Inggris Masuk Libya

Sabtu 26-03-2011,07:43 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

TRIPOLI - Kabar bahwa pasukan koalisi kini mempertimbangkan opsi serbuan darat untuk menum­bangkan rezim Muammar Kadhafi, tampaknya, bukan sekadar isapan jempol. Itu terbukti dengan telah diterjunkannya ratusan personel pasukan khusus Inggris di salah satu wilayah Libya. Mengutip sumber-sumber di pemerintahan Perdana Menteri David Cameron, Daily Mail kemarin melaporkan bahwa 250 serdadu Inggris yang sudah berada di Libya itu diambilkan dari dua kesatuan elite. Yaitu, Special Air Service (SAS), pasukan khusus dari angkatan udara; dan Special Boat Service (SBS), skuad andalan angkatan laut. Mereka bahkan telah disusupkan ke Libya sejak sebelum zona lara­ngan terbang diterapkan pekan lalu. Namun, Daily Mail tidak me­nyebut lokasi persis para tentara Inggris itu. Yang pasti, makanan dan amunisi untuk mereka disuplai dari udara melalui Siprus. Direncanakan, jumlah tentara negeri monarki konstitusional itu di Libya ditambah seratus personel lagi dalam beberapa hari ke depan. Pasukan tambahan tersebut diambilkan dari Special Forces Support Group. ”Itu menandakan bahwa pasukan koalisi akan meningkatkan tempo operasi militer,” ujar sumber Daily Mail. Masih ada 800 serdadu Angkatan Laut Inggris yang juga disiagakan. Sewaktu-waktu, mereka bakal diterjunkan ke Libya. Tetapi, pengiriman mereka lebih bertujuan membantu distribusi bantuan. Memang belum ada konfirmasi dari militer Inggris maupun kubu koalisi tentang penempatan ratusan personel pasukan khusus Inggris di Libya itu. Namun, Senin lalu (21/3) kepada BBC, Menteri Pertahanan Inggris William Hague mengatakan bahwa opsi serbuan darat seperti yang dilakukan di Iraq tetap belum dihapus dari agenda. Pada hari yang sama, dari Was­hington, Kepala Staf Gabu­ngan Militer Amerika Serikat Laksamana Mike Mullen meng­isyaratkan hal senada. ”Ada­lah suatu kebodohan kalau menghapus salah satu opsi (penyelesaian masalah di Libya),” katanya dalam acara Meet the Press di kanal televisi NBC. Wajar kalau koalisi mempertim­bangkan opsi invasi darat itu. Sebab, pasukan pemberontak sulit diharapkan untuk melucuti loyalis Kadhafi. Mereka tertahan di Benghazi, bagian timur Libya. Selain itu, kendati digempur tiap hari dari udara selama enam hari terakhir, toh Kadhafi dan pasukannya terbukti masih bisa bertahan. Diserang saat siang, mereka balik menggempur basis-basis pertahanan pemberontak kala malam. Misalnya yang terjadi di Misrata selama beberapa hari terakhir. Tank, tentara pro-Kadhafi, serta sniper yang disebar di berbagai penjuru Misrata terus menggasak pemberontak saat malam. ”Sniper mereka setidaknya sudah menewaskan 16 orang kemarin (Kamis, 24/3, red),” kata seorang dokter di rumah sakit utama di Misrata kepada The Guardian melalui telepon. Versi pemberontak, total sudah sekitar seratus orang tewas karena serbuan pasukan Kadhafi di Misrata dan 1.300 lainnya luka-luka selama enam hari ini. Sebagian besar adalah warga sipil. Tetapi, tidak ada yang bisa mengonfirmasikan kebenaran berita tersebut. Begitu juga klaim rezim Kadhafi. Mereka menyatakan bahwa serbuan udara pasukan koalisi telah menewaskan seratus orang di Tripoli saja, yang hampir semuanya warga sipil. Sejumlah wartawan asing memang difasilitasi untuk melihat langsung para korban itu. Namun, mereka sulit membuktikan bahwa para korban tersebut memang warga sipil dan tewas karena hajaran rudal dan bom koalisi. Sementara itu, Aaron David Miller, mantan pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri AS, yakin, tanpa serbuan lewat darat, operasi militer di Libya tersebut akan berakhir dengan posisi menggantung seperti yang terjadi di Afghanistan: Dana habis besar, korban sipil banyak, tapi lawan tidak kunjung bisa ditaklukkan. “Situasi di Libya itu bisa de­ngan cepat menguntungkan kita (koalisi) asalkan ada penambahan kekuatan militer (melalui darat),” kata Miller, yang kini menjadi analis di Woodrow Wilson Center, seperti dikutip Daily Mail. Persoalannya, jangankan menambah pasukan, anggota koalisi justru mulai terpecah dalam menentukan cara untuk menyelesaikan Operasi Perjalanan Fajar di Libya itu. Kendati kemarin mereka berse­pakat menyerahkan pelaksanaan zona larangan terbang, embargo senjata, dan serangan udara di bawah komando NATO, belum ada titik temu apakah serbuan ke negeri tetangga Mesir itu akan diteruskan hingga Kadhafi lengser. AS yang sejak awal mengatakan bahwa keterlibatannya bakal terbatas dan hanya dalam hitungan hari itu mendesak agar penyelesaian akhir masalah Libya dilakukan oleh berbagai elemen di negeri itu sendiri. Artinya, antara pro-Kadhafi dan anti-Kadhafi harus diberi kesempatan bernegosiasi. Sikap AS tersebut didukung Inggris. Tetapi, motor koalisi lainnya, Prancis, telanjur menyatakan bahwa pemberontak adalah wakil Libya yang sah. Bahkan, tentang bagaimana memperlakukan Kadhafi, juga belum ada kesepakatan. Yakni, apakah Kadhafi sekalian dihabisi atau justru akan dilibatkan dalam kapasitas tertentu di Libya ”baru” nanti. Ada pula anggota koalisi yang menghendaki operasi militer saat ini hanya dalam kerangka memberikan jalan bagi negosiasi di antara dua kubu yang berseteru. Sedangkan Sekjen PBB Ban Ki-moon tetap menganggap bahwa operasi militer di Libya patut diteruskan. ”Operasi itu berhasil menghambat gerak militer Libya sekaligus melindungi keselamatan warga sipil di Benghazi dan sejumlah area lain. Selain itu, menciptakan atmosfer tertentu secara politik yang memberikan ruang bagi warga Libya untuk merundingkan masa depan mereka,” papar dia. (c11/ttg)

Tags :
Kategori :

Terkait