KAIRO - Konflik sektarian mulai membayangi Mesir. Empat hari setelah bom bunuh diri tahun baru merenggut 21 nyawa di kompleks Gereja Kristen Koptik Al-Qiddissin (Orang-Orang Kudus) di kota Alexandria, pemerintahan Presiden Hosni Mubarak masih belum berhasil mengungkap motif serangan. Kecemasan pun bertakhta di hati umat kristiani Mesir. Senin malam waktu setempat (3/1), Paus Shenouda III, pemimpin tertinggi Kristen Koptik, memprotes pemerintah. Mewakili umatnya, dia menyatakan bahwa pemerintah tidak mampu menerjemahkan ketakutan warga kristiani dengan baik. “Sudah menjadi tugas pemerintah untuk mendengarkan keluhan kami, berempati kepada kecemasan kami, dan berupaya menyelesaikan masalah yang ada,” paparnya. Menurut rohaniwan 87 tahun tersebut, bentrok aparat dan demonstran merupakan buntut ketidakmampuan pemerintah mengendalikan keamanan. Ledakan bom bunuh diri yang menyebabkan sekitar 79 orang terluka Sabtu lalu (1/1) membuat komunitas kristiani dan muslim Mesir ketakutan. Untung, kepanikan itu tidak lantas membuat masyarakat kalap dan terjebak dalam konflik sektarian. “Masalah hanya bisa diselesaikan lewat komunikasi dan cara damai. Bukan lewat amarah dan aksi emosional,” lanjut Shenouda dalam wawancara dengan Associated Press. Dalam kesempatan itu, dia mengimbau para demonstran yang sebagian besar kaum nasrani Mesir untuk bisa menahan diri. Tapi, dia juga mendesak pemerintah lebih serius melindungi kaumnya. Shenouda mengatakan, inti seluruh masalah berbau agama di Negeri Piramida itu adalah regulasi pemerintah yang berat sebelah. Menurut dia, perundang-undangan Mesir tentang kebebasan beragama dan beribadah tidak adil. “Jika ada peraturan yang merugikan komunitas tertentu, pemerintah harus melakukan revisi. Bukan hanya merevisi satu perundangan, tapi seluruh aturan yang berkaitan,” ungkapnya. Selama ini, sepuluh persen warga Mesir yang beragama Kristen merasa menjadi korban diskriminasi. Selain tidak bisa beribadah dengan leluasa, masyarakat Kristen cenderung diabaikan dalam bursa kerja. Akibat diskriminasi tersebut, sebagian umat menjadi radikal. Konflik kecil pun bisa mudah menyulut amarah mereka. Apalagi ledakan bom maut seperti yang terjadi pada 1 Januari lalu. Dari Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), sejumlah pakar terorisme membenarkan keluhan Shenouda dan kaum nasrani Mesir. “Di Timur Tengah, komunitas kristiani adalah sasaran empuk. Mereka lebih mudah dibidik dibanding komunitas agama lain,” papar Emile Hokayem, pakar dari International Institute for Strategic Studies, kepada Agence France-Presse. Belakangan, lanjut dia, Al Qaidah Iraq (AQI) mengubah target serangan mereka di Timur Tengah. Jika sebelumnya selalu menyasar komunitas Syiah, kini organisasi teror tersebut ganti menarget umat Kristen. “Serangan terhadap kaum Syiah atau pasukan asing selalu dibalas dengan aksi yang tak kalah mematikan. Karena itu, mereka ganti sasaran,” lanjutnya. Di mata AQI, komunitas Kristen di Timur Tengah merupakan elemen masyarakat yang paling lemah. Sebab, selain minoritas, komunitas berbasis agama itu jelas enggan melancarkan serangan balasan. Dengan demikian, AQI maupun kelompok Negara Islam Iraq (ISI) yang berafiliasi dengannya bisa melancarkan serangan dengan bebas. Mereka tidak perlu khawatir aksinya dibalas dengan serangan. Sementara itu, komunitas Kristen Koptik di Eropa juga mulai mencemaskan dampak bom tahun baru di Alexandria. Apalagi, belakangan, beberapa gembala Kristen Koptik menerima ancaman lewat internet. Di antaranya, pastor Koptik di Paris, Prancis, dan London, Inggris. Laporan itu membuat aparat keamanan Eropa melipatgandakan penjagaan. Terutama menjelang peringatan Natal Koptik yang jatuh tiap 7 Januari. (hep/c3/dos)
Gereja Koptik Ajak Umat Tenang
Rabu 05-01-2011,01:29 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :