Menggagas Coblosan Elektronik

Minggu 12-10-2014,09:06 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

E-Voting Lebih Efisien dan Akuntabel, Bisa Diterapkan untuk Pilkada 2015 JAKARTA - Penerapan pemungutan suara secara elektronik atau e-voting yang digulirkan kembali oleh pemerintah, memiliki kemungkinan besar untuk terealisasi. DPR RI menilai pelaksanaan e-voting itu bisa diaplikasikan dalam pemilihan kepala daerah 2015, meski dalam jumlah yang terbatas. Namun, sebelum e-voting dilakukan, harus ada sejumlah persiapan yang dilakukan oleh pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anggota Fraksi PDIP yang juga Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR periode 2009-2014 Arif Wibowo menyatakan, penerapan e-voting cepat atau lambat akan dilakukan di Indonesia. Tidak hanya dari segi penerapan, sejumlah hal harus dipersiapkan dulu agar e-voting itu bisa terlaksana. ”Hal yang pertama butuh waktu yang cukup untuk sosialisasi, karena ini hal yang baru,” ujar Arif. Sosialisasi, kata Arif, menca­kup banyak hal. Sebagai­mana putusan MK yang meng­akomodasi e-voting, sistem itu harus dipercaya oleh publik. Untuk bisa dipercaya, sistem e-voting membutuhkan uji publik dengan memberikan pemahaman dan pengertian. Data kependudukan yang terekam secara jaringan juga merupakan aspek terlaksananya e-voting. Jika KPU bersama lembaga pemerintah merencanakan untuk melaksanakan e-voting di 247 pilkada 2015, hal itu bisa saja dilakukan. Namun, pelaksanaannya tidak bisa serta merta diuji coba dengan melakukan sampel melibat­kan seluruh TPS di beberapa pilkada kabupaten/kota. Pelaksanaan e-voting sebaiknya diawali dengan uji petik, untuk menimbang akseptabilitas publik terhadap sistem pemilihan yang baru itu. Untuk melaksanakan e-voting, kata Arif, semua syarat harus terpenuhi. Mulai dari tahapan sosialisasi, persiapan alat, uji publik yang memenuhi semua unsur dari amar putusan MK. ”Semua persyaratan yang diminta MK bersifat kumulatif dan absolut, sehingga wajib dipenuhi oleh penyelenggara pemilu,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Namun, kata Arif, sebelum e-voting digelar, sistem yang lebih mudah dilakukan dan bisa diaplikasikan langsung adalah e-counting, atau penghitungan suara secara elektronik. Sistem ini sejatinya bisa dilaksanakan KPU di pemilu nasional 2014, namun mekanismenya tidak dimaksimalkan menjadi hasil perhitungan. ”Mekanisme e-counting ini bisa berjalan bersama dengan penghitungan manual, ini untuk menguji apakah sahih atau tidak hasilnya,” ujarnya. Jika tolok ukurnya biaya, Arif menyatakan bahwa sistem e-voting bisa disimpulkan lebih hemat dibandingkan sistem coblosan atau sistem manual. Untuk alat yang biasa disebut Electronic Voting Machine (EVM), bisa digunakan dalam waktu jangka panjang. Selain itu, keterlibatan penyelenggara pemilu lapangan bisa dikurangi, termasuk pengadaan logistik pemungutan suara yang menyedot anggaran besar. ”Untuk angkanya berapa, kita belum tahu, karena belum pernah disimulasikan di skala yang besar,” ujarnya. Arif juga memberi apresia­si atas langkah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang telah mengembangkan sistem dan alat untuk e-voting. Setidaknya, alat ini adalah salah satu aspek penghematan, dengan tidak perlu melakukan pengadaan dari luar negeri. Dari situ, tinggal menumbuhkan kepercayaan publik terhadap perubahan sistem itu. ”Sosialisasi yang baik, IT harus meyakinkan, dan tidak digunakan untuk rekayasa politik kepentingan tertentu. Karena belum tentu masyarakat saat disodori alat itu, terus mau menggunakan,” ujarnya mengingatkan. Jika merujuk pada pengalaman di luar negeri, Arif menyebut negara-negara yang menggunakan e-voting saat ini membutuhkan waktu yang panjang dalam pelaksanaannya. India misalkan, membutuhkan waktu 18 tahun, Brazil membutuhkan waktu 20 tahun untuk bisa memastikan menggunakan e-voting secara nasional. Indonesia diharapkan tidak perlu menunggu waktu selama itu, asalkan program itu terus dilaksanakan dan diuji terus-menerus. Mantan Ketua Panja RUU Pilkada Hakam Naja meni­lai, kalau pelaksanaan e-voting belum serta-merta bisa dilak­sanakan di semua daerah saat ini. ”Faktanya, hari ini belum semua bisa, mungkin Jakarta dan ibukota provinsi yang sudah siap,” kata Hakam. Karena itu, politisi PAN itu mengingatkan, bahwa penerapan e-voting tidak boleh dilaksanakan secara tergesa-gesa. Banyak hal yang harus dipersiapkan dan dimatangkan sebelum kebijakan tersebut benar-benar direalisasikan. Termasuk, dia menyatakan, kalau perlu pula dilakukan uji publik untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas penerapan sistem tersebut. Pasalnya, berjalan atau tidaknya sistem tersebut juga bergantung nantinya pada pengakuan masyarakat. Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan, pemungutan suara dengan e-voting yang diatur dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2014, bisa dilakukan di pilkada 2015. Sistem pilkada dengan e-voting bisa dilakukan terhadap daerah yang sudah memiliki data kependudukan secara online. Menurut Gamawan, sekalipun ada daerah yang data kependudukannya belum sempurna, atau belum mencakup seluruh data penduduk, sistem e-voting tetap bisa dilakukan. Hanya saja, pelaksanaannya tidak dilakukan sepenuhnya dengan mekanisme tersebut. ”Misal ada 40 ribu penduduk, 20 ribu di antaranya sudah mempunyai KTP elektronik, maka e-voting bisa dilakukan,” ujarnya. Karena itulah, Gamawan mendorong kepada warga Indonesia untuk segera melakukan perekaman data kependudukan. ”Kami hanya bisa mengimbau untuk segera merekam,” ujarnya. E-COUNTING PALING MEMUNGKINKAN SEBELUM E-VOTING Bicara e-voting, lima tahun lalu penerapan teknologi pemilihan online itu telah diadopsi sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk pikuk modernisasi di Bali. Yakni Dusun Pasatan, Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. E-voting pertama kali digelar di sana untuk pemilihan kepa­la dusun, tepatnya 16 April 2009. Ketika itu, Pemkab Jembra­na sudah memiliki kartu iden­titas berteknologi chip yang terin­tegrasi KTP dan kartu kesehatan untuk berobat di RSUD. Salah satu penggagas e-voting itu ialah I Putu Agus Swastika. Pria yang akrab disapa Guslong itu mengatakan, melihat besarnya keinginan masyarakat untuk bisa tetap memilih calon pemimpin daerahnya, sepertinya penerapan e-voting memang bisa menjadi solusi. ’’Penerapan teknologi informasi diyakini dapat melakukan proses pemungutan dan perhitungan suara yang lebih efektif, efisien dan auditable,’’ ujar ketua STMIK Primakara Denpasar itu. Penerapan TI juga diharapkan bisa menjadi solusi dari carut marut proses perhitungan suara yang selama ini terjadi dalam berbagai proses pemilihan umum di Indonesia. Proses carut marut itulah yang selama ini banyak menjadi trigger terjadinya konflik horisontal. Agus mengatakan, penggu­naan teknologi informasi dalam pemilu sudah mendapatkan lampu hijau sejak keluarnya Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no 147/PUU-VII/2009 yang menyatakan pasal 88 UU No 32 / 2004 adalah konstitusional bersyarat terhadap pasal 28 c ayat (1) dan (2) UUD 1945. Sehingga kata “mencoblos” dapat diartikan pula e-voting dengan syarat kumulatif. Syarat kumulatif yang dimaksud dalam amar putusan MK adalah syarat pertama yakni tidak melanggar azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kemudian syarat kedua, daerah yang menerapkan e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah tersebut, serta persyaratan lain yang diperlukan. Melihat kedua syarat kumulatif tersebut, Agus menilai masih butuh waktu untuk dapat menerapkan e-voting dalam pemilu maupun pemilukada di Indonesia. ’’Namun keinginan untuk menghasilkan pemilu yang kredibel masih bisa dicapai dengan dukungan teknologi informasi pada proses perhitungan suaranya,’’ ungkapnya. Alumnus Stikom Surabaya itu melihat pemahaman tentang e-voting harus mengacu pada pemanfaatan perangkat elektronik agar lebih mendukung kelancaran proses. Selain itu juga perlunya otomatisasi yang memungkinkan meminimalisasi campur tangan individu dalam semua proses pemilihan. Melihat proses pemilu di TPS selama ini, ada dua proses utama yakni pemungutan dan perhitungan suara. ’’Fase krusialnya terjadi pada proses perhitungan suara. Sebab di situ akan banyaknya campur tangan manusia,’’ ujarnya. Nah, semangat meminimali­sasi camput tangan individu dapat dilakukan dengan menerapkan proses perhitungan suara dengan model otomatisasi atau e-counting. ’’Pada Mei 2010 lalu Filipina telah menerapkan hal ini karena mereka sebelumnya memiliki sejarah kelam manipulasi suara dalam pemilu,’’ jelasnya. Dengan diterapkannya e-counting di Filipina, pemilih di sana tak lagi mencoblos kertas suara. Pemilih hanya mengisi salah satu dari sejumlah kolom nama kandidat presiden dan anggota parlemen. Nama kandidat itu sudah tercetak di sebuah kertas khusus, mirip seperti siswa yang mengerjakan soal ujian nasional. Setelah mengisi menggu­nakan alat tulis, kertas itu akan dipindai (scan) oleh perangkat komputer bernama Precinct Count Optical Scan (PCOS), yang langsung mendata pilihan dan mengirimnya ke pusat data. ’’Proses perhitungan suara dengan komputerisasi ini, selain meminimalkan campur tangan manusia juga memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan hitung,’’ ujar tim ahli BPPT itu. Dia yakin modus-modus manipulasi perolehan suara oleh pihak tak bertanggung jawab juga akan lebih sulit dilakukan.  bay/gun/dyn)

Tags :
Kategori :

Terkait