Tak Libatkan KPK dan PPATK JAKARTA - Alasan terus bermunculannya kritik atas pengangkatan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung bertambah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak lagi dilibatkan Presiden Jokowi dalam proses screening. Fakta itu berseberangan dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo Purdijatno di Bandara Halim Perdanakusuma, 8 November lalu. Saat itu, dia menyebut Presiden Jokowi sudah menyerahkan nama calon Jaksa Agung untuk dilacak latar belakangnya seperti para calon menteri. Namun, Jubir sekaligus Deputi Pencegahan KPK Johan Budi SP menegaskan tidak ada penyerahan nama itu. Dengan kata lain, pihaknya tidak dilibatkan dalam proses penelusuran rekam jejak. “Pak Jokowi tidak meminta pendapat KPK terkait pemilihan Jaksa Agung,” terang Johan singkat. Senada, Ketua PPATK M Yusuf saat dihubungi juga mengatakan sejak awal tidak ada nama calon jaksa agung yang diserahkan ke lembaganya untuk dilacak. “Tidak ada, hanya nama menteri dulu saja,” ujarnya. Selain itu, Yusuf juga menyebut nama Prasetyo tak ada dalam daftar calon menteri yang sebelumnya diserahkan presiden ke KPK dan PPATK. Upaya tracking yang dilakukan PPATK biasanya dilakukan dengan menelusuri apakah nama tersebut ada dalam database transaksi mencurigakan atau tidak. Penelusuran juga dilakukan pada keluarganya. Meskipun namanya sempat muncul dalam bursa Jaksa Agung, Yusuf enggan mengomentari apa yang harus dilakukan seniornya tersebut untuk membawa perubahan di Kejaksaan Agung. “Kalau soal itu tanya saja lah langsung ke Jaksa Agung. Nggak mau komentar, nanti dicontoh,” canda Yusuf. Dia hanya mengatakan siapapun yang terpilih menjadi Jaksa Agung harus istiqomah, komitmen dan mampu meyakinkan diri untuk bebas dari kepentingan apapun. “Jaksa Agung juga harus cerdas dan progresif. Sebab kejahatan semakin masif,” ujarnya. Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan juga menyesalkan langkah Presiden Jokowi yang tidak lagi melibatkan KPK dan PPATK. Meski pemilihan jaksa agung merupakan hak prerogatif presiden, keputusan itu tetap disayangkan. Apalagi, sebelumnya Jokowi punya banyak pilihan. Seperti diketahui, selain HM Prasetyo, ada nama M Yusuf, atau Wakil Jaksa Agung Andi Nirwanto sebagai calon jaksa agung. “Bukan alergi terhadap politisi untuk jabatan penting. Tapi, setidaknya tidak untuk posisi jaksa agung. Bagaimana Presiden Jokowi mau memberantas korupsi kalau salah satu ujung tombaknya justru politisi yang rentan konflik kepentingan,” terangnya. Ucapannya didukung dengan fakta selama ini bahwa kasus korupsi kerap menyeret politisi. Tidak hanya di eksekutif, tetapi di legislatif. Itulah kenapa, sejak awal ICW menolak politisi menjadi jaksa agung karena diragukan independensinya. “Posisi Kejaksaan juga bisa dipolitisasi untuk kepentingan parpol,” terangnya. Apalagi, selama ini santer beredar rumor bahwa Prasetyo hanya titipan belaka dari partai. Dia diharapkan bisa menjadi penjaga gerbang yang baik supaya berkas perkara orang-orang tertentu tidak sampai masuk ke Kejagung. Entah benar atau tidak, yang jelas ICW sedang melacak latar belakang Prasetyo. Termasuk, kabar yang menyebut jaksa agung asal Tuban itu pernah terlibat kasus korupsi. Salah satu kabar itu adalah kasus korupsi penjualan kayu cendana ketika Prasetyo menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi NTT pada 1999-2000. “Lagi ditracking. Presiden Jokowi harus bertanggung jawab,” imbuhnya. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menilai, ada tiga kecacatan yang dilakukan Jokowi atas proses terpilihnya Prasetyo sebagai jaksa agung. Cacat yang pertama adalah proses pemilihan yang dilakukan tertutup. Tanpa ada pemberitahuan awal, tiba-tiba publik sudah dikagetkan informasi terpilihnya Prasetyo. “Tidak ada kepastian atas nama-nama yang dinominasikan Jokowi sebagai calon jaksa agung,” kata Ray. Efek pertama ini, menyebabkan kecacatan kedua. Menurut Ray, proses seleksi jaksa agung yang tertutup otomatis mengabaikan partisipasi masyarakat. Tidak adanya nama yang pasti, membuat masyarakat tidak bisa menelusuri rekam jejak calon jaksa agung yang dipilih oleh Jokowi. “Calon ini tidak bisa dipastikan apakah mampu membongkar bobrok dalam tubuh Kejaksaan Agung,” ujarnya. Cacat yang terakhir adalah figur Prasetyo sendiri. Ray menilai, prestasi yang dilakukan Prasetyo selama berkarir di Kejaksaan tampak buram. Tidak ada prestasi cemerlang yang pernah dia lakukan untuk mengungkap kasus besar. Sosok Prasetyo yang notabene anggota Partai Nasdem sebelum menjabat menunjukkan bahwa Jokowi tidak mampu lepas dari cengkeraman intervensi politik. “Situasi itu tak akan terjadi jika Jokowi sendiri mampu menahan diri, dan selalu membentengi dirinya dengan semangat awal keinginannya sebagai Presiden,” tandasnya. Pihak Istana menanggapi santai terkait gencarnya protes terhadap penetapan Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto mengakui proses pemilihan orang nomor satu di Korps Adhyaksa itu memang tidak melalui proses screening rekam jejak di KPK dan PPATK. “Komitmen Presiden, Kabinet Kerja yang melibatkan KPK dan PPATK. Pejabat-pejabat lain, ada mekanisme clearance yang dilakukan presiden dan itu sudah dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan berbagai perangkat,” paparnya di gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, kemarin (21/11). Perangkat tersebut, lanjut Andi, melibatkan beberapa pihak seperti Sekretariat Negara (Setneg) dan Sekretariat Kabinet (Setkab). Selain itu, mekanisme screening juga menyertakan Wapres Jusuf Kalla dan para menteri terkait. Presiden juga disebutnya telah meminta laporan tertulis dari Kepala BIN. “Bisa juga minta laporan tertutup dari instansi-instansi lain yang dibutuhkan. Proses itu sudah dilakukan. Jadi, misalkan penunjukan ketua SKK migas, atau yang sebelumnya sudah dilakukan, pengangkatan dirjen migas, dilakukan dengan mekanisme yang ada,” paparnya. Menurutnya, Jokowi juga menilai Prasetyo memiliki paradigma ideologi politik yang sejalan dengan Presiden RI ketujuh itu. Dia juga dipandang memahami dengan baik seluk beluk internal kejaksaan. “Pak Prasetyo orang yang tepat karena berpengalaman sebagai Jaksa Agung Muda (Jampidum),” katanya. Tidak hanya itu, faktor kedekatan dengan Jokowi juga menjadi pertimbangan terpilihan Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Momen itu terbangun ketika Prasetyo memutuskan terjun ke dunia politik dengan bergabung di Partai Nasdem. Interaksi antara Jokowi dan yang bersangkutan ternyata cukup intens. “Tingkat kepercayaannya muncul antara Pak Jokowi dengan Pak Prasetyo. Itulah yang akhirnya membuat presiden memilih Pak Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Ini (Prasetyo) yang terbaik, yang bisa ditetapkan, ditunjuk presiden dalam konteks politik dan dalam konteks kebutuhan hukum yang ada,” ujar Andi. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga membela Jokowi. Menurut JK, dalam setiap keputusan memang ada pihak yang senang dan juga tidak mendukung. “Itu biasa. Ada yang senang dan ada yang tidak senang,” ujarnya usai menghadiri Konbes XV Fatayat NU di Kantor Kementerian Agama kemarin (21/11). Dia menolak suara sumbang yang mengatakan Prasetyo tidak layak menjadi Jaksa Agung. Menurut JK, Prasetyo dipilih lantaran kemampuannya. Pasalnya dulunya dia pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum). “Bukan karena dia dari partai. Kan dia sudah mundur dari partai hari Kamis (20/11) sebelum pelantikan,” ujarnya. Mantan Ketua Umum Golkar itu menjelaskan, jangan menilai orang tidak mampu lantaran dia dari parpol. Dia mencontohkan menteri yang duduk di kabinet kerja. Selama orang itu mampu bekerja dengan baik orang itu patut di beri kepercayaan. Soal tidak dilibatkannya KPK dan PPATK, pria asal Makasar itu mengatakan tidak ada kewajiban. Menurut dia, pemeriksaan itu hanya dikhususkan untuk bagi calon menteri saja. “Kebijakannya memang seperti itu. Hanya untuk calon menteri saja. Calon Jaksa Agung tidak wajib diperiksa terlebih dulu,” terangnya. Sementara itu, Prasetyo tidak banyak berkomentar mengenai tidak dilibatkannya KPK dalam penunjukan dirinya sebagai jaksa agung. Menurut dia, penunjukan seseorang menjadi jaksa agung sepenuhnya merupakan hak prerogatif Presiden. Sehingga, pertanyaan seputar pelibatan KPK dan PPATK seharusnya dialamatkan kepada Presiden. “Yang pasti, sekarang pun kalau mau dicek (oleh KPK dan PPATK) silakan saja. Nggak ada salahnya kan,” tutur Prasetyo di Kejagung kemarin. Saat ini, Pria Kelahiran Tuban, Jatim, itu mengaku akan fokus menginventarisir persoalan yang ada di Kejaksaan seluruh Indonesia sebelum nantinya membuat kebijakan-kebijakan. Dia juga mempersilakan apabila ada pihak-pihak luar yang meragukan dirinya sebagai jaksa agung. “Mereka boleh berpendapat, boleh berkomentar, kita lihat saja nanti seperti apa (kinerja saya),” ucapnya. (dim/gun/aph/ken/bay/byu)
Dipilih karena Dekat Jokowi
Sabtu 22-11-2014,09:17 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :