Revisi PKPU Pencalonan Rampung

Kamis 16-07-2015,09:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Akomodasi Dua Pengurus di Golkar dan PPP JAKARTA - Revisi Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah akhirnya rampung. Revisi PKPU yang telah disepakati itu dibawa ke Kemenkum HAM untuk diundangkan, Rabu (15/7). Setelah sempat dihantui kekhawatiran tidak tercapainya konsensus, KPU akhirnya tetap memasukkan opsi pendaftaran calon kepala daerah bersama oleh parpol berkonflik. Kepastian itu disampaikan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay saat ditemui di gedung KPU, kemarin. Dia menuturkan, KPU menyelesaikan pleno revisi PKPU tersebut Selasa tengah malam (14/7). Paginya, Biro Hukum KPU langsung membawa PKPU tersebut ke Kemenkum HAM untuk disahkan menjadi PKPU Nomor 12 Tahun 2015. Hadar menuturkan, pihaknya mengutamakan revisi terhadap aturan yang baru saja diputus Mahkamah Konstitusi (MK). Di antaranya, menghapus klausul konflik kepentingan dengan petahana. Kemudian, mengubah aturan mengenai larangan bagi mantan narapidana untuk menjadi calon kepala daerah. Aturan lain yang diubah adalah kewajiban mengundurkan diri bagi PNS, TNI, Polri, pegawai dan pejabat BUMN, serta anggota parlemen yang ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah. Aturan penting lainnya tentu saja mengenai pendaftaran bersama bagi parpol yang berkonflik, seperti Golkar dan PPP. Menurut dia, klausul tersebut didasarkan pada keinginan KPU untuk memberikan kesempatan yang sama kepada setiap parpol untuk mendaftarkan calon kepala daerah. Sebab, bagaimanapun, semua parpol berhak berpartisipasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, pihaknya sudah berkonsultasi dengan pemerintah, DPR, hingga Mahkamah Agung. Klausul itu akan ditambahkan pada pasal 36, tepatnya pada ayat 4. Apabila parpol yang berkonflik tidak dapat melakukan islah, maka bisa dilakukan islah sementara dalam pencalonan kepala daerah. \"Itu kami anggap sebagai kesepakatan damai,\" ucapnya. Sementara itu, pengesahan PKPU tersebut mendapat kritik tajam dari sejumlah peneliti pemilu. Keputusan tersebut dianggap mendegradasi kemandirian KPU, menabrak UU, serta memicu keributan baru dalam pencalonan kepala daerah. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengungkapkan, keputusan tersebut menimbulkan persepsi publik bahwa KPU tidak mandiri lagi dalam membuat keputusan. \"KPU seakan membuka diri untuk diintervensi pihak lain, khususnya partai-partai politik yang sedang berkonflik,\" ujarnya, kemarin. Selain itu, aturan tersebut menabrak sejumlah peraturan perundangan. Salah satunya UU Parpol. UU tersebut jelas mengatur bahwa parpol yang kepengurusannya sah adalah yang dibuktikan dengan SK Menkum HAM. Hal itu berpotensi menimbulkan keributan. Sebab, masing-masing kepengurusan bisa saja merasa paling sah untuk mengajukan calon kepala daerah. Dia mengingatkan, KPU sudah membuat aturan yang mendorong parpol untuk menyelesaikan konflik internal sendiri. \"Namun, belum tuntas ketentuan itu dipraktikkan, KPU sudah membatalkannya dengan mengakomodasi kepengurusan ganda,\" ucapnya. Itu sama saja KPU melanggengkan konflik internal di tubuh parpol. Di tempat terpisah, anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak menuturkan, sebenarnya cara KPU cukup merepotkan. Dia menjamin Bawaslu tidak bermaksud menolak aturan yang telah disepakati. Namun, pihaknya hanya mengingatkan KPU agar berhati-hati karena aturan tersebut rawan gugatan. \"Dalam sebuah pertandingan, seluruh peserta harus diperlakukan sama. Demikian pula dengan pilkada. Seluruh partai harus diperlakukan sama, termasuk Golkar dan PPP. Jangan sampai karena mengistimewakan kedua partai tersebut, partai lain diperlakukan tidak adil,\" ujarnya. (byu/c5/fat)

Tags :
Kategori :

Terkait