Desak Evaluasi MoU TNGC

Sabtu 06-06-2015,09:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Acep-Rana Salam Gadil, Terkesan Akrab?   KUNINGAN – Pemandangan menarik terlihat pada suasana hajat pernikahan putri Kepala Dinas Kesehatan, H Raji K Sarji MMKes di kediamannya di Desa Sangkanurip Kecamatan Cigandamekar, kemarin (5/6). Dua tokoh PDIP, H Acep Purnama MH dan Rana Suparman SSos saling sapa dengan melakukan salam gadil. Pertemuan antara dua tokoh partai penguasa di Kota Kuda itu terjadi sekitar pukul 14.30. Saat itu Rana yang menjabat ketua DPRD sudah datang lebih dulu. Pada salah satu meja yang disediakan panitia hajat, dia menikmati hidangan ditemani salah seorang awak media. Selang 15 menit kemudian, Wabup H Acep Purnama tiba yang mendapat sambutan hangat dari panitia hajat. Tak terkecuali Rana Suparman langsung menghampiri tokoh seniornya itu. Yang menarik, antara keduanya melakukan salam gadil, adu kepala, mendekati salam cipika-cipiki. Kendati duduk satu meja berdampingan, antara Acep dan Rana tidak terlibat obrolan yang menunjukkan sebuah keakraban. Sebab, Acep saat itu masih menikmati hidangan sehingga sulit untuk berbincang-bincang. Suara musik dangdut pun tidak memungkinkan terjadinya obrolan yang mengalir. Setelah Acep menyelesaikan santap siangnya, perbincangan antara Acep dan Rana tidak terjadi. Saat itu, keduanya seolah saling diam. Justru Acep terlibat obrolan dengan salah seorang awak media. Begitu pula Rana, malah berbincang-bincang dengan awak media lain yang berada di sampingnya. Kesan kaku antara mereka berdua terpecahkan, tatkala Rana permisi pulang. Dia pamit ke Acep dengan bersalaman yang disusul dengan salam gadil kembali. Setelah itu, tiba-tiba Rana memeluk Acep dengan mengatakan dialah tokoh seniornya. Perilaku keduanya ini membuat para awak media langsung mengeluarkan kamera untuk memotretnya. “Pak Acep ini tokoh senior saya. Antara kami tidak ada masalah,” ucap Rana dengan menebarkan senyuman khasnya itu, disusul senyuman Acep Purnama. Terpisah, Wakil Ketua DPRD Drs Toto Suharto SFarm Apt mencoba menanggapi kisruh Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Dia tahu betul dalam pengelolaan taman nasional (TN) tersebut terdapat MoU antara Pemkab Kuningan dan BTNGC yang dibuat pada 2008 lalu. Kemudian disusul dengan penyerahan aset dari Perhutani ke BTNGC pada 2009. “MoU itu berlaku 20 tahun. Tapi dalam waktu lima tahun sekali ada evaluasi. Nah, saat inilah waktunya untuk melakukan evaluasi terhadap MoU tersebut. Kita harus perjelas seperti apa partisipasi masyarakat lereng Ciremainya,” tandas ketua DPD PAN Kuningan itu. Jika selama ini terjadi pelanggaran MoU, maka saat inilah, menurut dia, perlu dilakukan evaluasi. Selaku wakil rakyat, nasib masyarakat lereng gunung harus diperjuangkan. Mereka harus bisa berpartisipasi dalam pengelolaan hutan seperti yang pernah dilakukan pada saat masih ada program PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat). “Evaluasinya kan belum dibahas. Jadi sebagai solusi, semua pihak harus duduk bersama. Bahas kembali dengan menteri (Menhut, red), jangan sampai TNGC itu terlalu kaku. Fleksibel saja, agar akses masyarakat tidak tertutup,” ujarnya. Toto juga tidak sependapat apabila mata air yang berada di kawasan TNGC menjadi kewenangan BTNGC. Karena berada di wilayah Kabupaten Kuningan, maka sudah seharusnya menjadi kewenangan Pemkab Kuningan. Hal ini, menurut dia, wajib dimasukkan pada materi bahasan musyawarah dengan Menhut nanti. “Aturan itu kan bukan Alquran yang tidak bisa diubah. Tinggal kita duduk bersama bagaimana memikirkan nasib rakyat, khususnya yang berada di lereng gunung, serta pelimpahan kewenangan sumber mata air ke Pemda,” ucap Toto. Politisi asal Japara ini tidak terlalu sependapat dengan perubahan status TN menjadi Tahura. Hanya saja, jika dalam evaluasi MoU antara BTNGC dan Pemda, tidak ada keberpihakan pada masyarakat sekitar Ciremai, maka BTNGC perlu diusir dari Kuningan. “Evaluasi tersebut terutama berkaitan dengan zona partisipasi masyarakat. Jika pada evaluasi MoU nanti nasib rakyat tak terperhatikan, maka sudah barang tentu BTNGC harus diusir,” tegasnya. Zona partisipasi masyarakat, imbuh Toto, harus jelas pemetaannya yang bermuara pada peningkatan kehidupan masyarakat sekitar gunung. Pihaknya prihatin kehidupan masyarakat di sana dulu makmur tapi sekarang malah mengalami kemunduran. Sementara itu, Direktur Merah Putih Institut, Boy Sandi Kartanegara menyikapi masalah turunnya hama seperti monyet dan babi ke lahan pertanian/perkebunan atau pemukiman warga. “Kita tidak bisa menyimpulkan turunnya hama merupakan akibat dari kerusakan ekosistem, sebab fenomena ini merupakan siklus berulang setiap musim panen ladang datang,” kata pria berambut ikal dan gondrong itu. Untuk menuntaskan persoalan TNGC, pihaknya memandang untuk tidak perlu dibumbui oleh cerita-cerita dramatis yang menyesatkan cara berpikir publik. Konservasi, menurut dia, adalah sarana bagi manusia dan makhluk lain di bumi untuk mendapatkan udara dan air yang bersih demi kelangsungkan kehidupan. “Langkah Pak Aang yang bertekad menjadikan kabupaten konservasi adalah gagasan mulia. Itu perlu kita dukung. Kemudian untuk mewujudkan niat itu Pak Aang bersama-sama pimpinan DPRD memohon bantuan kepada pempus melalui Menhut, maka dikirimkanlah BTNGC,” ucapnya. Sekarang, tambah dia, tinggal bagaimana berkomunikasi intensif saja dengan BTNGC agar persoalan-persoalan yang sekarang muncul bisa segera mendapatkan solusinya. “Kalau memang kawan-kawan DPRD periode ini menganggap keberadaan TNGC merugikan, saya mohon kawan-kawan dewan jangan sampai ‘terpaksa’ lagi melahirkan sebuah keputusan,” pungkasnya. (ded)          

Tags :
Kategori :

Terkait