TIAP 10 November kita kerap peringati sebagai Hari Pahlawan. Sebagaimana peringatan untuk hari-hari besar yang lain, peringatan Hari Pahlawan terbiasa ditunaikan dengan pola lama: sibuk dengan hiruk pikuk, namun minus pemaknaan dan kehilangan ruh. Ia pun menjadi rutinitas yang begitu hambar tanpa makna. Kita, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, sering terjebak dengan kekeliruan akut semacam itu. Kehambaran itu terlihat begitu “gratis” ketika setiap tahun peringatan “formalistis” terlaksana di berbagai penjuru dan ditunaikan berbagai elemen bangsa, namun perilaku elite semakin kekanak-kanakan, pejabat publik kekurangan rasa malu, tindak kriminal semakin meningkat, angka kemiskinan nyaris tak terbendung, korupsi menjadi-jadi, tindak amoral semakin akut, pecandu narkoba terus meningkat, toleransi antar sesama anak bangsa semakin menurun, kebebasan yang kebablasan semakin menguat, sikap mencintai sesama anak bangsa berkurang, semangat penguasaan atas ilmu pengetahuan dicederai tujuan pragmatis, bahkan kesadaran serta rasa memiliki negara-bangsa semakin terkikis begitu rupa. MAKNA PAHLAWAN DAN KEPAHLAWANAN Kekeliruan semacam ini mesti dihentikan dengan segera. Kita mesti mulai menarasikan makna subtantif pahlawan dan kepahlawanan, agar sejarah dipahami sebagai hasil kerja bersama semua orang tanpa kecuali dengan keterbatasan kapasitas dan peranannya masing-masing. Sejarah mesti memberi ruang bagi tiap orang untuk menjadi penentu. Pejabat dan rakyat sejatinya memiliki peluang yang sama untuk menjadi pahlawan sesuai dengan potensi dan ruangnya masing-masing. Sederhananya, selain untuk mengikis pemaknaan yang keliru kepada pahlawan dan kepahlawanan, pada momentum peringatan kali ini (10 November 2014), sejatinya kita perlu melakukan sejumlah agenda mendesak, berupa, pertama, mendalami kembali makna pahlawan dan kepahlawanan. Kedua, menginternalisasi nilai luhur dan ruh pahlawan dan kepahlawanan dalam diri dan kehidupan kebangsaan. Ketiga, melahirkan pahlawan baru di era ini untuk era baru di masa depan. Pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta, phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara dan agama. Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Menurut Eep Saefulloh Fatah (2008), para pahlawan adalah mereka yang memiliki peran sebagai pembawa inspirasi dari masa lampau dan masa sekarang. Para pahlawan adalah setiap orang yang menyebarkan daya hidup yang mengagumkan di pentas sejarah kemanusiaan dan kebangsaan. Jadi, pahlawan adalah mereka yang begitu tulus mengorbankan segala yang dimilikinya—baik tenaga, pikiran bahkan nyawa—tanpa mengharapkan balas jasa (bahkan kenangan jasa) demi kepentingan jangka panjang diri dan banyak orang. Melalui kehilangan besar (tubuh tak lagi sempurna dan nyawa yang terenggut) yang diberikannya, ia mengajari banyak orang akan perjuangan menjaga martabat kemanusiaan dan bangsa. Pahlawan—menurut Ignas Kleden—bukanlah orang-orang yang “memberikan jasa khusus”, melainkan yang “memberikan pengorbanan khusus” (Tempo, 17/2/2008). Dengan demikian, kepahlawanan adalah satu bentuk identifikasi untuk mereka yang melakukan hal-hal sederhana yang bermanfaat namun dilakukan pada momentum yang tepat di panggung sejarah, sehingga ia menjadi besar dan terkenang dalam seluruh episode sejarah. Celakanya, kita sering keliru bahkan begitu nyaman dengan kekeliruan itu. Bahwa sejarah Indonesia sepanjang kemerdekaan justru alpa pada makna penting kehadiran para pahlawan semacam itu. Narasi sejarah sebaliknya mengagung-agungkan orang besar yang berkutat di pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Sejarah kemudian menjadi hikayat orang pada institusi besar dalam skala ruang besar. Peradaban seolah-olah dibangun dan dikendalikan oleh tokoh-tokoh sakti mandraguna seperti tokoh Wiranggaleng dalam novel Arus Balik-nya Pramoedya Ananta Toer. Maka, sejak bersekolah dasar hingga sekolah menengah atas, kata Yudi Latif (2010), yang senantiasa kita temukan di dinding sekeliling kelas adalah gambar-gambar para pahlawan. Sejarah Indonesia, dengan segenap darah, air mata, dan keringat orang-orang kebanyakan pun disimplikasi seolah-olah kisah-kisah perjuangan satu orang besar ke orang besar lainnya dengan konotasi yang—sekali lagi—terjerembat dalam ruang abu-abu. MENJADI PAHLAWAN, MUNGKINKAH? Jika kita menelisik sejarah para pahlawan, maka kita dapat menggariskan bahwa orang dapat menjadi pahlawan karena, pertama, ia mempunyai bakat kepahlawanan dalam dirinya dan karena bakat itu menemukan lingkungan yang memicu pertumbuhannya, kemudian menemukan momentum historis yang menjadikannya abadi. Setiap orang datang membawa bakat yang berbeda, dan kemudian menemukan momentum historis yang berbeda. Betapa banyak orang yang berbakat yang tidak menjadi pahlawan, karena tidak menemukan lingkungan dan momentum historis yang mengakomodasi bakatnya. Dan betapa banyak orang yang hidup di tengah lingkungan dan momentum historis yang memungkinkannya menjadi pahlawan, tetapi mereka tidak juga menjadi pahlawan. Karena memang mereka tidak berbakat. Maka relevan-lah kata Sejarawan Muslim, Ahmad Mansur Suryanegara (2012), sejarah adalah akumulasi kerja-kerja sederhana namun memberi efek besar bagi sejarah bangsa karena momentumnya tepat. Kedua, memiliki keunikan. Keunikan individu para pahlawan itu adalah keniscayaan sejarah. Sebagian keunikan itu bersumber dari bakatnya, sebagian yang lainnya bersumber dari ruang dan waktu serta situasi-situasinya. Keharmonisan dan perpaduan antara bakat, ruang, waktu dan situasi itulah yang menjadi faktor utama yang mengantarkan seseorang kepada lakon dan sejarah kepahlawanan. Menurut Anis M (2008), keunikan kepahlawanan terletak pada karyanya. Maka, seseorang kemudian dianggap pahlawan karena ia melahirkan karya yang berbeda dari karya orang lain. Sejarah tidak mencatat pengulangan-pengulangan. Kecuali, untuk karya dalam bidang yang sama dengan kualitas yang berbeda secara hirarkis, tetapi berbeda dalam situasinya. Hal ini menyebabkan letak kepahlawanan setiap orang selalu berbeda. Namun tetap pada satu kesamaan: berkarya. Ketiga, memiliki momentum sejarah. Seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hayatnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu. Dengan kata lain, kepahlawanan memiliki momentumnya. Saat itulah ia tersejarahkan. Negeri tercinta Indonesia pada dasarnya tak kekurangan para pahlawan, laki-laki (hero) maupun perempuan (shero). Misalnya, guru yang sungguh-sungguh dan ikhlas mendidik peserta didik, para petani yang bekerja dengan sungguh-sungguh di sawah, para pedagang yang berdagang secara jujur di tengah pasar, para buruh yang bekerja dengan tulus di berbagai perusahaan, para wartawan yang tak lelah mencari dan menyebarkan informasi kepada publik secara jujur dan bertanggung jawab, dan para anggota TNI-Polri yang mengorbankan jiwa-raganya tanpa pamrih untuk kepentingan negara, adalah pahlawan. Di atas segalanya, peringatan Hari Pahlawan mestinya bukanlah untuk menambung kekaguman yang berlebihan, tapi untuk mendulang keteladanan. Maka makna-makna yang melatari tindakan mereka, para pahlawan itulah yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita di era ini. Itulah yang memungkinkan kita menjadi pahlawan baru yang menuntaskan kerja-kerja kepahlawanan untuk negeri tercinta, Indonesia. Akhirnya, selamat memperingati dan mengambil hikmah Hari Pahlawan. (*) *) Penulis buku POLITICS, Direktur KOMUNITAS (Komunitas Cirebon Membaca, Cirebon Menulis) dan Pegiat Ilmu Pengetahuan di STAI BBC.
Memaknai Pahlawan dan Kepahlawanan
Senin 10-11-2014,09:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :