Membangun Kualitas Pendidikan Berbasis Akhlak Mulia

Minggu 15-12-2013,09:47 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

 Oleh: DR. H. Agus Alwafier By MM,

Caleg No Urut 3 DPR RI Partai Nasdem Dapil Cirebon-Indramayu

 

 Dewasa ini pola pendidikan di Indonesia di jalankan secara parsial, yang menurut istilah Iman santoso terfragmentasi, terkotak-kotak dalam spesialisasi dan kompartementalisasi sehingga tidak pernah malahirkan sumberdaya manusia secara utuh. Pada pendidikan yang mengedepankan aspek intelektual dan profesional akan melahirkan ilmuan yang sangat rasional namun mereka kurang memiliki kekayaan spiritual yakni akhlak. Akibatnya mereka melalui observasi, eksperimen dan penalaran logisnya merasa mendapatkan pengetahuan yang sempurna, namun mereka tidak mengetahui bahwa sesunguhnya masih terdapat sumber-sumber pengetahuan yang tidak dapat diangkat oleh instrumen ilmiah yang mereka agungkan itu. Disisi lain ada sekelompok ilmuan yang mengembangkan ilmunya dari sumber lain berupa informasi yang berasal dari Kitab Suci dan suri tauladan Nabi (assunnah), dua sumber itu sering dipandang sebelah mata oleh ilmuan modern dan di cap sebagai epistem rasional dan tidak ilmiah. Dimana nereka melalui bacaan teks, sejarah dan pemikiran terdahulu melakukan kajian mendalam tentang berbagai aspek kehidupan ini, kelompok ilmuan seperti ini disebut sebagai kaum ulama, sedangkan kelompok yang intelektual rasional disebutnya cendekiawan. Ulama dipandang hanya membaca Kitab Suci, skriptualis, apriori, statis, normatif, beroirientasi pada masa lalu dan tentunya tidak realistis yang disebabkan secara epistemologis basis pengetahuannya tidak pada dunia empiris, sementara cendekiawan dianggap lebih realistis karena basis pengetahuannya kokoh di dunia empiris.   Terhadap perbedaan sumber kajian dari masing-masing kelompok yang berbeda tersebut rasanya perlu difikirkan lebih serius untuk menyatukan kedua cendekiawan tersebut dalam rangka melahirkan sososk ilmuan yang lebih utuh yakni ulama yang intelek dan profesional atau inteletek profesioal yang sekaligus ulama. Hal ini bukanlah ilusi karena dalam sejarah Islam telah banyak lahir ilmuwan yang menguasai kedua perspektif tersebut. Sampai saat ini umat Islam masih selalu membanggakan para ilmuwan muslim yang mereka pandang memiliki profil utuh yakni sebagai ulama yang memgauasai Kitab Suci dan sekaligus sebagai intelentual yang berkecimpung secara intensif dalam aktivitas ilmiah, seperti Al Kindi dalam bidang filsafat, Al Farabi, Jabir Ibu Hayyan dalam ilmu kimia, Ibnu Sina dalam ilmu kedokteran, Al Biruni dalam ilmu fisika, Ar Razi dalam ilmu kimia, Al Khawarizmi dalam bidang matematika, Ibnu Haitsam dalam bidang ilmu teknik dan optik, Imam ghozali dalam ilmu filsafat dan etika, Ibnu Rusydi dalam bidang filsafat terutama logika, Ibnu Khaldun dalam ilmu sejarah dan ilmu sosial dan lain sebaginya mereka itu dikenal sebagai ulama cendekiawan atau ilmuan muslim sejati yang tangguh.   Merupakan produk konseptual dari cara pandang yang terkotak-kotak terhadap keilmuan itu yang kemudian melahirkan dualistik yaitu ilmu skuler dan ilmu non skuler, ilmu umum dan ilmu agama. Disebut ilmu skuler atau ilmu umum manakala hasil temuannya mengesampingkan informasi atau nilai-nilai Kitab Suci (Alqur’an). Sedangkan ilmu yang non skuler atau ilmu agama atau ilmu Islam adalah ilmu yang mendasarkan pengetahuannya dari hasil kajian Kitab Suci. Kedua perspektif ilmu ini sesungguhnya dalam pandangan Islam sangat mungkin dan bahkan seharusnya disatukan (integrated). Dalam kajian keilmuan Islam dikenal sebutan ayat-ayat qawliyyah dan ayat kawniyyah. Ayat qawliyyah berupa alQur’an dan hadits , sedangkan ayat qawniyyah adalah berupa hamparan alam jagat raya ini yang bisa dikenali melalui observasi, eksperimen dan penalaran logis. Baik ayat qawliyyah maupun qawniyyah, keduanya adalah tanda-tanda kekuasaan Allah dan kendatipun menggunakan pendekatan atau metodologi yang berbeda namun tujuannya adalah mengungkapkan realitas, kebenaran dan eksistensi Allah Swt.  
Tags :
Kategori :

Terkait