TINGKAT kemajuan sebuah negara dapat diukur dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri akan bisa dicapai melalui sebuah proses yang disebut penelitian dan pengembangan, atau lebih dikenal dengan sebutan research and development (R&D). Kegiatan penelitian atau riset bukanlah merupakan sebuah pekerjaan yang dapat dilakukan secara instan atau cepat. Tetapi lebih merupakan sebuah proses panjang melalui berbagai proses try and error. Dengan demikian dalam melakukan kegiatan riset ini perlu adanya suatu kesinambungan atau berkelanjutan. Dimulai dari riset dasar, pengembangan, sampai kepada tahap aplikasi atau penerapan yang menghasilkan sebuah produk. Riset seperti inilah yang menjadi keunggulan atau senjata yang sangat ampuh yang dimiliki negara-negara maju untuk membangkitkan perekonomian dan kesejahteraan mereka. Kemudian timbul pertanyaan, dimana posisi Indonesia dalam hal kemajuan riset ini, yang juga berarti kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini? Jawabannya tentu kita semua sudah tahu, bahwa negara kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain di dunia ini. Jangankan dalam kancah dunia, dalam kancah Asia tenggara saja, kita masih tertinggal. Jika dibandingkan dengan negara seperti Singapura dan Malaysia misalnya. Lalu dimana letak permasalahannya? Apa yang menyebabkan Indonesia demikian tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi? Perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu hal yang bersifat dinamis dan tidak statis. Artinya ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang bahkan berubah setiap masa. Hal ini terjadi karena proses R&D yang terus berkelanjutan. Suatu ilmu pengetahuan dan teknologi yang diyakini kebenarannya dan diterapkan 10 atau 20 puluh tahun yang lalu atau bahkan pada saat ini, mungkin saja sudah tidak bisa diterapkan atau dipakai atau ditinggalkan sama sekali di masa-masa yang akan datang. Karena itu kegiatan R&D harus terus dilakukan sepanjang masa. Kalau tidak, kita selamanya akan tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia dan hanya akan menjadi pemakai dari produk R&D itu sendiri selama-lamanya. Dengan tidak bermaksud mencari berbagai alasan, perlu kiranya kita mencoba menganalisis apa masalah yang kita hadapi dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, untuk kemudian kita coba siasati agar bisa dilakukan perbaikan atau peningkatan untuk masa-masa yang akan datang. Menurut hemat penulis, permasalahan pertama dan yang paling utama adalah masalah biaya riset untuk negara sebesar Indonesia masih sangat minim, yaitu hanya Rp 6,25 triliun untuk tahun anggaran 2012 (sumber: Republika Online, 11 Desember 2011), atau hanya 0,43 persen dari APBN yang sebesar Rp 1.435 triliun. Hal ini bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena memang pemerintah kita tidak memiliki dana yang cukup untuk dialokasikan dalam bidang riset ini. Alasan yang kedua adalah karena pemerintah kita sendiri belum menganggap penting manfaat riset. Artinya kegiatan riset masih belum menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah kita. Menurut hemat penulis, seandainya pemerintah masih menganggap bahwa kegiatan riset merupakan kegiatan yang kurang penting, tentu saja hal ini merupakan alasan yang kurang tepat. Mari kita coba lihat statistik dan juga nominal sesungguhnya untuk membandingkan dana riset yang dimiliki oleh Indonesia dengan salah satu raksasa dunia, yaitu Amerika Serikat (AS). Dari perbandingan ini, penulis berharap untuk mendapatkan angka atau persentase minimal yang ideal yang perlu dialokasikan untuk dana riset di Indonesia. Perbandingan ini akan kita lihat dari beberapa parameter kasar ekonomi yang berbeda. Yang pertama adalah dari sisi anggaran belanja, misalkan kita ambil contoh untuk tahun fiskal 2012*. Anggaran belanja AS untuk tahun 2012 yang sudah disetujui adalah US$ 3.7 triliun atau sekitar Rp 33.570 triliun (dengan kurs US$ 1=Rp 9.000). Sedangkan dana riset yang disediakan oleh pemerintah AS adalah US$ 144 milyar (Rp 1.296 triliun) atau sekitar 4.3 persen dari anggaran yang ada. Bandingkan dengan persentase dana riset di Indonesia yang hanya sebesar 0.43 persen dari dana APBN. Belum lagi kalau kita bandingkan nominal sesungguhnya, jumlah dana riset di Indonesia hanya sebesar 0.48 persen dari jumlah dana riset di AS. Padahal dari segi total anggaran, jumlah APBN Indonesia untuk tahun 2012 adalah sebesar 4,3 persen dari anggaran total AS. Demikian juga kalau kita lihat dari segi gross domestic product (GDP). GDP Indonesia adalah sekitar 4,8 persen dari GDP AS. Jadi kalau kita ingin mengambil persentase yang ideal untuk anggaran riset di Indonesia minimal harus 4.3 persen dari total APBN atau sekitar Rp 62 triliun. Jumlah ini berarti sepuluh kali lipat dari dana riset yang kita miliki sekarang. Meskipun jumlah ini bukan berarti sudah mencukupi untuk melakukan kegiatan riset di sebuah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar seperti Indonesia. Jumlah dana yang sebesar ini atau bahkan lebih besar dari ini adalah jumlah yang sangat mungkin untuk ukuran Indonesia yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia (anggota G20). Dengan syarat bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya termasuk parlemen mampu mencegah berbagai kebocoran anggaran negara dan juga mampu melakukan efisiensi di berbagai sektor, yang jumlahnya bisa mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, mari kita bandingkan jumlah nominal dana riset yang dialokasikan untuk Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan sebuah lembaga riset di AS, misalkan dengan mengambil contoh salah satu Universitas di AS. Di negara maju seperti AS, universitas-universitas yang ternama sering juga disebut sebagai Research University. Di universitas-universitas ini, riset merupakan tulang punggung kegiatan universitas sekaligus juga sebagai sumber utama penerimaan dana melalui berbagai kegiatan riset yang dilakukan oleh para dosen mereka. Dalam hal ini penulis mengambil Universitas Yale (Yale University) tempat dimana penulis pernah menimba ilmu dengan melakukan kegiatan riset. Setiap tahunnya, Universitas Yale rata-rata mengalokasikan dana riset sebesar US$ 500 juta (sumber: Yale Financial Report 2009-2010), atau sekitar Rp 4,5 triliun. Dana ini diperoleh melalui dana (grant) riset yang didapat dari berbagai sumber, seperti misalnya dari the National Institute of Health (NIH) dan the National Science Foundation (NSF). Kedua lembaga ini merupakan lembaga-lembaga utama penerima dana riset dari pemerintah federal AS, yang berturut-turut menerima dana sebesar US$ 32 milyar (Rp 288 triliun) dan US$ 7.4 milyar (Rp 67 triliun). NIH merupakan penerima dana riset terbesar kedua setelah Departemen Pertahanan AS (US$ 78 milyar) atau sekitar Rp 700 triliun. Angka Rp 4,5 triliun yang digunakan oleh satu institusi riset seperti Universitas Yale selama satu tahun ini berarti lebih dari 70 persen dari seluruh dana riset yang dimiliki oleh Kemenristek yang harus dibagi-bagikan lagi ke lima lembaga pemerintah non-departemen di bawahnya, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Badan Standardisasi Nasional (BSN) (sumber: Republika, 11 Desember 2011). Dari perbandingan sekilas yang dibuat di atas, kita bisa melihat betapa kecilnya dana riset yang kita miliki baik dari segi persentase maupun dari segi nominalnya. Terlebih jika kita bandingkan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 240 juta dengan penduduk AS yang sekitar 300 juta, tidaklah jauh berbeda. Jumlah penduduk memiliki arti yang sangat penting dan strategis dalam kegiatan pembangunan suatu negara. Karena semakin banyak jumlah penduduk, semakin kompleks kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi suatu negara. Dengan demikian diperlukan berbagai upaya untuk mengatasi dan menanggulangi segala kebutuhan dan permasalahan yang ada tersebut. Dan salah satu cara yang harus dilakukan adalah dengan melakukan berbagai riset dan pengembangan di berbagai bidang. Hal ini ditujukan agar kita tidak selalu tergantung kepada keberadaan negara lain. Untuk kondisi Indonesia, keadaan ini diperparah oleh sebuah kenyataan bahwa dana riset yang sudah sangat kecil ini harus digunakan untuk membeli berbagai bahan dan peralatan yang sebagian besarnya masih harus kita impor dari luar negeri. Tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh terhadap jumlah dan kualitas riset yang bisa kita lakukan. Sebagai pengetahuan para pembaca saja, bahwa harga alat-alat dan bahan-bahan riset di Indonesia pada umumnya jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan di luar negeri seperti AS. Karena sampai saat ini kita masih belum mampu memproduksinya sendiri alias harus mengimpor barang-barang. Permasalahan yang kedua adalah bahwa kegiatan riset di Indonesia kehilangan fokus atau prioritas. Fokus atau prioritas dalam melakukan riset ini sangat penting, terlebih dengan keterbatasan dana yang kita miliki. Menurut hemat penulis ada beberapa kegiatan riset yang harus dijadikan prioritas yang sesuai untuk konteks Indonesia, yaitu diantaranya adalah: 1. Riset dan pengembangan bidang pangan Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar dalam hal kebutuhan pangan ini karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, keempat terbesar di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk yang sangat besar ini juga sekaligus menjadi potensi pasar yang sangat besar pula, karena Indonesia tidak akan terlalu bergantung pada pasar luar negeri (ekspor). Konsumsi dalam negeri (lokal) kita sendiri sudah cukup untuk menggerakkan kegiatan ekonomi di sektor ini. Hal ini tentu saja perlu didukung oleh perangkat perundang-undangan dan peraturan-peraturan agar dapat melindungi, melibatkan sekaligus memberdayakan masyarakat seluas-luasnya. Karena itu daya tahan pangan harus dijadikan prioritas utama pembangunan Indonesia yang harus terus ditingkatkan melalui berbagai kegiatan riset dan pengembangan, agar harga pangan berada pada titik dimana masyarakat mampu mendapatkannya dengan mudah dan murah sesuai dengan penghasilan mereka. Bidang-bidang riset yang dapat dilakukan untuk mendukung ketahanan pangan ini diantaranya adalah bidang-bidang: 1.1 Riset dan pengembangan bidang pertanian Dalam membahas masalah pertanian ini, ada baiknya kita berkaca kepada keberhasilan negara tetangga kita dalam bidang pertanian seperti Thailand. Thailand saat ini sudah menjelma menjadi raksasa di bidang pertanian. Thailand merupakan negara pengekspor beras terbesar di dunia (Wikipedia). Kemana pun kita pergi di belahan dunia ini, kita akan menjumpai beragam produk-produk hasil pertanian Thailand dan tidak terbatas hanya pada beras saja. Kita sudah terbiasa mendengar kata Bangkok untuk berbagai jenis buah-buahan dengan kualitas yang baik. Padahal kalau dari segi luas wilayah, luas wilayah Thailand hanya meliputi kurang dari 30 persen wilayah Indonesia. Seharusnya dengan potensi luas tanah, kesuburan dan keanekaragaman pertanian Indonesia, kita sudah harus mampu mencapai swasembada untuk produk-produk pertanian seperti beras, sayur-mayur, dan buah-buahan. Hal ini bisa mereka capai karena didukung oleh kemajuan mereka dalam riset di bidang pertanian. Mereka fokus kepada apa yang mereka yakini perlu dan mampu untuk dilakukan. 1.2. Riset dan pengembangan sumber daya laut Siapa yang tidak kenal Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17 ribu pulau (Wikipedia) yang sudah pastinya memiliki luas dan potensi laut yang sangat besar, dengan panjang garis pantai mencapai 80.000 kilometer. Dalam membahas potensi kelautan ini, termasuk di dalamnya adalah potensi air tawar Indonesia yang cukup luas. Dengan potensi yang seperti ini, sudah seharusnya kita memiliki perhatian yang lebih terhadap peningkatan dan pengembangan riset di bidang kelautan ini. Namun kenyataannya, saat ini seolah pemerintah meninggalkan bahkan melupakan potensi yang ada ini. Hal ini bisa kita ketahui dari fakta bahwa pada saat ini Indonesia masih mengimpor bukan saja hasil pengolahan sumber daya laut, tetapi juga mengimpor hasil laut itu sendiri, seperti ikan dan garam misalnya. Keadaan ini sunguh merupakan suatu ironi yang terjadi pada bangsa kita saat ini. Hal ini terjadi disamping permainan bisnis dari segelintir orang, tetapi juga karena kekurangseriusan pemerintah dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan riset di bidang kelautan yang nantinya dapat digunakan untuk pemanfaatan dan pengolahan sumber daya laut. Kekayaan laut kita tidak hanya terbatas kepada ikan saja, tetapi juga rumput-rumput dan tanaman laut yang menurut para ahli memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan sebagai bahan pangan. obat-obatan dan industri lainnya, termasuk di dalamnya adalah bahan bakar gas dan minyak 2. Riset dan pengembangan sumber daya tambang Indonesia tidak hanya dikenal dengan kesuburan tanah, tetapi juga keberagaman hasil tambang baik di perut bumi maupun di lautan. Namun lagi-lagi, kekayaan alam kita ini masih belum bisa kita manfaatkan dan kita olah dengan sebaik-baiknya oleh tangan kita sendiri. Seyogyanya, dengan potensi bahan tambang yang beragam dan melimpah, sudah sejak lama Indonesia perlu dan harus memiliki sebuah pusat riset atau perguruan tinggi yang khusus untuk mengurusi masalah pertambangan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh negara-negara lain di dunia. Sehingga berbagai potensi yang ada dapat dimanfaatkan dan diolah dengan sebaik-baiknya oleh anak-anak bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja Malaysia misalnya, memiliki Universiti Teknologi Petronas yang merupakan sebuah perguruan tinggi yang didirikan bukan hanya untuk menunjang berbagai kegiatan di perusahaan induknya, yaitu Petronas (perusahaan minyak negara Malaysia), tetapi juga merupakan sebuah bentuk nyata hasil dan sumbangan perusahaan ini kepada negara. Demikian juga dengan Arab Saudi dengan Aramco-nya. Mereka memiliki perguruan tinggi sendiri dengan nama King Fahad University for Petroleum and Minerals (KFUPM). Seharusnya Pertamina atau perusahaan tambang lainnya bisa memiliki sebuah perguruan tinggi untuk menopang berbagai kegiatannya, sekaligus sebagai sumbangan nyata kepada negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Perguruan tinggi yang didirikan tidak hanya terbatas pada tambang minyak saja, tetapi juga sumber daya alam lainnya. Memang di beberapa perguruan tinggi di Indonesiaada beberapa jurusan yang berkaitan dengan masalah teknologi pertambangan, tetapi itu sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia di bidang pertambanngan. Yang terjadi saat ini adalah sebagian besar industri pertambangan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Keadaan ini tentunya sangat tidak menguntungkan negara, karena sebagian besar keuntungan usaha ini tidak bisa masuk ke kas negara. Sebuah contoh kasus misalnya perusahaan tambang emas PT. Freeport yang membayarkan royalty hanya satu persen (1%). Dan ini sudah berjalan sejak puluhan tahun lalu sejak pertama kali beroperasinya perusahaan ini di Papua pada tahun 1973. Dan menurut perjanjian kontrak yang baru, perusahaan ini memiliki hak untuk mengeksplorasi tanah Papua sampai dengan tahun 2041 (Republika Online, 21 Februari 2012). Sungguh suatu kenyataan yang sangat menyakitkan. 3. Riset dan pengembangan obat-obatan tropis Keanekaragaman dan kekayaan hutan tropis Indonesia diyakini sebagai yang terbesar kedua di dunia setelah Brazil (Wikipedia), yaitu mencakup 10 persen dari hutan dunia yang tersisa (USAID Report on Conservation of Tropical Forests and Biological Diversity In Indonesia, 2008). Apa yang terjadi selama ini menurut hemat penulis, eksplorasi kekayaan hutan kita masih sangat minim sekali. Yang ada baru sebatas eksploitasi kekayaan hutan, yaitu kegiatan logging atau penebangan hutan, dan pertambangan baik itu yang secara resmi maupun secara liar. Padahal di hutan-hutan tropis Indonesia terdapat berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang memiliki potensi yang sangat besar baik dari segi ilmu pengetahuan maupun pemanfaatannya bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Penulis sebut salah satu contoh adalah keragaman hayati hutan tropis Indonesia. Indonesia memiliki sekitar enam ribu (6000) tanaman yang memiliki hasiat obat-obatan. Dengan potensi yang demikian besar ini dan ditunjang dengan riset dasar yang kuat, Indonesia semestinya sudah menjadi produsen obat-obatan terbesar di dunia. Dalam hal ini bukan berarti semua bidang obat-obaan dan kedokteran harus kita kuasai. Kita prioritaskan riset-riset di bidang obat-obatan yang banyak kita jumpai di iklim tropis baik yang berada di sekeliling rumah kita, hutan dan lautan kita yang sangat luas dengan berbagai keanekaragaman hayatinya (natural products). Upaya pencarian obat-obatan ini juga harus diselaraskan dengan riset di bidang penyakit-penyakit yang umumnya ditemukan di daerah-daerah tropis seperti Indonesia, seperti misalnya penyakit-penyakit yang disebarkan oleh nyamuk, yaitu malaria, demam berdarah, chikungunya dan banyak lagi penyakit yang disebabkan kontak manusia dengan serangga atau hewan lainnya (flu burung, swine flu). Dalam dunia ilmu pengetahuan, sebuah obat baru bisa dinyatakan layak untuk dikonsumsi oleh manusia, jika obat-obat ini sudah melalui berbagai rangkaian riset dan percobaan. Dalam hal ini Institut Pertanian Bogor (IPB) sudah mempelopori riset ke arah ini dengan membuka pusat riset baru yaitu Pusat Studi Biofarmaka. 4. Riset penyakit-penyakit tropis Sejalan dengan kegiatan riset obat-obaan tropis yang disebutkan di atas, kegiatan riset dalam bidang penyakit tropis juga harus dilakukan. Inisiatif pembangunan Pusat Studi Biofarmaka harus didukung dengan kegiatan riset di bidang kedokteran. Pemerintah harus terus mendorong berbagai kegiatan riset dan pengembangan di bidang ini. Tujuan dari kegiatan riset di bidang ini adalah agar kita bisa mandiri dalam menghadapi berbagai tantangan dalam bidang kesehatan dengan mampu melakukan upaya pencegahan dan pengobatan berbagai macam penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat. Berdasarkan laporan the World Health Organization (WHO), Indonesia berkontribusi sebanyak 70 persen dalam kasus demam berdarah di wilayah Asia Tenggara (WHO report, 2006). Pada tahun 2010 terdapat sebanyak 157.370 kasus demam berdarah di Indonesia. Setiap tahunnya Indonesia menghabiskan Rp 3,1 triliun rupiah untuk biaya pencegahan dan pengobatan penyakit demam berdarah saja (The Jakarta Post, 15 Juni 2011). Berdasarkan data dan fakta ini, sebaiknya pemerintah mengalokasikan dana yang lebih untuk kegiatan riset di bidang obat-obatan dan kedokteran yang berkaitan dengan penyakit ini dan penyakit-penyakit sejenis yang sudah disebutkan di atas. Demikian juga halnya dengan kegiatan riset-riset dasar. Kita harus terus melakukan berbagai riset dalam ilmu dasar yang berkaitan dengan bidang kedokteran yang disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia, karena sering kali suatu jenis penyakit adalah unik untuk tempat-tempat tertentu. Satu contohnya adalah dengan bermunculannya virus-virus baru yang merupakan tantangan sendiri untuk para peneliti di Indonesia untuk dicarikan solusi pencegahan dan pengobatannya. Itulah beberapa bidang riset yang menurut hemat penulis layak untuk dijadikan sebagai prioritas kegiatan riset di Indonesia. Bukan berarti kegiatan riset di bidang-bidang lain tidak diperlukan, tetapi keterbatasan dana yang ada mengharuskan kita untuk memilih riset mana yang harus kita prioritaskan. Kemampuan kita menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, kelautan, pertambangan, obat-obatan dan kedokteran yang bersumber dari potensi yang kita miliki, akan menjadi modal yang sangat besar untuk dapat melakukan riset dan pengembangan pada bidang-bidang lainnya. Pada bagian terakhir tulisan ini, penulis ingin menyinggung masalah pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang dikaitkan dengan strategi, efektifitas dan produktifitas riset yang dilakukan. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah pemetaan kembali SDM yang ada. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM perlu diarahkan untuk menunjang kegiatan-kegiatan riset di bidang yang sudah diprioritaskan. Hal ini dapat terus ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri. Penulis sendiri sangat yakin bahwa kita memiliki sumber daya yang cukup memadai untuk melakukan berbagai riset yang diprioritaskan di atas. Sekali lagi penulis menekankan bahwa suatu riset harus dilakukan secara berkelanjutan dan jangan sampai terhenti di tengah jalan. Kalau sebuah riset terputus di tengah jalan, maka hal ini akan menjadi mubazir baik dari segi waktu, tenaga, dan juga biaya. Untuk menghindari agar hal ini tidak terjadi, maka sebaiknya sebuah riset dilakukan secara terkoordinasi dan terintegrasi dalam kelompok-kelompok (group) besar. Setiap group besar diharapkan dapat menyelesaikan riset dari “A sampai Z” untuk satu topik riset dalam jangka waktu tertentu. Koordinasi juga diperlukan bukan hanya di dalam satu lembaga riset, tetapi juga diperlukan antar lembaga lembaga riset agar tidak terjadi tumpang tindih proyek riset. Demikian juga dengan kerjasama dengan industri-industri terkait. Sangat penting untuk diketahui apa kebutuhan pihak industri yang memerlukan dukungan riset dan pengembangan dari lembaga-lembaga riset atau perguruan tinggi di Indonesia. Hal kedua yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan kesejahteraan yang cukup memadai untuk para peneliti baik itu di lembaga-lembaga riset maupun perguruan tinggi (dosen). Di negara-negara maju, para dosen merupakan ujung tombak kegiatan riset. Bahkan kegiatan utama mereka sehari-hari di perguruan tinggi adalah sebagai peneliti. Maka itu tidak heran jika setiap hari dari pagi sampai petang kita bisa menjumpai mereka di kantor atau di laboratorium mereka. Tingkat gaji yang layak yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan, pengalaman, dan prestasi kerja dosen atau peneliti adalah sangat perlu. Dengan demikian mereka bisa fokus dalam melakukan kerja mereka yang insya Allah dapat mendapakan hasil yang maksimal. Wallahu’alam! Oleh: Kholis Abdurachim Audah, PhD
Rencana Strategis Riset Indonesia
Senin 03-03-2014,07:18 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :