Pertaruhan Politik Golkar

Senin 01-12-2014,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

PARTAI Golkar benar-benar tengah menyajikan drama politik yang panas di panggung politik Indonesia. Perang pernyataan yang saling menegasikan antardua kubu yang berseberangan, kubu Aburizal Bakrie (Ical) dengan kubu Presidium Penyelamat Partai yang dikomandani Agung Laksono, terus terjadi. Sebelumnya, bentrokan fisik berdarah pun tak terhindarkan lagi. Inilah peristiwa yang belum pernah terjadi setiap Golkar hendak menyelenggarakan musyawarah nasional (munas). Biasanya, konflik-konflik antarkader dapat diselesaikan dengan lebih elegan tanpa melibatkan benturan fisik. Tetapi, munas IX yang waktu penyelenggaraannya masih diperdebatkan kedua kubu didahului bentrokan berdarah yang tentu saja bisa menodai perhelatan politik tersebut. PERTARUHAN POLITIK Apa sesungguhnya yang tengah dipertontonkan aktor aktor politik di tubuh partai beringin tersebut dan mengapa konflik itu tersaji di ruang publik sedemikian panas? Yang juga terpenting, apa implikasinya bagi masa depan partai tersebut, setidaknya untuk lima tahun ke depan? Sulit dibantah, konflik yang menimpa tubuh partai beringin tersebut tidak lain disebabkan perebutan pucuk pimpinan antara Ical dan rival-rivalnya. Sebagai petahana, agaknya, Ical masih menyimpan ambisi besar untuk tetap berkuasa. Karena itu, meski banyak suara miring terkait dengan kemampuannya, Ical tetap bersikeras maju kembali. Bah­kan, dia melakukan berba­­gai cara untuk memper­mudah dirinya meraih kembali kekua­saan, termasuk dengan memper­cepat munas. Justru di sinilah letak masalahnya. Dalam pandangan rival-rival Ical, keputusan Golkar mempercepat munas tersebut merupakan bentuk rekayasa Ical dan para loyalisnya agar terpilih kembali sekaligus bisa mempersempit ruang gerak pesaingnya untuk bermanuver. Padahal, sebelumnya, kubu Ical selalu menolak upaya untuk mempercepat munas dan tetap bersikukuh mengikuti keputusan Munas Riau. Tetapi, kenyataannya sekarang berbalik. Itulah yang membuat para pesaingnya meradang sehingga konflik pun tidak dapat dihindarkan lagi. Seyogianya Ical mau berintrospeksi diri terkait dengan kepemimpinannya selama lima tahun ini. Golkar di bawah kendalinya lebih banyak menampilkan kegagalan ketimbang keberhasilan. Di level legislatif, perolehan suara Golkar menurun, dari 107 kursi pada 2009 menjadi hanya 91 kursi pada 2014. Memang, di beberapa daerah, Golkar berhasil menguasai DPRD. Tetapi, kalau dicermati secara mendalam, hal itu bukan disebabkan faktor Ical seperti yang diklaim para loyalisnya, melainkan karena mesin partai serta infrastrukturnya yang berjalan dan yang paling modern di antara seluruh partai. Di level eksekutif, nasib partai beringin lebih menyedihkan. Ical yang dicapreskan Golkar sejak jauh-jauh hari dan dikampanyekan secara masif melebihi capres-capres lainnya malah gagal total. Tidak ada satu pun tokoh yang bersedia mendampingi Ical untuk menjadi cawapres. Bahkan, ketika Ical bersedia menurunkan tawaran dirinya untuk hanya menjadi cawapres bagi capres lain, ternyata dia juga tidak laku. Sangat ironis, seorang capres dari partai besar tersisih dari bursa kepemimpinan nasional bahkan sebelum gelanggang pertempuran dimulai. Dengan kenyataan menyedih­kan yang menimpa Golkar tersebut, pantas kalau kemudian banyak elemen di tubuh partai beringin yang menginginkan regenerasi kepemimpinan, terutama di kalangan kader-kader muda. Namun, karena keinginan mereka secara kasatmata dihadang kaum loyalis Ical, meski dengan dalih konstitusi partai, muncul ledakan ketidakpuasan yang sangat kuat. Sebenarnya, jika tetap berlangsung demikian, situasi itu akan sangat membahayakan bagi Golkar sebagai institusi, setidaknya untuk lima tahun ke depan. Banyak hal yang dipertaruhkan di sana. Pertama, sangat mungkin Golkar semakin loyo pada masa mendatang. Dengan minimnya prestasi –untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali–, Golkar di bawah kepemimpinan Ical diyakini akan semakin sulit bersaing. Apalagi Pemilu 2019 nanti dilakukan secara serentak antara pemilihan presiden dan anggota legislatif. Kedua, jika tidak segera dicarikan jalan keluar, konflik yang sudah semakin panas ini bukan tidak mungkin berakhir dengan perpecahan. Masih kental dalam ingatan kita, Prabowo Subianto pernah tersingkir dari persaingan memperebutkan pucuk pimpinan partai beringin, kemudian keluar dan mendirikan Partai Gerindra. Demikian pula Surya Paloh yang mengalami hal yang sama. Dia kemudian mendirikan Nasdem. Bukan tidak mungkin hal yang seperti itu bisa kembali terjadi. Ketiga, cara-cara mempertahankan kekuasaan secara tidak fair dan tidak demokratis seperti yang dipertontonkan kubu Ical jelas akan memberikan citra buruk terhadap Golkar di mata publik. Ical dianggap hanya mementingkan kekuasaan diri dan kelompoknya. Karena itu, Golkar bisa kehilangan momentum penting dari munas IX untuk menata kembali eksistensi kepartaiannya seraya melakukan refleksi ke depan bagi Golkar. Dengan demikian, kekisruhan pertaruhan yang tengah melanda partai beringin tersebut memiliki implikasi politik yang sangat merugikan. Meski Golkar memiliki aktor-aktor politik yang sangat berpengalaman dalam mengatasi situasi seperti ini, tidak ada jaminan mereka akan berhasil. Karena itu, yang tengah dipertontonkan Golkar tersebut akan menjadi pertaruhan politik pada masa mendatang. (*) *) Penulis adalah pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini diambil dari Jawa Pos (Radar Cirebon Group)

Tags :
Kategori :

Terkait