Rekapitulasi Rawan Jual Beli Suara

Sabtu 12-04-2014,11:38 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA - Proses rekapitulasi suara dinilai rawan terjadi jual beli suara. Dibutuhkan pengawasan dari penyelenggara Pemilu dan masyarakat dalam proses rekapitulasi, penghitungan suara partai dan caleg yang dilakukan secara berjenjang. Pengawasan itu penting agar wakil rakyat yang terpilih benar-benar merupakan representasi rakyat, dan bukan berasal dari hasil jual beli suara. “Proses rekapitulasi suara itu harus terus diawasi, karena dalam proses penghitungan itu rawan terjadinya jual-beli suara dengan berbagai modus. Baik dari KPPS, KPPK, KPUD Kabupaten, KPUD Provinsi, dan KPU Pusat. Karena itu, saksi dan pengawas pemilu harus punya salinan kertas pleno C1 sebagai bukti penghitungan suara dari TPS setempat,” terang Ketua Bawaslu Banten, Pramono Ubaid Tantowi saat dialog bertajuk “Riuh-rendah Pemilu 9 April 2014” di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (11/4). Menurutnya, kekacauan pemilu sekarang ini akibat lemahnya manajemen logistik dari mulai pencetakan, penyortiran, penghitungan, pengepakan, dan pengiriman. Sehingga banyak kertas surat suara yang tertukar antar kabupaten/kota dan sebagainya. “Tapi, itu masih kecil jika dibanding pemilu 2009, yang tertukar antar provinsi dan antar pulau,” tegas Pramono. Pramono menambahkan, akibat anggaran yang tidak bersifat multiyears, yaitu pada Januari-Februari tidak ada dana yang dicairkan. Padahal pada saat itu sangat dibutuhkan untuk proses pencetakan. “Dana turun pada Maret, di mana April sudah pemilu. Itu antara lain yang mengakibatkan masalah logistik, dan saya belum melihat ada unsur kesengajaan,” jelas dia. Selain itu, ia menilai politik uang yang makin marak sekarang ini karena sistem politik proporsional terbuka suara terbanyak. Akibatnya sistem ini membuka ruang bagi partai atau caleg untuk membeli suara sebanyak-banyaknya. “Lain halnya dengan sistem proporsional tertutup, tidak ada gerakan money politics yang massif, sebesar sekarang ini,” pungkas Pramono. Pramono mengatakan, rakyat yang miskin menjadikan demokrasi yang ada hanya sebagai legitimasi politik, akibat banyaknya money politics. Parpol pun hanya bekerja lima tahun sekali menjelang pemilu. “Untuk itu, sistem kepartaian dan pemilih sendiri harus dibenahi, agar demokrasi ini menghasilkan pemimpin yang berkualitas, dan benar-benar merupakan representasi rakyat,” lontarnya. (fdi)

Tags :
Kategori :

Terkait