Bullying, Masalah Lama yang Tak Pernah Selesai di Dunia Pendidikan

Minggu 14-12-2025,12:34 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

Oleh: Najwa Aliah Putri Sisyanto
Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Program Studi Manajemen Pendidikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bullying tetap menjadi masalah lama yang tak pernah selesai di dunia pendidikan karena fenomenanya tersebar hampir di seluruh negara, berdampak pada jutaan anak dan remaja, serta beragam bentuknya terus berkembang dari fisik sampai digital.

Di tingkat global, data UNESCO menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 3 remaja pernah mengalami bullying di sekolah, baik berupa intimidasi fisik, verbal, maupun sosial yang berulang dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan antar siswa. Ini berarti bullying bukan sekadar masalah sporadis, tetapi sebuah fenomena yang sistemik di lingkungan sekolah di berbagai belahan dunia.

Menurut survei internasional lain yang mencakup puluhan negara, sekitar 23–30 % siswa melaporkan pernah menjadi korban bullying beberapa kali dalam sebulan, menegaskan bahwa perilaku ini masih sangat umum di sekolah di seluruh dunia.

Dalam konteks Indonesia, temuan riset dari Kemendikbudristek memperlihatkan bahwa lebih dari 36 % siswa berpotensi mengalami bullying berupa verbal, fisik hingga cyberbullying, namun ironisnya hanya sebagian kecil yang berani melapor. Laporan juga menunjukkan peningkatan kasus dari tahun ke tahun, serta kasus kekerasan di sekolah yang membuat trauma atau bahkan mengakibatkan korban meninggal.

BACA JUGA: Cara Mudah Buka Rekening BRI 2025, Cukup Siapkan KTP dan Setoran Awal

Dampaknya sangat serius: selain luka fisik, bullying dikaitkan dengan masalah kesehatan mental, penurunan prestasi akademik, absensi sekolah yang meningkat, hingga risiko bunuh diri pada sebagian korban.

Bullying tidak hanya terjadi di negara berkembang. Bahkan di negara maju, kasus ini mencuat dalam statistik dan laporan media. Misalnya, di Amerika Serikat, survei nasional melaporkan bahwa hampir 1 dari 5 siswa melaporkan menjadi korban bullying, dengan variasi berdasarkan jenis bullying (fisik, sosial, atau rumor).

Di Eropa, studi WHO/Europe menemukan bahwa sekitar 1 dari 6 anak sekolah mengalami cyberbullying, yang menunjukkan bagaimana teknologi menciptakan medan baru bagi perilaku bullying di negara-negara dengan akses digital yang tinggi.

Laporan media juga mengungkap tren peningkatan insiden bullying di sekolah-sekolah di Skotlandia, yang menjadi perhatian publik karena lonjakan jumlah insiden yang dilaporkan.

BACA JUGA:MTB Fiesta Bupati Cup 2025 Jadi Ajang Perdana Nasional, Cirebon Unjuk Potensi Trek Downhill

Fenomena ini seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tekanan sosial, stereotip gender, status ekonomi, hingga perbedaan budaya atau latar belakang imigran, yang juga berdampak pada siapa yang lebih rentan menjadi target bullying di negara kaya.

Contoh kasus yang sering muncul termasuk intimidasi fisik di sekolah dasar, penyebaran rumor di sekolah menengah, serta cyberbullying melalui media sosial yang sulit dipantau oleh guru dan orang tua. Di banyak sekolah di negara maju, meskipun ada kebijakan anti-bullying, tantangan muncul dari kurangnya pelaporan yang akurat dan pendekatan yang tidak konsisten antar sekolah.

Argumen penting seputar bullying adalah bahwa ia bukan sekadar masalah perilaku individual, tetapi berkaitan erat dengan iklim sekolah, budaya siswa, peran guru, dan dukungan keluarga. Sekolah yang tidak memiliki sistem pencegahan yang kuat seringkali melihat pola bullying berulang karena kurangnya pendidikan karakter dan pengembangan empati sejak dini.

Untuk itu, diperlukan pendekatan inovatif yang bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga mendorong perubahan budaya sekolah.

BACA JUGA:Menikmati Tahu Gejrot Uti, Cita Rasa Khas Cirebon yang Naik Kelas

Kategori :