Ironi Konflik Partai Politik

Jumat 05-12-2014,07:49 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Oleh: Syamsudin Kadir   PESTA demokrasi (pileg dan pilpres) lalu ternyata masih menyisakan satu bentuk fenomena akut: konflik internal partai politik (parpol). Sebagaimana yang dilansir berbagai media (massa dan sosial) sejak pesta demokrasi berlangsung hingga kini, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar) masih saja dirundung konflik. Pembaca mungkin bertanya perihal mengapa saya seperti tak lelah menghadirkan tulisan yang berisi “kritikan” dan “desakan” kepada elite politik agar mereka kembali ke “jalan yang benar”. Sederhana saja, parpol adalah institusi terbuka yang menjadi instrumen politik dalam berdemokrasi negeri ini. Dengan begitu, publik bukan saja punya hak, tapi juga memiliki kewajiban untuk “meluruskan” perilaku elite politik, terutama yang berada di parpol, ketika mereka sudah berbelok arah. Lebih jauh, wajah parpol sedikit-banyak akan mempengaruhi marwah (wajah dan martabat) Indonesia di mata dunia. Membaca Konflik Parpol Sekadar menggendor ulang ingatan kolektif kita, konflik PPP bermula dari kehadiran Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali (SDA) dalam kampanye Partai Gerindra (Gerindra) di pileg lalu. Bagi publik, kehadiran SDA dalam kampanye Gerindra tersebut jelas mengisyaratkan kemana langkah PPP nantinya setelah pileg alias pilpres. Namun bagi sebagian elite PPP (baca: Kubu Romahurmuziy-Romi dkk), kehadiran SDA dalam acara tersebut dianggap sebagai bentuk “perselingkuhan” politik. Setelah pileg selesai, konflik bukannya mereda, tetapi malah terjadi sebaliknya. Kubu SDA melalui surat yang ditandatangani SDA selaku Ketua Umum dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP Syaifullah Tamliha, justru mengeluarkan surat pemecatan kepada beberapa pengurus partai. Surat pemecatan tertanggal 16 April 2014 tersebut, menyebutkan beberapa pengurus partai yang dipecat yakni Wakil Ketua Umum Suharso Monoarfa, Sekjen Romahurmuziy (Romi), dan beberapa ketua DPP serta DPW. Konflik internal di tubuh PPP inipun terus berlanjut, aksi pemecatan yang dilakukan kubu SDA kemudian dibalas oleh kubu Romi dengan menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas). Rapimnas tersebut digelar pada 20 April 2014, dan hasilnya memutuskan untuk memberhentikan sementara SDA dari posisi Ketua Umum. Tidak cukup di situ. Kelak pasca pilpres, masing-masing kubu juga mengadakan Muktamar, dimana Muktamar kubu SDA (1/11/2014) memutuskan Djan Faridz sebagai Ketua Umum DPP PPP 2014-2019, sedangkan Muktamar kubu Romi (17/10/2014) memutuskan Romi sebagai Ketua Umum DPP PPP 2014-2019. Hingga kini, PPP masih dirundung konflik. Tak jauh berbeda dengan PPP, Golkar pun dirundung konflik. Sebagaimana yang dilansir berbagai media massa, kini Golkar muncul ke publik dalam dua kubu, yaitu, pertama, kubu Abu Rizal Bakrie (ARB) yang dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX di Bali beberapa hari yang lalu terpilih kembali menjadi Ketua Umum Golkar. Kedua, kubu Agung Laksono dkk. Agung Laksono sendiri mengklaim sebagai Ketua Presidium Penyelamat Golkar yang dipilih melalui rapat beberapa kader Golkar yang mengaku ingin menyelamatkan Golkar dari kehancuran. Sebelumnya, beberapa pekan setelah pilpres, DPP Golkar (baca: ARB) melakukan pemecatan atas kadernya (seperti Agus Gumiwang dan Nusron Wahid) yang dinilai melanggar aturan dan tidak patuh kepada kebijakan partai. Pada episode selanjutnya, konflik tersebut justru semakin menjadi-jadi pada momentum penentuan Munas dan penyelengaraan Munas dengan segala bentuk “kericuhan” sebagai ikutannya. Bahkan kantor DPP Golkar menjadi “sasaran” pendudukan oleh masing-masing pendukung dua kubu. Sebagaimana dilansir berbagai media, Munas IX yang dihadiri hampir seluruh delegasi DPD I dan II Golkar tersebut telah menghasilkan keputusan yang penting dan strategis bagi Golkar seperti  (1) memilih dan menetapkan kembali ARB sebagai Ketua Umum dan Akbar Tanjung sebagai Dewan Pertimbangan Partai Golkar untuk periode yang kedua, (2) menetapkan agar Golkar konsisten berkoalisi dengan parpol Koalisi Merah Putih (KMP) dari pusat hingga daerah, (3) menolak Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Nomor 2 Tentang Pemilihan Daerah, dan sebagainya. Selain itu, Munas juga mengeluarkan keputusan yang bisa jadi menambah panjang konflik Golkar, yaitu memberi mandat kepada pengurus DPP Golkar yang baru untuk memberikan “hukuman” kepada Agung Laksono dkk. Publik tentu tak tahu pasti apa hukuman yang diberikan kepada Agung Laksono dkk kelak. Yang pasti, kubu Agung Laksono hingga kini masih keukeh berpendapat dan menganggap penyelenggaraan Munas dan keputusannya inkonstitusional dan tidak demokratis. Kondisi semacam ini tentu bukan saja memperpanjang konflik, tapi juga menimbulkan “keresahan” di kader akar rumput Golkar dan pemilih Golkar pada pileg lalu. IRONI KONFLIK INTERNAL PARTAI Memahami konflik internal parpol akhir-akhir ini, terutama yang dialami PPP dan Golkar (yang secara historis termasuk partai tua dalam jagad politik Indonesia), saya menjadi teringat dengan pernyataan Harold D Laswell (2013), bahwa “suatu zaman politik akan bertransformasi menjadi masalah siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana.” Kondisi yang disinggung Laswell ini seakan menyindir parpol dan meniscayakan bahwa parpol hanya merupakan kendaraan politik semata. Ketika tujuan telah dekat dan lekat, maka tak penting lagi untuk memikirkan visi, misi, maupun platform yang telah disepakati bersama. Meskipun bersifat internal, konflik internal parpol semacam ini dapat memberikan sedikit gambaran bagi publik betapa buruknya komunikasi politik antar petinggi partai di negeri ini. Visi, misi, dan platform partai bisa dengan mudah diabaikan hanya demi kepentingan pribadi atau segelintir elite partai. Konflik yang menimpa parpol (terutamaPPP dan Golkar) bisa dikatakan merupakan ironi politik parpol di saatpublik mencari sebentuk praktik politik ideal (koalisi ideal dan dinamika politik yang mencerahkan) akhir-akhir ini. Ironi politik biasanya berakhir dengan sifat ambivalensi dan paradoks yang menggiring pada dualisme (dualism) dalam setiap tindakan, berfikir, dan gaya hidup. Bahkan menurut Pangki Hidayat (2014), ironi politik kerap menciptakan para politikus bermuka dua (janus face), maka tak heran jika antar elite politik itu sendiri sering terjadi pertikaian demi ambisi pribadi maupun kelompok tertentu. Pada kontekskonflik semacam ini, paling tidak ada tiga ironi politik yang patut dikaji dan menjadi pembelajaran politik bagi publik, termasuk partai politik. Pertama, ironi kegagalan partai dalam menyerap aspirasi rakyat dan kadernya. Jika partai dirundung konflik, maka sangat sulit bagi mereka untuk mewujudkan aspirasi publik dan kadernya sendiri. Alih-alih mengurus kehendak kader dan publik yang diperoleh di saat pemilu (pileg), misalnya, kehendak diri mereka sendiripun masih mereka selisihkan dan perebutkan. Kedua, wujud pragmatisme politik dan egoisme petinggi parpol. Menurut Yudi Latif (2013), dalam politik, ego (empati, simpati) adalah fitrah semua manusia termasuk pelaku politik, namun egoisme (acuh, ricuh) politik adalah bentuk perilaku hewani yang berujung pada pengingkaran kepada publik yang memberikan mandat. Harus diakui, memang demikianlah adanya wajah-wajah elite politik saat ini. Sebagian mereka sibuk dengan konfliknya sendiri. Akhirnya, lagi-lagi suara rakyat hanya dimanfaatkan untuk meraih kursi kekuasaan semata. Maka tak heran jika apatisme publik kepada elite parpol, parpol dan pemilu (pileg) terus menguat (Cyrus Network, 2014). Ketiga, ironi buruknya manajerial petinggi parpol dalam mengelola partainya. Idealnya, konflik internal dapat tersimpan rapat dan dapat diselesaikan sebelum menjadi konsumsi publik. Akan tetapi tidak demikian di negara ini. Seringkali konflik internal yang melibatkan petinggi parpol berakhir dengan berpindahnya salah satu atau kubu petinggi parpol ke parpol lain, bahkan terkadang malah membentuk parpol baru. Kondisi itu membuktikan betapa buruknya manajerial parpol dalam menangani setiap persoalan internalnya. Konflik internal parpol pada dasarnya semakin menegaskan bahwa ironi politik telah mengaburkan makna politik (baca: demokrasi) sebagaimana yang digagas oleh Abraham Lincoln (1860-1865). Elite parpol sudah tidak lagi peduli dengan tujuan mereka membangun parpol. Mereka lebih mementingkan egoisme dan pragmatisme berpolitik dari pada memikirkan aspirasi rakyat dan kader partainya. Salah satu poin inti reformasi adalah menghindari kembali dimonopolinya politik bangsa hanya oleh segelintir elite. Dalam konteks itu, jika publik “berpuasa” dari peran “mengingatkan” elite parpol, maka saya khawatir bahwa keberadaan parpol di negeri ini semakin menjadi serupa kerumunan politik, belum menjadi barian politik: belum diikat oleh platform, visi dan misi mulia. Untuk itu, di era ini publik sangat berkepentingan untuk mendorong dan mendesak agar elite parpol kembali menyadari tujuan awal mereka membangun partai. Elit politik didesak untuk lebih mengedepankan kebesaran jiwa dari pada sekadar egoisme untuk meraih keuntungan pribadi dan kelompok semata. Hanya dengan begitulah—sebagaimana ungkapan Robert Maynard Hutchins (1998)—“suara dan mandat publik pada pesta demokrasi tidak (boleh) kembali menjadi basa-basi para elite politik yang gemar menebar friksi dan janji.”(*)   * Penulis adalah Direktur Komunitas, Penulis buku Politics.  

Tags :
Kategori :

Terkait