Nurul Rahmawati: Penulis adalah mantan public relations perusahaan rokok, ibu satu anak. Tulisan ini diambil dari Jawa Pos (Radar Cirebon Group) SIAPAmedia darling saat ini? Kalau kita amati trending topic di Twitter, nama Susi Pudjiastuti jadi juaranya. Perempuan anti-mainstream itu memang menyodok ke permukaan. Gayanya yang nyentrik, profilnya sebagai pemilik maskapai perintis sukses, membetot atensi masyarakat republik ini. Pergosipan seputar Susi semakin gurih dan renyah manakala kita saksikan aksi klebas-klebus yang dia pertontonkan di hadapan para jurnalis. Tentu saja, itu pemandangan yang amat langka. Seorang menteri, ulil amri, dengan gaya innocent menyemburkan asap rokok di ruang publik. She’s one in a million. Mungkin baru kali ini ada seorang menteri yang dengan begitu pedenya merokok tanpa tedeng aling-aling. Lagi-lagi, muncul polarisasi respons publik. Ada pihak yang merasa terwakili dengan gaya Susi. Susi ini gue banget! Apa salahnya dengan merokok? Bukankah merokok itu hak asasi individu? Nggak masalah Susi merokok, bertato, dan rumah tangga berantakan. Yang penting, dia tidak korupsi, kan? Di pihak lain, tidak sedikit yang menyayangkan sikap Susi yang terkesan eksentrik dan semau gue. Apa jadinya anak-anak kita kalau disodori profil menteri seperti Susi? Sia-sia dong upaya Kementerian Kesehatan yang terus mengampanyekan gerakan antirokok. Toh, ada kok perempuan perokok yang jadi menteri. Yang lebih parah, muncul beberapa meme di media sosial yang menyandingkan gambar Susi versus Ratu Atut. Pesan yang ingin disampaikan: jangan mudah tertipu bungkus luar. Toh, Ratu Atut berjilbab, cantik, tidak merokok, tidak bertato, dan tidak bercerai, tapi tetap korupsi. Sementara itu, para fans Susi meyakini bahwa idolanya adalah pejuang tangguh dan tidak akan terjerumus dalam lembah korupsi. Saya jadi teringat puisi satire yang digubah Taufiq Ismail. Beberapa kutipan puisi tersebut, antara lain: Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok. Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok. Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok. Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu bisa ketularan kena. Anda tahu bagaimana ’’bengis’’-nya industri rokok? Berapa miliar dana yang mereka gelontorkan demi ’’meracuni’’ anak bangsa ini? Mengapa pula pemerintah (dalam hal ini kabinet SBY) terkesan ogah-ogahan untuk meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)? Padahal, FCTC itu adalah strategi jitu untuk melindungi anak-anak dan generasi remaja dari bahaya rokok. Rokok tidak hanya membahayakan kesehatan anak, tetapi juga meningkatkan prevalensi perokok anak. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2010 menyebutkan, perokok usia di bawah lima tahun (balita) ditemukan hampir di seluruh Indonesia (tempo.co, Juni 2014). Okelah, iklan rokok sudah diatur sedemikian rupa sehingga hanya nongol di televisi di atas pukul 21.00. Beberapa kampus dan sekolah juga menerapkan kebijakan kawasan bebas rokok. Yang patut diacungi jempol, beberapa produsen event anak muda –PT DBL Indonesia, misalnya– berkomitmen kuat untuk menolak semua brand rokok sebagai sponsorship event. Sungguh, kita salut akan ’’perlawanan’’ beberapa pihak terhadap rokok. Tapi, tampaknya, semua gerakan melawan rokok itu akan menjadi benang basah yang sulit ditegakkan manakala kita dihadapkan pada role model bernama Ibu Menteri. Wahai Ibu Susi, mohon bantu kami. Ketika para ibu tengah melarang anak-anak mereka merokok, lalu mendapatkan sanggahan retoris, ’’Lah, Bu Menterinya ajangerokok? Berarti rokok itu cool kan? Kenapa kita malah dilarang merokok?’’ Lantas, apa jurus pemungkas yang harus kami sampaikan? Kami respek dengan segala prestasi, kehebatan, dan daya juang Ibu Susi. Meski demikian, dengan segala hormat, kami mohon agar Ibu tidak menjadikan rokok sebagai ’’tuhan sembilan senti’’ yang bukan mustahil juga akan menjelma jadi ’’berhala berhala kecil’’ bagi anak-anak muda di negara ini. Kalaupun Ibu memang ingin merokok, mohon cari ruangan yang lebih privat. Seorang Ignasius Jonan barangkali bisa Anda jadikan benchmark. Beliau juga perokok berat. Ketika hasrat merokok tersebut muncul, Pak Jonan –waktu itu direktur utama PT KAI– memilih untuk klebas-klebus sebentar di smoking room sebuah stasiun. Dia bersikeras menjadikan seluruh moda kereta api bebas asap rokok. Yang penting ada iktikad dan semangat kuat untuk tidak memberikan teladan kurang elok bagi masyarakat luas. Sebagai penutup tulisan ini, izinkan saya berbagi satu pertanyaan. Mungkinkah profil Ibu Susi yang nyeleneh itu sengaja di-blow up supaya atensi seluruh masyarakat teralihkan dari kasus delapan menteri yang menyandang rapor merah dari KPK? Tanya kenapa. (*)
Susi dan Tuhan Sembilan Senti
Kamis 30-10-2014,08:17 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :