsa. Ia terlalu konservatif. Tidak ada istilah ''kita'' selama pemerintahannya. Yang ada ''kelompok kami'' dan ''kelompok mereka''.

Abe dikecam sampai ke kakeknya. Yakni ketika sang kakek jadi perdana menteri. Saat itulah Gereja Moon dari Korea Selatan difasilitasi masuk ke Jepang.

Abe sendiri dianggap terlalu dekat dengan Gereja Unifikasi (GU) itu. Ia sering memberikan apresiasi pada acara-acara besar GU.

Sebenarnya yang seperti itu juga biasa saja. Sering dilakukan politisi siapa pun. Untuk merebut suara. Donald Trump pun begitu. Demikian juga George Bush. GU juga giat sekali di Amerika.

Kebetulan kali ini bersamaan dengan peristiwa besar: penembakan pada Abe. Yang menewaskannya. Yang dilakukan pemuda pengangguran: Tetsuya Yamagami.

Yamagami begitu sakit hati pada Abe. Bahkan sampai pada kakek Abe. Maka ketika Abe berkampanye di kota kecil Nara –dua hari sebelum Pemilu legislatif– Yamagami menuju panggung yang sangat rendah itu. Dari belakang. Dor! Dor! Punggung Abe jebol. Rebah. Tewas.

Di depan polisi Yamagami menceritakan semuanya: kakeknya seorang pengusaha. Kontraktor. Ketua asosiasi kontraktor sipil di Osaka.

Sang Kakek punya dua putri. Dua-duanyi lulus dari universitas terkemuka di Osaka. Yang sulung tak lain ibunda Yamagami. Jadi ahli gizi. Yang bungsu menjadi dokter.

Si sulung lantas kawin dengan karyawan di perusahaan kontraktor ayahnyi. Sang suami lulusan Universitas Kyoto. Bahagia. Punya anak: Yamagami. 

Hidup Sang suami lantas berubah total. Ia kecanduan alkohol. Depresi. Bunuh diri.  Mati muda.

Ketika Sang suami kecanduan alkohol itulah ibunda Yamagami sangat tertekan. Dia sering mengalami siksaan fisik. Lantas, seingat Yamagami, ibunya aktif di Koseikai –gerakan bangun pagi. Disebut juga pesta bangun pagi. Bangun pagi adalah kemewahan di umumnya negara empat musim. "Di musim salju pun mama bangun pagi dan keluar rumah meninggalkan saya sendirian," ujar Yamagami seperti disiarkan Yomiuri Shinbun.

Kategori :