Agus Marto Salahkan Dirjen Anggaran, Soal Persetujuan Tahun Jamak Hambalang

Rabu 11-12-2013,14:35 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JAKARTA - Lanjutan sidang kasus Hambalang dengan tersangka Deddy Kusdinar menghadirkan dua saksi utama. Mereka adalah Gubernur BI Agus Martowardojo, dan Sylvia Sholeha atau yang biasa disebut Bu Pur. Ada ketidaksesuaian keterangan antara Agus dan Wakil Menteri Keuangan (saat itu Dirjen Anggaran) Anny Ratnawati. Agus yang diperiksa sebagai mantan Menteri Keuangan itu membantah kalau tanggung jawab disetujuinya anggaran proyek Hambalang ada pada dirinya. Dia malah balik menuding kalau Anny tidak pernah memberikan informasi utuh kepada dirinya soal proyek itu. Padahal, saat kasus meledak dia mengaku menemukan banyak kejanggalan. \"Sebelumnya (Dirjen Anggaran) tidak menghadap, hanya ada nota satu kali naik kepada kami dan setelah itu jadi masalah,\" ujar Agus. Padahal, kalau melihat hasil audit proyek itu, ada sedikitnya tiga kali kesempatan untuk korespondensi dengan Kemenpora terkait kontrak multiyears. Dia juga masih ingat saat nota yang diajukan Anny pada November 2010 itu ada rekomendasi Dirjen Anggaran terkait dengan kontrak tahun jamak Hambalang. Selain itu, juga terkait dengan proses anggaran proyek. Agus memastikan tidak pernah diarahkan Anny untuk menyetujui nota tersebut. Nah, dari nota itu Agus mengaku tidak terlalu mendalami karena ada bentuk rekomendasi dari Dirjen Anggaran. Dia lantas mendisposisi nota itu karena yakin saat membaca sudah ada aturannya. Dalam lembar disposisi Agus meminta agar rekomendasi anggaran diselesaikan sesuai aturan yang berlaku. Setelah itu, dia mengaku tidak tahu kelanjutannya. Disamping itu, dia yakin kalau korespondensi itu berjalan kontrak bisa selesai di Dirjen Anggaran. Lebih lanjut Agus menjelaskan, pengajuan kontrak tahun jamak proyek bernama lengkap Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang itu bisa langsung ditolak Dirjen Anggaran. \"Kalau yang tanda tangan itu sekretaris menteri, bukan menteri, pengajuan bisa ditolak,\" tegasnya. Entah mana yang benar, yang jelas ada keterangan berbeda dengan apa yang disampaikan Anny. Dalam sidang sebelumnya, Anny menyebut kalau kontrak tahun jamak tidak akan disetujui tanpa tanda tangan Agus Martowardojo. Versi Anny, berbagai nota dinas sudah diserahkan dan dibalas dengan perintah: selesaikan. Namun, kemarin Agus membantah dan mengaku tidak pernah menerima semua itu. Padahal, kata Agus, nota-nota itu penting karena dokumen tidak boleh tidak lengkap, tidak benar dan tidak akurat. Di hadapan hakim, Agus mengatakan sedikitnya ada delapan kejanggalan proyek Hambalang. Tiga di antaranya adalah, surat permohonan persetujuan kontrak tahun jamak tidak ditandatangani menteri. Seperti pernah diberitakan, justru tanda tangan Sesmenpora Wafid Muharram yang ada di atas kertas. Lantas, permohonan kontrak tahun jamak tidak didukung rencana kerja anggaran yang dilampiri kerangka acuan kerja. \"Ketiga, rekomendasi teknis pembangunan gedung tidak ditandatangani oleh Menteri PU,\" terangnya Agus. Namun, kembali lagi, persetujuan itu lolos karena tidak adanya informasi yang lengkap kepada dirinya. Dia kembali menyebut kalau Dirjen Anggaran Anny Ratnawati tidak pernah melapor kejanggalan-kejanggalan itu. Disamping itu, dia juga meminta kepada hakim untuk mengusut perubahan anggaran Hambalang. Salah satunya, perubahan dari anggaran 2010 yang saat itu masih Rp125 miliar menjadi Rp275 miliar dalam APBN Perubahan 2010.  Petunjuk yang disampaikan Agus, benar tidak ada pembahasan oleh Kemenpora dan DPR. \"Apa rapat kerjanya betul? Kemudian itu dibahas di badan anggaran, apakah prosesnya betul?,\" jelasnya. Yang pasti, saat itu perubahan anggaran tersebut tidak bisa digunakan karena karena tidak ada sertifikat tanah. Lantas, anggaran Hambalang terus berubah hingga akhirnya ada tambahan ratusan miliar. Terpisah, Sylvia Sholeha alias Bu Pur mengatakan kalau Deddy Kusdinar punya hubungan aneh dengan keluarga Mallarangeng. Terutama, Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel. Berdasar cerita yang dia peroleh dari almarhum Arif Gunawan, Deddy yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora adalah \"sapi perah\" Choel. Namun, dia mengaku tidak pernah tahu kebenaran itu karena informasi yang didapatnya hanya dari cerita. Meski demikian, dia membenarkan kalau penyidik pernah menanyakan hal itu padanya. Bu Pur juga tidak mencabut keterangan yang menyebut Choel memanfaatkan Deddy sebagai \"sapi perah\". Dalam sidang tersebut, Bu Pur juga mengungkap asal usul Widodo Wisnu Sayoko. Sosok yang disebut-sebut membantu pengurusan kontrak proyek Hambalang menjadi tahun jamak sebesar Rp2,5 triliun. Widodo sendiri saat menjadi saksi mengatakan pernah mengikuti rapat bersama Kemenpora di Kemenkeu. Saat ditanya Ketua Majelis Hakim Amin Ismanto, dia menjawab yakin kalau Widodo masih keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. \"Sepupunya Bapak, Pak SBY,\" jawabnya. Nah, hubungan antara Bu Pur dan Widodo bisa dikatakan cukup dekat. Pernah suatu waktu, Widodo meminta Bu Pur untuk mengamankan Kemenpora dari suatu demo. Di persidangan, Bu Pur tidak membantah kalau dia menggunakan pengaruhnya saat meminta Kapolda Metro Jaya Sutarman (saat itu) untuk memberi keamanan. Dia bisa melakukan itu karena Sutarman yang kini menjabat sebagai Kapolri adalah junior suaminya. Bu Pur mengaku tidak tahu darimana demo itu berasal. Dia hanya mengaku dengar dari omongan Deddy Kusdinar. Melalui permintaan pengamanan itulah yang membuat Bu Pur kenal dengan Deddy. Hubungan Bu Pur dengan Kemenpora semakin dekat. Dia mengenal beberapa orang lain seperti Sekretaris Pribadi mantan Menpora Andi Mallarangeng, yakni Iim Rohima. Dari Iim, Bu Pur kerap mengetahui berbagai proyek. Namun, dia mengaku bukan proyek Hambalang yang pernah didapatnya. \"Saya hanya bantu teman. Menanyakan, apakah ada proyek mebel di Kemenpora,\" terangnya. Kemampuannya untuk dekat di Kemenpora disebutnya bukan karena apa-apa. Bahkan, dia membantah dekat dengan keluarga Cikeas. Bu Pur menegaskan kalau dia hanya seorang ibu rumah tangga. Kesaksian menarik lainnya adalah, dia tiba-tiba mengaku tidak kenal dengan mantan Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Itu berbeda dengan apa yang disampaikannya saat diperiksa penyidik KPK. Bu Pur memilih mencabut keterangan itu karena mengaku saat diperiksa ditekan oleh penyidik. Muaranya, mengaku kenal Anas. \"Saya tidak pernah kenal dengan Anas Urbaningrum. Tapi, saat diperiksa di situ (KPK) saya dipaksa kenal Anas,\" katanya. Dia juga heran kenapa di BAP muncul keterangan kalau dia pernah mengajukan permohonan izin untuk menangani proyek pengadaan alat olahraga di Hambalang. Jubir KPK Johan Budi S.P mengaku heran dengan keterangan Bu Pur di sidang. Menurutnya, pernyataan itu aneh karena sebelum pemeriksaan penyidik selalu menyerahkan berkas ke terperiksa. Dari situ biasanya saksi bisa membaca dengan jelas keterangan yang diberikan. Kalau ada yang tidak benar, saksi juga diperbolehkan membetulkan. Malah, kalau ada keterangan tambahan, bisa disampaikan ke penyidik. \"Tidak benar penyidik menekan dan memaksa seseorang untuk membuat keterangan,\" katanya. (dim)

Tags :
Kategori :

Terkait