Dianggap Memasung Demokrasi Desa PERATURAN Bupati 42/2014 sebagai implementasi dari UU 6/2014 tentang desa dan PP 43/2014 terus menuai protes, terutama dari kalangan kuwu dan perangkat desa. Mereka menilai, UU ini akan menjadi pengekang demokrasi di tingkatan desa. Sejumlah kuwu meminta agar perbup tersebut segera direvisi. Mereka juga menilai perbup itu menyalahi hierarki peraturan lantaran belum ada peraturan daerah yang menjadi payung hukumnya. Anggota DPRD Kabupaten Cirebon, Sukaryadi memaparkan, Perbup 42/2014 lahir prematur. Perbup tersebut lahir tanpa dilandasi perda. Kemudian, perbup yang disebut-sebut pemkab menjadi pedoman pelaksanakaan di tingkat daerah untuk UU 6/2014 dan PP 43/2014, belum siap diterapkan. Sebab, belum ada peraturan menteri untuk UU dan PP yang mengatur pemerintahan desa tersebut. “Ini merupakan sebuah kemunduran. Menurut perbup, pemilihan kuwu (pilwu) harus dilaksanakan secara serentak. Klausul ini bisa diartikan, pemerintah desa dilarang mengadakan pilwu. Klausul ini menjadi aneh karena menurut UU, pilwu itu harus merujuk pada perda daerah masing-masing,” beber Sukaryadi yang pernah menjabat ketua Forum Komunikasi Kuwu Cirebon (FKKC). Di tempat terpisah, Kuwu Lebak Mekar, Alek Setiawan juga mengkritisi adanya Perbup 42/2014. Menurut dia, perbup tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah dijalankan di pemerintahan desa selama ini. Alasan terkuatnya menolak Perbup 42/2014 ialah klausul yang mengharuskan pejabat kuwu berasal dari pegawai negeri sipil (PNS) yang diusulkan camat kemudian disetujui bupati. “Di sini juga nggak jelas. PNS-nya yang bagaimana? Kalau asal PNS saja jelas saya menolak juga,” tegasnya. Alek mengungkapkan, pemkab harus mengerti bahwa desa memiliki kultur yang sangat spesifik. Para pemimpin di desa harus paham betul kultur daerahnya, kebiasaan, adat istiadat, tradisi dan peta masyarakatnya. Ketika ada klausul pejabat kuwu harus PNS, tentu akan bertentangan dengan aspek kedaerahan dari sebuah desa. Apalagi, bila pejabat kuwu yang ditunjuk berasal dari daerah lain. Pemkab tidak boleh main-main dengan penempatan pejabat kuwu, sebab tugas dari pejabat kuwu ini salah satunya mempersiapkan pelaksanaan kuwu dan menjabat hingga kuwu definitif ditetapkan. “Saya yakin PNS nggak paham tentang kondisi desa, dan kalau tidak paham maka masyarakat pula yang akan menjadi korbannya. Kemudian, PNS itukan kerjanya sesuai jam kerja, tapi kalau kuwu itu nggak ada jam kerjanya. Nanti kalau ada sesuatu dan warga perlu malam hari, apakah bersedia datang?” tanya dia. Kuwu Setupatok yang juga Sekretaris Jendral FKKC, M Yusuf, meminta agar bupati belajar tentang kultur masyarakat di pedesaan. “Saya lihat bupati bikin perbup ini tidak pelajari dulu adab desa. Dalam UU disebutkan bahwa peraturan ini dicetak untuk satu negara. Padahal, setiap daerahkan memiliki adat yang berbeda-beda,” tandasnya. Yusuf mengaku, ingin menyampaikan keberatan tentang Perbup 42/2014 ini langsung kepada bupati. “Saya nggak mau berkonflik di media. Rencananya saya dan FKKC akan bertemu langsung dengan pak bupati,” tuturnya. Kuwu Gunungsari, Yoyo mengungkapkan, banyak pengalaman buruk dengan pejabat kuwu berstatus PNS dalam pelaksanaan pilwu. Di sejumlah desa, pelaksanaan pilwu gagal karena pejabat PNS tidak bisa mengakomodir aspirasi masyarakat. Kemudian, tidak ada kejelasan mengenai masa kerja pejabat PNS ini. Yoyo juga menyoal biaya pelaksanaan pilwu serentak. Apakah pemkab mampu membiayai, bila pilwu dilaksanakan berbarengan? Sedangkan menurut UU, semua pilwu biayanya dari APBD. “Ada ratusan desa di Kabupaten Cirebon. Silahkan hitung sendiri kalau satu desa saja bisa habis puluhan juta untuk pilwu,” tegasnya. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Cirebon sepertinya bakal ngotot mempertahankan Perbup 42/2014. Asisten Pemerintahan Sekretariat Daerah, Rahmat Sutrisno mengatakan, perbup yang mengatur penunjukkan pejabat kuwu dari PNS itu dinilai sudah sesuai dengan UU dan PP. “Legislatif tidak ada peluang untuk mengubah perbup tersebut, karena perbup yang dibuat oleh pemerintah sudah tegas mengacu pada undang-undang,” tuturnya, belum lama ini. Menurutnya, mekanisme pengangkatan soal pejabat kuwu yang harus dari PNS itu ketika terjadi kekosongan kepemimpinan. Dalam posisi ini, bupati akan menunjuk dan mengangkat pejabat kuwu berdasarkan usulan dari camat setempat. Untuk pelaksanaan pilwu serentak, diharapkan sudah dapat terlaksana di tahun 2015. Tapi sebelumnya pemerintah daerah menyiapkan terlebih dahulu kerangka panitia pengawas, tim pengawas fasilitas pelaksanaan pilwu serentak dan sistem penganggaran. “Nanti hasil pansus yang merancang,” terangnya. Dia menjelaskan, menurut undang-undang dalam waktu enam tahun masa jabatan kuwu, pelaksaan pilwu dilakukan sampai tiga kali gelombang. “Batasnya maksimalnya itu tiga kali dalam kurun waktu enam tahun, kalau lebih tidak boleh,” tukasnya. Saat pilwu serentak nanti, akan ada suasana yang berbeda, seperti akan dibetuknya TPS berdasarkan wilayah atau blok, bisa jadi per RT aka nada TPS. “Ya mirip dengan proses pilkada, pileg dan pilpres,” katanya. Terpisah, Kabag Pemerintahan Suhartono mengatakan, rancangan perda soal soal pemerintah desa dan BPD sudah dibuat nota hantarannya. “Nanti pak bupati yang menyampaikan hantaran raperda pemerintahan desa dan BPD,” tuturnya. (deny hamdani) GRAFIS ALASAN PENOLAKAN KUWU - Akan menjadi pengekang demokrasi di tingkatan desa. - Perbup menyalahi hierarki peraturan lantaran belum ada peraturan daerah yang menjadi payung hukumnya. - Belum ada peraturan menteri untuk UU dan PP yang mengatur pemerintahan desa tersebut. - Tidak jelas kriteria PNS yang akan menjadi pejabat kuwu. - Desa memiliki kultur yang sangat spesifik. Para pemimpin di desa harus paham betul kultur daerahnya. - Di sejumlah desa, pelaksanaan pilwu gagal karena pejabat PNS tidak bisa mengakomodir aspirasi masyarakat. - Ragu dengan kemampuan keuangan pemkab bila pilwu dilaksanakan berbarengan. ALASAN MEMPERTAHANKAN PERBUP 42/2014 - Perbup yang mengatur penunjukkan pejabat kuwu dari PNS itu dinilai sudah sesuai dengan UU dan PP - Mekanisme pengangkatan soal pejabat kuwu yang harus dari PNS itu ketika terjadi kekosongan kepemimpinan. - Pemerintah daerah menyiapkan terlebih dahulu kerangka panitia pengawas, tim pengawas fasilitas pelaksanaan pilwu serentak dan sistem penganggaran. - Dalam waktu enam tahun masa jabatan kuwu, pelaksaan pilwu dilakukan sampai tiga kali gelombang. - Pilwu akan dibuat seperti pileg dan pilpres, di mana warga datang ke TPS yang disiapkan di masing-masing blok, RT/RW. -
Perbup 42/2014 Terus Berpolemik
Senin 20-10-2014,09:00 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :