Digarap Chevron, Desa Sukamukti, Pajambon, Palutungan dan Ragawacana Terancam Dipindah

Kamis 06-03-2014,09:59 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

*Sebelum Ada PLTP, Pendapatan Warga dari Hasil Tani Rp30 M Tiap Tahun KUNINGAN – Dalam empat hari terakhir, publik Kuningan dan sekitarnya ramai soal isu Gunung Ciremai yang dijual, namun jauh sebelum itu, warga Desa Pajambon, Kecamatan Jalaksana, sudah resah sejak tiga tahun lalu. Itu setelah panas bumi di kawasan Cilengkrang diteliti dan hasilnya bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Mereka khawatir pembangunan Pabrik Chevron akan membuat mereka direlokasi (dipindah) ke tempat lain. Begitu juga, kalau memang tidak berbahaya, akan banyak lahan milik warga yang akan dibebaskan untuk pembangunan pabrik. “Kalau sekarang tidak seberapa keresahannya. Dulu keresahan bukan hanya menimpa desa kami melainkan desa yang berada di bawah kaki gunung. Ada empat desa yang diisukan bakal terkena dampak yakni Desa Pajambon dan Sukamukti Kecamatan Jalaksana, Desa Palutungan Kecamatan Cigugur, dan Desa Ragawacana Kecamatan Kramatmulya,” tutur Kades Pajambon Momon Romansah kepada Radar, kemarin (5/3). Mungkin, kata dia, keresahan warga yang tidak seberapa dibanding tahun sebelumnya, karena belum ada kepastian dari pemerintah. Ia sendiri hingga saat ini, belum pernah diberitahu bagaimana kelanjutan pengelolaan panas bumi. Diakuinya, beberapa tahun lalu pihak desa diajak untuk studi banding ke kawah Kamonjang. Namun, setelah itu tidak ada kabar lagi. Ia sendiri ketika menanyakan ke pihak Dinas SDAP Kuningan belum ada jawaban pasti. “Meski tidak sesering dulu, tapi warga selalu menanyakan bagaimana kelanjutan pengelolaan panas bumi. Saya sendiri hanya bisa mengatakan tunggu informasi resmi dari warga,” lanjut pria yang sudah menjabat kades selama tiga tahun ini. Dari hasil studi banding diperoleh kabar untuk membangunan pabrik diperlukan lahan minimal 4 Ha. Kalau itu memang benar lahan yang ada Curug Cilengekrang yang menjadi titik panas bumi dan sekitarnya terpaksa harus dibebaskan. Dan lahan yang ada di sekitar panas kurang lebih seluas itu. Lahan yang 4 Ha itu, lanjut dia, selain masuk kawasan TNGC juga ada lahan milik warga yang jumlah di kisaran angka puluhan. Pihaknya, tidak mempermasalahkan kalau memang proyek ini memberikan dampak positif ke warga. Tapi kalau sebaliknya, warga akan menolak tegas. “Kalau kami sih sudah sepakat kalau merugikan pasti ditolak. Sebab, masyarakat dengan kondisi saat ini boleh dibilang sudah sejahtera,” tandasnya dia. Momon menyebutkan, paska di wilayahnya ramai diinformasikan mengandung panas bumi, banyak warga luar yang mendadak ingin membeli tanah. Berbagai alasan mereka kemukakan ketika ditanya kenapa membeli tanah. Ada yang menyebutkan untuk agrobisnis. Pihaknya, langsung menolak karena ada sesuatu yang disembunyikan, terlebih membutuhkan tanah 4 Ha dan berada di sekitar panas bumi. Memang ada lahan yang berhasil dijual kepada investor, namun lahan itu milik warga Malar Aman Desa Palutungan yang kebetulan memilik tanah di Pajambon. “Untuk yang satu ini saya tidak bisa melarang karena mereka bukan warga saya. Kalau tanah milik warga Pajambon saya akan mati-matian menolak,” ujarnya. Pria yang menikmati pekerjaan sebagai kades ini menyebutkan, harga tanah di Blok Cilengkrang yang terdiri dari perbukitan dari semula Rp50 ribu/bata (14 m) menjadi Rp500 ribu. Bahkan, yang lebih mahal yang dikawasan perpakiran atau 4 km sebelum menuju Cilengkrang harganya dari semula Rp500 ribu menjadi Rp2,3 juta. Dengan kondisi seperti ini, tidak heran banyak calo-calo tanah yang datang. Mereka mungkin ingin memanfaatkan proyek Chevron untuk usaha baik itu restoran atu resort. “Jangan salah, yang datang mengincar tanah bukan orang sembarang ada mantan kapolda yang juga mengincar tanah disini. Tapi, kami kembali tolak,” katanya lagi. Ia menerangkan, sebenarnya warga sudah nyaman dengan kehidupan yang ada sekarang ini. Betapa tidak warga yang berjumlah 2.685 (718 KK) selain menggantungkan dari sayuran juga dari penjualan jambu merah. Dia menjelaskan, dari lahan pertanian seluas 20 Ha sekitar 70 persennya ditanami pohon jambu. Pohon jambu ini setiap hari bisa menghasilkan buah sekitar 5-10 ton/hari. Kalau dijumlah Rp3.000/kg dalam setahun pendapatan warga sekitar Rp18 miliar. “Itu dari usaha jambu saja, belum dari hasil sayuran. Kalau saya hitung-hitung secara kasar dalam setahun warga bisa menghasilkan uang Rp30 miliar. Yang menjadi pertanyaan apakah Chevron mampu membayar kompensasi setiap setahun sebesar itu?” tandasnya yang menyebutkan potensi panas bumi di Cilengkarang paling tinggi yakni 135 MW. Kalau dijual dengan tanahnya, lanjut dia, pasti akan lebih mahal lagi. Apalagi tanah yang berada di kaki Gunung Ciremai sangat subur. Tarkait beredarnya informasi bahwa pihak Chevron sudah membangun pabrik sebagai tahap awal pengolahan panas bumi, Momon membantahnya. Pihaknya akan menolak pembangunan tanpa ada koordinasi dengan pihak desa. PANAS BUMI TIDAK TIMBULKAN POLUSI Sementara, kekhawatiran masyarakat terkait kemungkinan timbulnya polusi dan kerusakan ekosistem, akibat dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Gunung Ciremai, ditepis pakar pertambangan dan energi, Ir H Tajudin. Pria yang 12 tahun bekerja di perusahaan pertambangan Amerika, PT Newmont Nusa Tenggara Barat itu memaparkan, pembangkit listrik tenaga panas bumi hampir tidak menimbulkan polusi atau emisi gas rumah kaca. Mesin pembangkit tenaga panas bumi juga hampir tidak berisik dan dapat diandalkan. Sehingga, tidak ada efek bagi masyarakat maupun bagi gunung. “Selama bergelut 12 tahun di berbagai pertambangan dan keliling negara Eropa, saya belum pernah menemukan adanya polusi atau emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari pembangkit listrik tenaga panas bumi. Sebab, proses yang dihasilkan dari pembangkit ini sangat berbeda dengan pembangkit lainnya seperti pengeboran minyak yang tentu saja menimbulkan limbah berupa minyak. Jadi, masyarakat terutama yang berada di sekitar lokasi rencana pembangunan tidak perlu khawatir dengan keberadaan PLTPB atau geothermal,” papar bapak dua anak tersebut. Lulusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya Palembang itu menerangkan, energi panas bumi adalah energi panas yg terdapat dan terbentuk di dalam kerak bumi. Seiring bertambahnya kedalaman, maka temperatur di bawah kerak bumi akan semakin panas. “Pembangkit listrik tenaga panas bumi membutuhkan sumber panas bersuhu tinggi yang hanya dapat berasal dari jauh di bawah tanah atau kerak bumi. Panas tersebut harus dibawa ke permukaan lewat sirkulasi fluida, baik melalui saluran magma, mata air pans, sirkulasi hidrotermal, sumur minyak, sumur bor atau gabungan dari contoh-contoh tersebut,” paparnya melalui surat elektronik yang diterima Radar, tadi malam. Insinyur yang malang melintang di berbagai perusahaan Australia dan Eropa itu juga menerangkan, untuk menghasilkan tenaga listrik, harus dilakukan pengeboran tanah di lokasi yang memiliki potensi panas bumi. Lubang gas panas itulah yang akan dimanfaatkan untuk memanaskan ketel uap (boiler), sehingga uapnya bisa menggerakkan turbin uap yang tersambung ke generator. Untuk panas bumi yang mempunyai tekanan tinggi, dapat langsung memutar turbin generator setelah uap yang keluar dibersihkan terlebih dahulu. “Sebenarnya eksplorasi dan eksploitasi panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik tergolong minim. Untuk menghasilkan energi listrik, pembangkit tenaga panas bumi hanya butuh area seluas antara 0,5 - 3 hektare. Tidak perlu harus merelokasi warga jika pembangkit itu berada di gunung atau jauh dari pemukiman penduduk. Dan mayoritas pembangkit listrik tenaga panas bumi yang ada di berbagai negara berada di gunung yang jauh dari pemukiman,” terang dia. Menyangkut biaya investasi yang harus dikeluarkan perusahaan, Tajudin mengatakan, biaya investasi tergantung dari besar kecilnya cadangan panas bumi yang tersedia di daerah tersebut. Selain itu juga tergantung dari kedalaman sumber panas yang terdapat dalam bumi. “Tidak semua pengeboran panas bumi menghasilkan sesuai yang diharapkan oleh perusahaan. Butuh ketelitian saat melakukan pengeboran. Jadi, investasi yang dikeluarkan tergantung dari kedalaman sumber panas itu,” ucapnya. Dalam kesempatan itu, Tajudin juga mengingatkan agar keberadaan PLTPB nantinya mendatangkan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Dia menyarankan, sebelum dibangun, harus dibuat perjanjian antara pemerintah, masyarakat sekitar dengan pihak perusahaan agar masyarakat berhak memperoleh manfaat dari pembangunan panas bumi di daerahnya. Manfaat yang didapat atau diminta seperti lapangan kerja, pembangunan infrastuktur jalan dan akses listrik dalam radius tertentu. “Maksud dalam radius tertentu adalah dibuat perjanjian agar masyarakat sekitar harus memperoleh listrik gratis dari perusahaan,” sarannya. Selain itu, dari hasil panas bumi tersebut juga akan memperoleh sumber air panas yang bisa dijadikan kawasan wisata. “Dan kawasan wisata itu minta dikelola dengan baik oleh perusahaan, sehingga bisa menghasilkan keuntungan. Hasil dari keuntungan tersebut, bisa dikembalikan ke masyarakat melalui program sosial. Misalnya untuk beasiswa pendidikan atau program lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak,” pungkasnya. HARUS PUNYA BARGAINING KUAT Terkait informasi dilelangnya sekitar wilayah Gunung Ciremai, Tokoh Kuningan, M Benhardi SE meminta agar Pemkab Kuningan memiliki bargaining kuat terhadap Pemprov Jabar dan Pusat. Sebab, meski secara aturan wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi merupakan wewenang provinsi, namun sumber daya alam tersebut berada di wilayah Kabupaten Kuningan. Benhardi menegaskan, potensi SDA untuk pertambangan panas bumi berada di wilayah Kabupaten Kuningan. Jika terjadi sesuatu, maka pimpinan daerah yang harus mempertanggungjawabkan kepada rakyatnya. “Kita yang punya SDA, maka kita harus punya bargaining yang kuat terhadap provinsi dan pusat,” harap pria yang telah berkeliling Indonesia menggeluti dunia pertambangan sejak 1988 sampai 1994 itu, kemarin (5/3). Oleh karena itu, kajian komprehensif mesti dilakukan oleh Pemkab Kuningan. Bila perlu menyewa konsultan yang ahli di bidangnya tanpa harus menunggu provinsi atau pusat. Sebab dengan mengeluarkan dana sendiri untuk menyewa konsultan ahli, hasil kajian yang diperolehnya pun diharapkan lebih independen. “Dengan begitu, maka kita akan mempunyai jaminan yang pasti untuk keselamatan masyarakat dan keselamatan lingkungan kita sendiri,” sarannya. Berbagai dampak, mulai dampak sosial sampai dampak lingkungan, bisa diteliti secara mendalam. Dari situ bisa diketahui sejauh mana manfaat yang dapat diperoleh masyarakat Kuningan dari pertambangan tersebut. Namun ia justru merasa heran kenapa pertambangan panas bumi tidak dikelola oleh Pertamina. Karena kalau melihat pertimbangan SDM Indonesia, tidak sedikit dari warga Indonesia yang memiliki keahlian untuk itu. Bahkan sejumlah lomba karya ilmiah internasional, cukup banyak warga Indonesia yang berhasil memenangkannya. “Selain SDM, saya kira aset Pertamina juga besar. Masa sih nggak punya duit untuk mengelola pertambangan panas bumi?” kata Benhardi. Tentang merebaknya isu kandungan emas, uranium dan sejenisnya di Ciremai, dia angkat tangan. Masalah itu, menurut Ben -sapaan akrabnya-membutuhkan geologi survei. Terkadang menyangkut hal tersebut tidak lepas dari kepentingan. “Sepengatahuan saya, biasanya ada geologi survei. Sampel bebatuan atau tanah di lokasi diteliti, apakah mengandung gas, emas, ataukah minyak. Setelah itu ada pemantauan satelit untuk menentukan lubang pengeboran, kemudian dilakukan sementing atau penutupan,” papar pria yang pernah terjun di dunia pertambangan selama 6 tahun tersebut. Wakapolres Kuningan, Kompol Rizal Marito ditanya tentang informasi dilelangnya Ciremai berharap masyarakat dapat memilah informasi yang benar. Dia berkeyakinan masyarakat Kuningan sudah cerdas dengan tidak langsung mempercayai isu begitu saja. “Sebaiknya cari sumber yang benar dan tak perlu berpolemik,” imbaunya singkat. (mus/ags/ded)

Tags :
Kategori :

Terkait