Oleh: Dudi Farid Wazdi \"Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah dan tidak (sempurna) agama orang-orang yang tidak menunaikan janji.\" (HR. Ahmad). SEHUBUNGAN sudah semakin dekatnya pemilukada serentak, maka ada baiknya kita memperhatikan, memilah dan memilih calon-calon pemimmpin yang amanah. Amanah sendiri memiliki dua perspektif makna, sebagai memelihara titipan yang akan dikembalikan dalam bentuknya seperti sediakala. Sementara yang lebih luas mencakup memelihara amanah orang lain, menjaga kehormatan orang lain, masyarakat, lingkungan dan bahkan bangsa serta Negara. Kemudian, dalam konteks bernegara, amanah yang dibebankan kepada para pemegang amanah (pejabat negara) harus dipikul dengan sebaik-baiknya karena memiiki dua perspektif pertanggungjawaban: horizontal (habluminannas) dan vertikal (habluminallah). Setiap pemimpin, baik di lingkup pemerintahan pusat maupun daerah, wajib menegakkan amanah jabatannya sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah. Dalam surah Al-Ahzab [33]: 21, Allah SWT berfirman, \"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta dia banyak menyebut Allah.\" Rasulullah pantaslah menjadi sosok panutan bagi para leader karena empat hal fundamental yang melekat dalam dirinya, yaitu sidik, amanah, tablig, dan fathanah. Meskipun susah untuk mengikuti jejak keteladanan Nabi SAW secara komprehensif, paling tidak kita bisa mendekati apa yang pernah Nabi Muhammad lakukan dalam menegakkan amanah sebagai pemimpin agama dan negara ketika itu. Sidik, yang berarti benar dapat diartikan dengan selalu menegakan kebenaran dalam setiap derap melaksanakan tugas yang diembannya. Tidak ada godaan untuk melenceng dari garis yang sudah ditetapkan. Ia senantiasa lurus dengan perencanaan yang sudah menjadi ketetapan. Tidak neko-neko apalagi bermanuver untuk bermanipulasi. Tidak ada niatan untuk menggelembungkan harga terlebih membikin laporan fiktif. Dirinya tidak lagi bisa dikungkung oleh kepentingan pribadi, golongan dan bahkan partai yang mengusungnya. Ia selalu mendahulukan kepentingan masyarakat dan bangsanya. Selayaknya diingat, ketika sudah menjadi pejabat publik yang harus didahulukan adalah kepentingan bangsa dan Negara bukan kepentingan partai. Amanah. Nah, sifat ini yang sedang langka di negeri ini. Amanah atau kejujuran menjadi sesuatu yang sangat didambakan dan dirindukan tapi tak kunjung menjadi budaya. Yang ada malah sebaliknya, penghianatan marak di mana-mana mulai dari level bawah sampai pusat. Kita tak habis pikir dan seringnya tertipu dengan sifat yang satu ini. Ada banyak orang yang penampilannya meyakinkan, seolah menjadi orang yang saleh, menjadi ustad, sekolah di Timur Tengah, haji dan umrah berulang tapi ternyata maling kelas kakap dan bahkan obral birahi. Allah SWT berfirman, \"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.\" (QS an-Nisaa [4]: 58). Kemudian, Rasulullah bersabda, \"Barang siapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu dan kami beri upah yang semestinya, maka sesuatu yang diambilnya sesudah itu (selain upah) namanya korupsi.\" (HR Abu Dawud). Rasulullah pernah menegur Ibnu Luthbiyah dengan keras karena mengambil hadiah ketika sedang menjalankan tugasnya sebagai pengumpul zakat. Rasulullah menegurnya dengan bersabda, \"Dengan wewenang yang diberikan Allah kepadaku, aku mengangkat seseorang di antara kalian untuk melaksanakan tugas, (tetapi) dia datang melapor. Jika ia duduk saja di rumah bapak dan ibunya, apakah hadiah itu datang sendiri kepadanya kalau barang itu memang sebagai hadiah? Demi Allah, seseorang tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya, melainkan ia menghadap Allah nanti pada hari kiamat dengan membawa beban yang berat dari benda itu.\" (HR Mutafaqun \'Alaihi). Kemudian, sifat tablig (menyampaikan). Dalam pendapat saya sebenarnya dapat pula diartikan dengan sifat keterbukaan (tidak menjadi pribadi yang tertutup atau misterius), akuntabel, dan menghormati hak publik. Artinya, ketika menjadi seorang pemimpin harus berani melayani publik termasuk kehidupan pribadinya digadaikan pada publik. Perilaku ini pertama-tama ditandai dengan menginformasikan harta kekayaannya kepada publik, isterinya berapa, rekening tabungannya ada di mana saja, usahanya apa dsb. Yang terakhir adalah fathanah. Sesungguhnya fathanah adalah sifat cerdas yang memang wajib dimiliki oleh pemimpin. Sifat cerdas dapat dilihat dari bagaimana pemimpin bisa mengambil skala prioritas dalam melaksanakan dan bertindak dalam tugas. Dengan kecerdasannya ia bisa mendahulukan yang lebih penting dari pilihan lainnya. Ia bersikukuh untuk tetap pada pendiriannya. Tidak gentar dengan kritikan, tidak takut disebut melanggar hak asasi dan demokrasi. Ia selalu tegap dan berdiri dibalik konstitusi yang sudah disepakati. Pada akhirnya, semoga saja para pemimpin kita mendatang yang akan dipilih dalah Pemilukada serentak nanti bisa menunaikan amanah jabatannya dengan baik sehingga bangsa ini bisa segera maju dalam berbagai bidang sehingga kesejahteraan dan ketentraman rakyat meningkat. Semoga. (*) *) Penulis adalah Pengawas KPRI Warda Kemenag Indramayu
Mencari Pemimpin yang Amanah
Sabtu 01-08-2015,09:00 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :