“Lebakan dan undung-undung (gundukan tanah) ini masih ada,” kata kepala desa yang merupakan warga asli Slangit tersebut.
Tanda-tanda tersebut, sekaligus menegaskan bahwa persyaratan menikah dengan warga Panguragan belum bisa dilakukan.
Mitos ini erat hubungannya dengan leluhur Desa Slangit dan Desa Panguragan di zaman dulu.
Sampai sekarang nyaris seluruh warga Slangit percaya. Karena telah banyak indikasi yang mengarah kepada kesialan-kesialan tersebut. Tentunya jika pantangan itu dilanggar.
BACA JUGA:Sejarah Desa Trusmi Berdasarkan Penelitian, Pusat Perkotaan yang Kembali Menjadi Pedesaan
Pantangan lain yang terjadi di Desa Slangit, warga dilarang untuk menjual nasi kepada konsumen.
Para pedagang yang membuka usaha makanan, hanya menyediakan lauk pauknya saja.
Jika ada yang memaksa nasi, akan dikasih, namun tidak masuk dalam bon pembayaran.
Nasi tersebut akan diberikan secara sukarela oleh pedagang, tetapi mereka tidak akan mengeluh.
BACA JUGA:Sejarah Desa Rawagatel, Balong Beracun yang Berhasil 'Disembuhkan'
Suliah dan Aseni adalah pedagang yang ditemui di warung berbeda tak jauh dari kantor Desa Slangit.
Keduanya juga tak menjual nasi. Mereka bedua mengaku mengetahui larangan-larangan itu dan mematuhinya.
“Karena sudah kepercayaan turun-temurun,” kata Aseni di tempat usahanya.
Larangan menjual nasi ini erat kaitannya dengan jiwa sosial leluhur. Yang memiliki kepedulian tinggi untuk memberi. Apalagi itu kebutuhan pokok.
BACA JUGA:Sejarah Gempa Sumedang, Goncangan Besar sampai Diliput Koran Belanda
“Kalau ada tamu dari mana saja, nasi itu jangan dijual. Biar dikasihkan saja,” ujar kepala desa Sura Maulana.