Oleh: Barnawi Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa terus mengalami transformasi sesuai dengan dinamika zaman. Transformasi di dunia pendidikan dipicu beberapa factor, antara lain perkembangan ilmu dan teknologi, transformasi sosial, dan dialektika budaya transnasional. Perkembangan ilmu dan teknologi khususnya IT membawa banyak perubahan di dunia pendidikan antara lain ketersediaan sumber dan bahan pelajaran yang melimpah di dunia maya. Perubahan pendekatan belajar, dan budaya mengajar. Transformasi sosial memberi kontribusi dalam kontekstualisasi pelajaran yang ada di sekolah, agar apa yang dipelajari tidak kehilangan konteks dengan kenyataan di lapangan. Sebab sudah sering dirasakan apa yang dipelajari di sekolah menjadi usang ketika anak-anak lulus sekolah. Dialektika budaya transnasional menuntut setiap individu memiliki kekuatan bersaing dan mampu membangun jaringan dalam rangka menyambut dunia baru seperti Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Transformasi pendidikan menandakan adanya kehidupan tersendiri, lebih dari sekadar persiapan untuk hidup. Tuntutan akan kemampuan dunia sekolah untuk mampu adaptif dengan dinamika zaman seringkali ditanggapi secara reaktif. Seakan-akan dunia pendidikan kita gagap dengan apa yang ada di lingkungan. Padahal jika semua sudah direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terstruktur, maka apa pun perubahan yang terjadi di lingkungan merupakan bagian yang melekat dalam dinamika sekolah. Perubahan apa pun yang terjadi di lingkungan tidak selalu membutuhkan kebijakan makro (nasional) yang membutuhkan rantai panjang untuk implementasinya. Belum lagi masalah bujet yang rawan conflict of interest. Dan yang lebih tragis lagi, tidak jarang kebijakan makro membuat guru dan siswa menjadi bingung. Padahal substansi pendidikan ada pada level sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Tuntutan akan perubahan di dunia pendidikan seringkali membuat paranoid pelaku pendidikan. Dan siswa sering menjadi ‘objek penderita’ dalam berbagai perubahan kebijakan pendidikan. Sebagai contoh, perubahan nilai minimal ujian nasional sebagai gerbang kelulusan beberapa tahun yang lalu meresahkan siswa dan praktik K-13 yang dipandang relatif rumit juga meresahkan siswa. Dengan kesan yang rumit, pendidikan menjadi dunia yang tidak menarik bagi sebagian anak didik. Dampaknya jelas, kedisiplinan sekolah menjadi sesuatu yang berat; kenakalan remaja sebagai sebuah kompensasi ketidaknyamanan muncul di sekolah, tawuran, vandalisme, dan bullying menjadi fenomena yang sering didengar. Ke depan kesan angker dunia pendidikan harus diubah dengan kesan menyenangkan dan menggembirakan, sehingga sekolah menjadi kebutuhan bukan kewajiban. Di sinilah pentingnya shifting paradigm (pergeseran paradigma) di dunia pendidikan, karena hakikat belajar adalah pemanusiaan manusia. Salah satu pendekatan yang penulis tawarkan adalah, mengubah ruang segi empat yang kita namakan kelas itu menjadi sebuah taman, taman pelipur lara. Dinamakan taman pelipur lara dengan harapan sekolah mampu menjadi tempat yang membahagiakan sekaligus mencerdaskan. Taman merupakan tempat yang indah dan menyenangkan. Hijaunya daun menyegarkan mata, gemercik airnya menenteramkan hati dan bersihnya udara membuat siapa saja ingin menghirup dalam-dalam. Kupu-kupu dan serangga akan beterbangan dan menghisap manisnya putik bunga yang menghiasi taman dengan beragam warna. Anak-anak menjadikan taman untuk bermain dan mengekspresikan kegembiraan. Taman bagi orang tua adalah media menghilangkan segala kepenatan sekaligus tempat yang santai untuk rekreasi keluarga. Taman adalah pelipur lara bagi siapa saja yang mengunjunginya. Sekolah idealnya menjadi penawar segala kegundahan siswa. Sebab setiap anak yang datang ke sekolah membawa konstruksi sosial dan ekonomi yang beragam. Ada yang kaya, namun ada pula yang tidak mampu. Ada yang dari keluarga harmonis dan ada pula yang berlatar belakang broken home. Ada yang keluarganya utuh, namun ada pula yang yatim piatu. Setiap konstruksi sosial dan ekonomi anak disikapi berbeda oleh anak-anak kita. Ada yang tetap semangat dan pula yang merasa terpuruk meratapi nasib. Dan itu adalah wajar, tugas guru adalah mengajak anak-anak mensyukuri setiap apa yang dimiliki. Di sinilah pentingnya ruang empati yang harus diperluas dalam sanubari setiap guru agar anak-anak merasa nyaman dan tidak mengalami distorsi kepribadian, karena perasaan luka dan merasa tidak beruntung dalam hidup. Untuk menjadi taman pelipur lara sekolah harus dikonstruksi dengan pendekatan baru yang tidak rigid dan verbalistik. Dibutuhkan ‘arsitek taman’ untuk mengubah sekolah menjadi taman pelipur lara. Peran kepala sekolah sebagai penentu kebijakan sekolah sangat vital. Visi kepala sekolah tentang konsep sekolah sebagai taman pelipur lara sangat menentukan bagaimana bangunan sekolah menjadi tempat yang menyenangkan, menenteramkan sekaligus mencerdaskan bagi anak didik. Begitu pula guru dan tenaga kependidikan di sekolah harus melaksanakan visi sekolah sebagai tempat terbaik untuk anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak, dan periang. Masa depan Indonesia membutuhkan generasi yang sehat lahir batin; yang sanggup menatap dan bersaing dengan berbagai anak bangsa lain di dunai global. Generasi yang cerdas, berakhlak, dan periang adalah generasi yang sanggup menyongsong persaingan dengan ketenangan jiwa. Apa jadinya jika tantangan yang begitu rumit dihadapi dengan kemurungan mendalam dari anak-anak kita. Bukan penyelesaian yang didapat, namun keruwetan hidup yang diperoleh. Anak yang mampu menatap masa depan dengan ketenangan jiwa, namun sigap dalam berpikir dan bertindak adalah anak-anak alumni pendidikan taman pelipiur lara. Kini sudah saatnya mengubah wajah dunia pendidikan kita, dunia pendidikan yang mencerdaskan sekaligus menentramkan jiwa. (*) Kepala MA Bina Cendekia Kabupaten Cirebon
Sekolah sebagai Taman Pelipur Lara
Rabu 25-02-2015,10:00 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :