Cerpen oleh: Rahmaniah Akhirunnisa Sinar sang surya nampaknya masih enggan untuk memberikan kehangatannya pada seluruh makhluk bernapas di alam semesta. Desau udara dingin membuat para manusia enggan untuk beraktifitas di luar rumah mereka. Rintik hujan sedari tadi membasahi bumi, juga menitik ke sebuah payung hitam yang menaungi seorang gadis dan laki-laki yang nampak berlutut di sebuah makam di komplek pemakaman. Kima Azzahra—gadis itu—meletakkan sebuah bunga lili putih di atas pusara mamanya. Gadis berambut panjang yang masih berseragam itu belum bisa menghentikan air matanya. Tepat pada hari ini mamanya sudah 10 tahun meninggalkan dirinya dengan membawa serta segala kehangatan yang hanya dimiliki oleh seorang mama. Kehangatan yang selalu ia rindukan setiap waktu, yang telah Tuhan renggut sejak 10 tahun yang lalu. “Ya Tuhan… Apakah mama sudah bahagia bersama-Mu disana? Bagaimana keadaan mama? Aku mohon jagalah dia selalu. Jangan buat mama kesakitan, dan tempatkanlah mama dalam surga-Mu. Sampaikan juga pada mama, bahwa aku merindukannya…” Kima memejamkan matanya seraya mengepalkan kedua tangannya, memanjatkan doa dan curahan hatinya pada Tuhan. “Kima, sebaiknya kita segera pulang, hujan semakin deras dan angin semakin dingin menusuk.” Habibi—lelaki yang bersama Kima—membujuk Kima untuk pulang, karena ia tahu, Kima bukanlah gadis yang cukup kuat menghadapi cuaca yang cukup buruk seperti ini. Kima menghapus air matanya kasar seraya mengangguk. Kemudian kedua insan itu beranjak. Habibi mengantarkan Kima sampai ke rumahnya dengan berjalan kaki, karena kebetulan komplek pemakaman itu tak jauh dari rumah Kima. “Makasih banyak kamu sudah mau mengantarku ke pusara mama, maaf merepotkan.” Ujar Kima kepada Habibi setelah mereka sampai di depan rumah Kima. “Jangan sungkan meminta bantuan padaku,” Habibi membalas seraya tersenyum, “aku pulang dulu, sebaiknya kamu cepat masuk,” lanjutnya. “Ya. Hati-hati.” Kima membalikkan tubuhnya setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya. Begitu juga Habibi. ***** “Kima, aku rasa kamu harus mulai merubah beberapa sikap burukmu,” tutur Habibi di tengah-tengah proses makan siangnya. Aku dan Habibi kini sedang berada di kantin sekolah kami yang tidak terlalu ramai. Kami memutuskan makan siang di kantin karena aku tidak membawa bekal. Aku, begitu juga Habibi kini telah duduk di kelas XII, artinya kami sudah mulai pemantapan. Melelahkan memang, tapi mau bagaimana lagi, itulah yang harus dihadapi oleh siswa akhir. “Berubah? Apa yang harus dirubah?” tanyaku datar sambil mengunyah makanan. “Kamu harus mulai berhenti bersikap dingin kepada ayahmu, mulai bersikap manis kepada teman-teman di sekolah ini, dan mulai jadi siswi yang baik. Kamu kan pintar, sayang kalau terus-terusan membuat onar.” Jelas Habibi. Ya, aku memang termasuk siswi yang suka membuat onar. Entah apa yang membuatku seperti itu. Aku benar-benar risih dengan sikap para siswa, selalu menganggap aku adalah perempuan jadi-jadian. Pikiran yang bodoh! “Menggelikan!” aku hanya tersenyum getir membayangkan jika hal-hal yang dikatakan Habibi benar-benar aku jalani. Berhenti bersikap dingin pada ayah? Apa untungnya? Ayah yang telah membuat mama pergi meninggalkan dunia ini. Dia yang terlambat datang ke rumah sakit untuk membawa mama dioperasi keluar negeri. Dia yang membuat mama tidak berkesempatan untuk hidup. Dia yang menyebabkan mama tidak bisa menyalurkan kasih sayangnya lagi padaku. Dan dia yang membuat hidupku seterpuruk ini! Lantas untuk apa aku bersikap baik padanya? “Aku tahu, kau sebenarnya merindukan kasih sayang ayahmu juga kan? Kau merindukan masa dimana kau menghabiskan waktu bersama ayahmu. Benarkan?” Aku tersentak mendengar perkataan Habibi yang begitu menohok ulu hatiku. Rasanya aku tak bisa mengelak lagi. Habibi benar. Aku memang merindukan sosok itu. Sosok tegas yang dulu selalu mampu membimbingku dan mama, menemani kami, dan membuat kami bahagia. Aku merindukan masa kecilku. Dimana aku menghabiskan waktu bersama mama, juga ayah. Ya. Aku merindukan kasih sayang ayah. Semilir angin terasa semakin keras menerpaku, menambah pilu dan duka di dalam hati. Mata ini terasa kian memanas, siluet-siluet masa kecilku silih berganti berlalu, bagai menempuh perjalanan dengan mobil kemudian melihat keluar jendela. Semua berlalu begitu cepat. Air mata ini terasa mendesak, memaksaku untuk mengeluarkannya bersama segala pilu yang kurasa. Dan akhirnya, butiran itu menetes, keluar dari bendungannya. Aku menunduk. “Menangislah, jika sekiranya itu membuatmu lebih baik. Perlu kau ingat, semua yang berlalu dalam hidup setiap manusia adalah takdir Tuhan. Begitu juga dengan kematian. Kita tidak bisa menyalahkan siapapun, karena semua adalah skenario Tuhan. Dan kamu tahu, waktu terus bergerak, sangat cepat, jika kita hanya bisa hidup di masa lalu, kita akan tertinggal, dan akhirnya menyesal dengan keterpurukan. Kamu ingat judul buku R.A. Kartini? Habis Gelap Terbitlah Terang, dengan kata lain, setelah ada masalah yang menerpa, pasti ada sebuah titik terang.” Aku mencerna kalimat demi kalimat yang diutarakan Habibi. Meresapi setiap makna dari setiap katanya. Ternyata aku yang salah. Tidak seharusnya aku berlarut-larut dalam kesedihan setelah kepergian mama. Semua ini benar-benar menyiksaku, membuatku semakin terpuruk dan terpuruk. Ayah ternyata tidak salah. Semua ini benar-benar takdir Tuhan, dimana manusia hanya bisa menerimanya. Aku yang terlambat memahami semuanya. Dan terlalu menolak takdir yang bahkan sampai saat ini dan nanti, tidak akan berubah. “Kamu benar…” jawabku parau. ***** Sore telah usai, tergantikan dengan gulita sang malam. Kima masih duduk terpaku di dalam kamarnya menghadap ke arah jendela dengan gorden yang sengaja ia buka. Kima memperhatikan butiran-butiran air hujan yang hinggap di luar jendela kamarnya, yang sedikit demi sedikit meluruh kemudian tersingkirkan oleh butiran-butiran baru, silih berganti meluruh. Tak jauh berbeda dengan peristiwa yang dialami setiap insan dalam roda kehidupan, datang silih berganti. Satu peristiwa berlalu, akan datang peristiwa baru, dan akan terus seperti itu. Itulah yang sedang Kima renungi. ‘Semoga mama tidak merasa kedinginan,’ gumam Kima dalam hati. Ia menatap sayu ke luar jendela kamarnya. “Kima, keluarlah untuk makan malam,” terdengar suara Bu Inun—pembantu di rumah Kima—dari luar kamarnya, suara yang membuyarkan lamunan Kima dan membuat Kima kembali tersadar. “Iya bu..” Kima beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ruang makan. Ia melihat sosok pria yang sudah menempati posisi di meja makan. Pria itu adalah ayahnya. Sosok yang kasih sayangnya selalu ia rindukan jauh di lubuk hatinya yang terdalam. Kima duduk di hadapan ayahnya. Sosok itu tersenyum tulus, membuat hati Kima tersayat. Ia benar-benar merasa bersalah atas sikapnya selama ini terhadap ayahnya. Mereka memulai makan malam. Diam-diam, Kima memperhatikan setiap lekuk wajah ayahnya yang sedang makan dengan lahapnya. Wajah itu tak henti-hentinya memasang senyum yang entah ditujukan kepada siapa. Kima memperhatikan sosok dengan pipi tirus yang terlihat lelah, kelopak matanya terlihat nanar, dan dahinya yang memperlihatkan beberapa kerutan, menandakan begitu banyak hal yang dipikirkan ayahnya. Ia tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, tapi ia tahu, beban yang dipikul pria tegas ini pastilah sangat banyak, lebih banyak dari beban yang ia miliki. “Ayah, tidak bisakah berhenti tersenyum? Itu terlihat sangat aneh.” Kima memberanikan diri untuk berbicara dengan sang ayah, meski nada bicaranya masih terasa dingin. Tapi lagi-lagi ayahnya membalas pertanyaan itu dengan senyuman. “Ayah tidak menyangka, kamu sudah tumbuh hampir melewati masa remajamu, tumbuh menjadi gadis cantik seperti yang sedang ayah lihat. Kamu…sangat mirip dengan mama,” ayah Kima menunduk setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, hanya bisa menatap makanan yang sedang dilahap. Mendengar perkataan ayahnya, semburat kesedihan kembali menyergap hati Kima. Matanya kembali memanas, namun sebisa mungkin, Kima berusaha menahan agar noktah bening bak kristal itu tidak keluar dari sepasang matanya. Kima tahu, ayahnya juga merindukan mama, sama sepertinya. “Maafkan Kima, yah. Selama ini Kima benar-benar salah mengambil kesimpulan,” Kima mengatakan dengan suara tertahan, tapi masih bisa didengar oleh ayahnya. Ia hanya bisa menunduk mengucapkannya. Kima benar-benar tak sanggup bila harus menatap sepasang mata sayu milik ayahnya itu. Air matanya pastilah akan menitik. “Ayah juga menyesal atas kejadian dahulu. Jadi ayah memaklumi sikapmu, nak.” Ayah Kima berusaha tegar, mengingat masa-masa genting yang pernah dialaminya bersama Kima dahulu. Ketika takdir mengharuskan mamanya direnggut oleh Sang Pencipta. Kini diantara Kima dan ayahnya, hanya ada keheningan. Mereka saling merenung. Terutama Kima. Bahkan kini air matanya telah menganak sungai di pipinya. Kima tidak menyangka, selama ia hidup, ia telah melewatkan begitu banyak waktu bahagia untuk bersedih. Kima begitu menyesal. Terlebih, selama ini ia telah mengabaikan suguhan kasih sayang yang selalu ditawarkan ayahnya. Kasih sayang yang ternyata tidak memudar sampai sekarang. Dan masih bisa Kima rasakan, melalui hatinya… ***** Hujan bertemankan hembusan angin masih enggan untuk berhenti membasahi bumi dengan segala hawa dinginnya. Hari terlihat semakin gelap, padahal waktu baru menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sekolah Kima kian lama kian sepi. Satu per satu siswa enyah dari sekolah. Beberapa menerima jemputan orangtua mereka, dan beberapa lainnya berlindung pada payung yang sengaja mereka bawa. Hanya tersisa beberapa siswa di koridor sekolah, menunggu berhentinya hujan yang semakin lama terasa semakin lebat. Begitu pula dengan Kima dan Habibi. “Hujan angin,” Habibi berdiri di samping lapangan sekolah yang masih beratap, memperhatikan lapangan yang dijatuhi air hujan sembari menggosokkan kedua tangannya, mencoba memunculkan sedikit rasa hangat. Kima yang sedang membaca novel, sama sekali tidak menggubris laki-laki yang barusan berbicara itu. “Kenapa kau tidak mencoba menghubungi ayahmu untuk menjemputmu? Hari semakin gelap, hujan sepertinya masih lama untuk berhenti,” tutur Habibi pada Kima. Tapi bukan jawaban yang didapatnya, melainkan tatapan tajam dari Kima. Kima menutup novelnya, berjalan ke samping lapangan yang masih beratap, sama seperti yang Habibi lakukan. Ia menerawang jauh, sedetik kemudian menatap setiap rintik air hujan yang menjatuhi tanah. Rindu. Perasaan itulah yang selalu membuat hati Kima berdesir setiap waktu. Betapa ia merindukan kasih sayang dari sosok malaikat tanpa sayap yang Tuhan ciptakan, yang ia sebut ‘Mama’. Rindu itu sepertinya telah menyatu dengan tubuhnya, mengalir lembut dengan setiap aliran darahnya. Rindu itu layak udara yang Kima hirup dalam setiap hela. Rindu yang selalu mampu menyayat hatinya. “Aku bosan dengan dunia, Ma. Aku ingin bersamamu. Tidak ada lagi yang bisa dipercaya di dunia ini, selain Habibi dan juga Ayah,” gumam Kima dalam hati. Ia mencoba memejamkan matanya, menutup pilu yang sedari tadi menganga, berusaha membawa Kima masuk ke dalamnya. Perlahan, Habibi merangkul pundak Kima. Mencoba memberikan satu titik kedamaian dalam hati Kima. Ia tak pernah bisa melihat sahabatnya itu berlarut-larut dalam kesedihan. Habibi tahu betul, Kima bukanlah sosok yang cukup kuat dalam hatinya ketika harus menghadapi permasalahannya seorang diri. Kima adalah perempuan yang rapuh. “Keajaiban Tuhan adalah hal yang pasti. Kau harus percaya, Tuhan telah mempersiapkan malaikat baru atas kerinduanmu terhadap malaikat lama yang kau rindukan,” Habibi berusaha memberi Kima kekuatan. Kima meresapinya. Menikmati setiap detik yang masih ia miliki bersama Habibi, satu-satunya sahabat yang ia miliki. Air matanya telah lama mengalir, hingga menganak sungai di pipi tirusnya. Dari kejauhan, seorang pria paruh baya menghampiri mereka dengan payung yang melindungi tubuh pria itu. Habibi memperhatikan kedatangan pria itu, nampak tak asing di matanya, begitu pula di mata Kima. “Ayah,” Kima menyadari siapa sosok yang mungkin beberapa detik lagi sampai di hadapan mereka. Kima menghapus air matanya kasar. Sosok itu telah sampai di hadapan mereka, seulas senyum tulus nampak di wajahnya. Abi membalas senyuman ayah Kima, sedetik kemudian, ia melirik ke arah Kima. Kima hanya memalingkan wajahnya ke samping. “Kebetulan perusahaan yang bekerja sama dengan ayah tidak jauh dari sini, sekalian pulang, ayah menjemputmu,” jelas ayah Kima ramah. Habibi menyikut lengan Kima, memberi pertanda agar Kima menerima ajakan ayahnya itu. “Hari semakin gelap, sebaiknya kita segera pulang. Habibi, mau ikut dengan kami?” Ajak ayah Kima. Habibi menolaknya dengan santun. “Saya membawa sepeda motor, Paman. Terimakasih,” “Ayo Kima,” ajak ayah Kima. Kima mengikuti ayahnya, berteduh di bawah satu payung yang sama dengan ayahnya. Hatinya berdesir lembut. Ya, Kima merasa bahagia akan kejadian ini. Hal yang tidak pernah dilakukannya lagi, sepeninggal Mamanya. Kima menunduk, mencoba menyembunyikan senyum samarnya. Habibi memperhatikan sepasang ayah dan anak itu. Ia tersenyum puas melihat sikap Kima yang kian berubah menjadi lebih baik terhadap ayahnya. Ia bahagia melihat Kima bahagia ketika bersama ayahnya. Karena Habibi tidak rela melihat Kima terus-terusan menyiksa dirinya dengan bersikap dingin kepada ayahnya itu. Habibi tahu apa yang tercatat rapi di dalam hati Kima. Ya, ia selalu bisa membaca hati Kima, Kima tidak bisa berbohong kepadanya. ***** Siang yang cukup terik. Mentari mulai menyinari bumi, lain dengan siang kemarin yang ditemani awan mendung bahkan hujan. Minggu yang sangat membosankan bagiku. Aku hanya melewatinya dengan menonton televisi atau membaca novel, seperti saat ini. Aku terduduk di ruang TV, memperhatikan channel tanpa tujuan. Tiba-tiba, seseorang membuka pintu rumah. Ternyata Bu Inun. “Ibu kemana saja? Sudah sangat lama aku menunggu Bu Inun. Aku sangat lapar, Bu. Bisakah memasak makanan untukku?” Tuturku memelas pada Bu Inun, Bu Inun hanya tersenyum. “Kima, tadi Ibu dapat titipan dari Ayahmu, ini titipannya. Katanya, ini untuk kamu pakai nanti malam. Akan ada acara makan malam bersama seseorang spesial. Makanya tadi Ibu pergi ke pasar swalayan untuk berbelanja bahan-bahannya,” jelas Bu Inun seraya memberikan tas bermotif bunga yang ia jinjing. Aku membuka tas itu. Di dalamnya terdapat sebuah gaun panjangberwarna pink lembut lengkap dengan motif di bagian pergelangan lengannya. Sangat cantik. Semua ini membuatku penasaran. Makan malam dengan orang spesial? Siapa orang yang dianggap spesial itu? Semuanya benar-benar membuatku penasaran. Senja berganti malam. Bintang-bintang mulai bertaburan sembarang. Aku terduduk di depan cermin. Menatap gaun yang membalut tubuhku saat ini. Gaun yang ayah berikan siang tadi. Tidak terlalu buruk. Rambut ini kubiarkan terurai rapi, dengan pita putih yang sengaja kupakai agar rambutku tidak terkesan polos. Tapi satu hal, aku masih belum bisa mengukir senyum. Hatiku masih diselubungi rasa khawatir akan kemungkinan-kemungkinan yang sempat membayangiku. Tiba-tiba nampak Bu Inun dari cermin, datang menghampiriku. Ia memegang pundakku seraya tersenyum tulus. “Kima sepertinya sudah siap. Ayo, kita ke ruang tengah, ayahmu sudah menunggu,” ujar Bu Inun, perkataannya membuatku semakin disergap rasa penasaran. Tapi aku hanya diam, mengikuti Bu Inun dari belakang untuk menghampiri ayah. Ayah nampak sangat rapi, dengan kemeja putih dan jas hitam membalut tubuhnya. Ini bukan makan malam biasa sepertinya… Aku dan ayah duduk bersama di ruang tengah, menantikan hadirnya sosok spesial yang dimaksud ayah. “Kima, ayah tahu kamu merindukan kasih sayang mama, kan? Jika ayah membawa lagi kasih sayang itu, apakah kamu mau menerimanya?” Ayah membuka pembicaraan. Aku hanya terdiam. Mencoba mencerna rentetan kata yang baru saja disampaikan ayah. Nampaknya ayah benar-benar akan membawa sosok baru. Aku takut. Takut tidak siap akan kedatangan seseorang yang dimaksud ayah. Takut belum bisa menerima sepenuhnya seseorang itu. Dan yang lebih aku takutkan, seseorang itu tidak bisa memberiku kasih sayang yang aku rindukan. Tapi aku tahu, tidak mungkin aku menolak hanya karena egoku sendiri. Selama ini aku tahu, ayah berdiri sendiri, tanpa sosok mama, itu sangat berat. Ia melakukannya hanya untuk aku. Jika sekarang aku menolaknya, aku akan merasa menjadi orang yang paling egois. “Tentu saja,” jawabku. Hatiku berdesir, bersamaan dengan kata persetujuan yang baru saja aku ucapkan. ‘Aku harap, ini keputusan yang benar,’ batinku. “Beliau sudah datang, Tuan,” ujar Bu Inun tiba-tiba. Ayah segera bangkit, begitu juga aku. Aku hanya bisa membuntutinya dari belakang, tak tahu apa lagi yang harus aku lakukan. Turun dari seorang mobil wanita anggun dengan gaun yang hampir sama seperti yang membalut tubuhku saat ini. Kian lama kian mendekat, aku masih terpaku menatap kedua bola matanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam hatiku. Perasaan itu, bukan perasaan takut. Wanita itu tersenyum ke arah ayah, kemudian ke arahku secara bergantian. Hatiku benar-benar seperti ingin menyampaikan sesuatu. Wanita itu, sangat persis dengan mama. Bola mata teduhnya dan senyum manisnya yang selalu mampu membuat satu titik kedamaian dalam hatiku, dan kini aku melihatnya kembali, setelah sekian lama. “Inikah keajaiban Tuhan yang dimaksud Habibi?” Tanya hatiku entah pada siapa. Sedikit demi sedikit, aku berjalan menghampiri wanita itu. Semakin lama semakin cepat, dan segera kudekap dengan lembut wanita itu. Air mataku menitik, seiring terbayarnya kerinduanku pada mama. Wanita ini benar-benar jauh dari dugaanku. Ia membalas dekapanku, terasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku, bahkan aliran darahku. Ia mengusap lembut pundakku. Aku melepaskan pelukanku dan segera meraih tangannya, mengajaknya masuk ke dalam rumah. Seulas senyum bahagia terukir pada wajah ayah. Aku terlalu bersemangat malam ini. Rasanya segala pilu yang sempat bersarang, kini telah lenyap entah kemana. Apakah ini yang dimaksud keajaiban Tuhan? Apakah dia adalah ‘malaikat baru’ yang Tuhan kirim untuk membayar kerinduanku terhadap mama, sang malaikat yang kurindukan? Ya, ia benar-benar malaikat baru yang dijanjikan Tuhan. Dengan segala kedamaian yang ia bawa serta kesini, ke dalam hatiku. Aku banyak bercerita kepada wanita yang lebih ingin kusebut sebagai ‘Bunda’ ini, sebenarnya ayah yang menyuruhku memanggil begitu, tetapi aku tidak keberatan. Bunda benar-benar seperti meningkatkan semangat hidupku, dalam waktu yang sangat singkat. Makan malam berlangsung sangat menyenangkan. Aku bahkan mendengar rencana pernikahan ayah dan bunda, entah mengapa aku begitu antusias mendengarkannya. Bunda, dia adalah malaikat yang sangat baik. *** “Aku senang, malaikat baru itu telah Tuhan kirim untukmu,” ujar Habibi sembari menatap lurus ke depan. Kima tersenyum. Kini keduanya tengah berada di pusara mama Kima. “Ma.. sekarang aku telah menemukan sosokmu lagi. Dia adalah bunda. Sangat persis seperti mama. Tapi, semirip apapun, mama tetap tidak akan tergantikan oleh siapapun. Mama tetap nomor satu di dalam hatiku. Tuhan… tolong jaga mama selalu. Terimakasih atas malaikat-malaikat yang kau kirim untukku, yaitu Ayah, Habibi, dan bunda. Mereka telah membuatku lebih tegar dan tidak pernah putus asa. Terimakasih Tuhan…” Kima berdoa di dalam hatinya. Setelah selesai berdoa, Kima meletakkan bunga lili putih di atas pusara mamanya. Ia menangkap siluet mama yang tersenyum di hadapannya, ia tersenyum seraya menghilangnya siluet itu. *** “Hidup memang terkadang tak seperti yang kita inginkan. Ada saatnya kita harus kehilangan. Namun kehidupan akan tetap berlanjut, tak peduli apakah kita telah siap berjalan kembali atau tidak. Percayalah, pelangi akan hadir jika hujan telah turun. Jikapun itu bukan seindah pelangi, ada sang mentari yang siap berbagi kehangatan bagi siapapun yang selalu percaya akan keajaiban Tuhan.” *** *) Penulis adalah siswa SMA Negeri 2 Cirebon
Malaikat dari Tuhan
Sabtu 14-02-2015,10:00 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :