Eka Gagas Kementerian Pedesaan

Selasa 18-02-2014,12:14 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

KUNINGAN- Ide cemerlang untuk percepatan kemajuan desa digulirkan calon legislatif DPR RI nomor urut I, dapil X Jawa Barat dari Partai Nasdem, Eka Santosa. Dalam sosialisasinya ke desa-desa, mantan ketua DPRD Jawa Barat periode 1999 hingga 2004 tersebut menggagas pembentukan Kementerian Pedesaan. Eka memastikan, 70% masyarakat hidup di pedesaan. Maka fokus perhatian pemerintah harus diputar 180 derajat dari kota ke desa. Desa harus tersentuh kuat dana APBN yang sejauh ini tersentral di pemerintah pusat. Sehingga jangan ada alasan ketidakmampuan sumber daya desa. “Sebab itu, saya support penuh Undang-Undang Desa,” tegas Eka, yang juga eks sekjen Masyarakat Adat Tatar Sunda itu kepada Radar, Senin (17/2). Ia ingin eksistensi kepala desa (kades) sebagai sosok pilihan rakyat dihormati. Tapi kendalanya ada sekdes berstatus PNS yang tidak ditunjuk kades. Akibatnya, kades terganggu dan terekspansi hingga timbullah dualisme kepemimpinan desa. Ia bukan tidak setuju sekdes menjadi PNS. Tapi menurutnya, alangkah lebih bijak ketika sekdes sebagai motornya organisasi pemerintahan desa bukan PNS. Sekdes harus ditunjuk dan ikut kades. “Sebagai sosok terpilih, kades harus punya otoritas. Termasuk memilih sekdes,” tandasnya. Persoalan desa tidak sampai di situ. Eks politisi senior PDIP Jabar itu juga menyebut, bahwa desa tidak hanya menjadi ujung tombak, tetapi juga ujung tombok. Kaitan warga yang jarang makan, buta huruf dan lain-lain, hanya kades yang tahu. Tapi untuk program BLSM misalnya, kades tidak pernah ditanya. Pendataan kerapkali dilakukan pusat. Akibatnya, ketika ada salah sasaran, tetap kades yang jadi korban sasaran kekecewaan warga. Beban lain ialah pungutan-pungutan kepada masyarakat melalui pemerintahan desa seperti untuk target PMI dan lain-lain. Jika belum mencapai target, ADD ditahan. Begitu juga soal bersa miskin (raskin). Eka menilai, program raskin tidak manusiawi. Karena menurutnya, swasembada beras merupakan kewajiban negara dan hak bagi setiap warga negaranya. Tanpa harus mengecilkan warga negara dengan istilah raskin. Lebih jauh, pemerintah seakan menciptakan kesenjangan sosial antarwarga negara. “Ini jelas menyakitkan,” katanya. Eka pun mengkritik dana saksi pemilu. Menurut dia, dana saksi sama dengan merampok uang rakyat. Jika terjadi ribut-ribut pemilu, lagi-lagi kadeslah yang kena sasaran. Sedangkan kades tidak menerima dana PPS. “Itu hanya sebagian kecil persoalan desa sebagai ujung tombok. Jadi mari lepaskan beban-beban desa itu,” ajak Eka. Maka menurutnya, penting untuk mengembalikan desa sebagai instutisi budaya. Seni budaya muncul dari desa melalui suling, kecapi, gamelan dan lainnya untuk tatar sunda. Jangan lagi memberi kesan kantor pemerintahan desa kaku. Jangan terlihat lagi ada aparat desa mengenakan seragam pakaian Korpri. “Buat apa pakaian Korpri. Apa aparat desa diberi dana pensiun,” tanya mantan ketua Komisi II DPR RI itu. Selanjutnya, Eka meminta pemerintah tidak perlu repot mengurus masa kerja kades. Untuk mengukur kinerja kades selama 6 tahun, tidaklah cukup. Sebab desa tidak memiliki kekuatan untuk itu. Lahan bengkok sendiri terbatas. Jadi biarkan saja masa kerja kades selama masyarakat mau. “Toh, kalau masyarakat sudah tidak menginginkan karena perbuatan kades tercela, pasti masyarakat menurunkan sendiri,” papar Eka. Dari beragam persoalan tersebut, Eka bertekad untuk memperkuat positioning desa. Bila perlu menjadikan desa sebagai pemerintahan tingkat III. Adapun kecamatan tetap vertikal ke pusat. Bahkan ia secara mengejutkan akan menggagas Kementerian Pedesaan RI. Jadi ada menteri yang fokus lurus mengurus kemajuan desa. “Mungkin terdengar kontroversi. Tapi desa dijadikan pemerintahan tingkat III, dan pembentukan Kementerian Pedesaan sangat penting untuk penguatan desa. Ingat, desa kuat, NKRI kuat,” koar Eka dengan nada keras. Ia prihatin selama 70 tahun merdeka, pemerintah belum mampu memajukan desa. Maka menurutnya, kembalikan desa kepada asal usulnya sebagai institusi budaya yang lahir sebelum negeri ini ada. (tat/opl) Photo: Eka Santosa

Tags :
Kategori :

Terkait