Mereka tidak ingin sang Kiai hidup tenang meski sudah tinggal di luar istana. VOC khawatir Mbah Muqoyyim dan pengikutnya menyusun kekuatan untuk mengobarkan pemberontakkan.
Oleh karena itu, mereka lebih dulu menyerang. VOC membawa tentara untuk menangkap Mbah Muqoyyim dan para pengikutnya. Namun tidak bertemu.
BACA JUGA:Tiba di Irak, Timnas Indonesia Langsung Gelar Latihan
BACA JUGA:Peringati Hari Pahlawan DHC BPK 45 Gelar Beragam Kegiatan
Rencana VOC bocor. Mbah Muqoyyim dan pengikutnya melarikan diri. Mantan Mufti di Keraton Kanoman Cirebon itu memilih berkekelana. Hidup berpindah-pindah.
Mbah Muqoyyim tercatat pernah singgah di Tuk Cirebon, Pemalang hingga menyebrang ke Aceh.
Pengembaraan itu berlangsung sampai beberapa tahun. Sampai tiba waktunya dia diminta kembali ke Cirebon.
Itu terjadi ketika wabah penyakit yang sangat menular menyerang wilayah Cirebon. Sebelum kembali ke Cirebon, Mbah Muqoyyim mengajukan dua syarat.
Pertama, Pangeran Kanoman harus dipulangkan dari pengasingan. Kemudian penguasa Cirebon harus membangun mesjid.
Dua syarat itu dipenuhi. Lantas Mbah Muqoyyim pulang ke Cirebon. Namun demikian, dia tidak mengambil kembali jabatannya sebagai Mufti di Keraton Kanoman.
Mbah Muqoyyim memilih melanjutkan rencananya untuk membangun pesantren. Pesantren yang ditinggalkan beberapa tahun lalu dibangun kembali.
Pondok pesantren itu masih berdiri sampai saat ini. Sekarang dikenal sebagai Buntet Pesantren Cirebon. salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia.
Dilansir dari laman nu.or.id, sejarah kehidupan Mbah Muqoyyim ditulis oleh Bintang Irianto dalam bukunya berjudul 'Sang Kyai Rakyat'.