Masih Terlupakan

Selasa 18-08-2015,09:19 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

70 Tahun Kemerdekaan dan Cerita dari Cirebon Setiap tanggal 17 Agustus, Indonesia merayakan hari kemerdekaan. Dan tahun ini, negara yang kita cintai ini genap berusia 70 tahun. Banyak cerita perjuangan dari berbagai daerah yang menopang lahirnya kemerdekaan, tak terkecuali Cirebon. Sayangnya, hingga saat ini tidak sedikit yang terlupakan. SALAH satu nama yang dilupakan itu adalah Mohamad Bondan. Nama ini mungkin asing bagi sebagian kalangan, termasuk bagi masyarakat Cirebon. Padahal, Mohamad Bondan memiliki peran besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bondan dilahirkan di Cirebon pada 15 Januari 1910. Pada perkembangannya, 21 September 1945, Bondan bersama Jamaluddin Tamin mendirikan Komite Indonesia Merdeka (KIM). Lembaga perjuangan yang kemudian berganti menjadi Central Komite  Indonesia Merdeka (Cenkim) ini didirikan di Australia. Cenkim bergerak terbuka sebagai bentuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Upaya yang dilakukan tidak di Indonesia, melainkan dalam forum internasional. Bondan berasal dari putra seorang demang dan berasal dari bangsawan Keraton Kasepuhan Cirebon. Menurut pengamat sejarah yang juga Ketua Umum Pusaka Cirebon Kendi Pertula, Mustaqim Asteja, garis keturunan biru ini memudahkan Bondan memperoleh pendidikan sampai tingkat menengah atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Namun, pendidikannya di MULO berakhir enam bulan menjelang ujian akhir karena aktivitas politiknya dan masuk penjara. Sejak saat itu, lanjut Musta­qim, kehidupan pribadinya berku­tat dari aktivitas politik dari satu penjara ke penjara lain. Pada sisi lain, kehidupan di pen­jara mendekatkan Bondan dengan kaum pergerakan seperti Moham­mad Hatta dan Sutan Syah­rir. “Mereka kemudian hari sama-sama dibuang ke Tanah Me­rah Digoel Irian Barat,” terang Mustaqim kepada Radar, Senin (17/8). Perjuangan diplomasi pada waktu itu, kata Mustaqim, tidak hanya dilakukan dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri, khususnya dari Australia, tempat di mana para tahanan politik Digoel, Irian Barat, dipindahkan oleh pemerintah pengasingan Hindia Belanda. Salah satu tokoh yang ikut memperjuangan diplomasi di Australia adalah Bondan. Negara Australia menjadi rumah kedua bagi Bondan. Bahkan, dia menikah dengan perempuan Australia bernama Marry Alithea Warner atau akrab dipanggil Molly Bondan. Namun, kecintaannya kepada tanah air Indonesia jauh lebih besar. Hal ini terlihat saat KIM baru berdiri. Bondan mengingatkan seluruh idiologi dan partai politik harus ditanggalkan demi kemerdekaan Indonesia. Saat baru tiba di Australia, Bondan menjadi jurnalis. Hal ini, kata Mustaqim, membuat Bondan mengenal luas berbagai kalangan. Saat KIM baru berdiri, kapal-kapal Belanda yang ada di Australia sedang bersiap-siap mengangkut amunisi ke Indonesia untuk mempersiapkan kembalinya kekuasaan Belanda ke Indonesia. KIM dan Serikat Buruh Pelabuhan Indonesia (Serpelindo) menyebarkan berita ini meminta dukungan buruh pelabuhan Australia yang berada di Sydney, Melbourne, Brisbane dan kota-kota lain di Australia untuk melakukan boikot terhadap kapal-kapal Belanda. Beberapa hari kemudian pada 25 September 1945, kapal-kapal Belanda di beberapa kota itu tidak dapat berlayar karena pemogokan. Dalam kurun satu minggu, seruan mogok ini menyebar luas ke New Zealand, Singapura, India, Srilanka, Timur Tengah, Inggris dan Amerika. Hal ini membuktikan keberhasilan perjuangan diplomasi Bondan dalam meyakinkan Australia dan masyarakat dunia bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa seperti yang tertera dalam Piagam Atlantik. Satu bentuk nyata perjuangan diplomasi Bondan adalah keberhasilannya meyakinkan Joris Ivens, seorang ahli pembuat film dokumenter sebagai bahan propaganda perjuangan menentang kembalinya Belanda ke Indonesia. “Film itu jadi alat propaganda. Judulnya Indonesia Calling. Indonesia merdeka seutuhnya berkat diplomasi Bondan,” simpulnya. Dalam literatur berbeda yang ditulis Drs Alit Bondan MKom, putra tunggal Bondan dan Molly, menceritakan secara singkat kisah sejarah Bondan berdasarkan catatan ayahnya. Dalam blognya, Alit Bondan menceritakan ayahnya adalah perintis kemerdekaan. Catatan Bondan selama di pembuangannya di Papua (Irian) bersama Mohamad Hatta dan Sutan Syahrir, Bondan menceritakan secara rinci. Pada September 1927, Bondan telah aktif dalam Rapat PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) di Cirebon. Padahal, aturan saat itu bagi anak-anak yang belum cukup umur 18 tahun dilarang mengikuti kegiatan politik. Tetapi untuk mengelabui polisi, Bondan menyamar sebagai orang yang lebih tua dengan berpakaian adat Jawa. Desember 1929, rapat umum yang sama akan diadakan oleh PNI di tempat yang sama. Kemudian rapat diundur menjadi 1 Januari 1930. Tetapi apa hendak dikata, Tanggal 29 Desember 1929 secara besar-besaran Belanda menangkap semua aktivis PNI di pusat maupun di cabang seluruh Indonesia, termasuk Bondan. Hal itu mendapat reaksi dari segala pihak, antara lain PPPKI yang dipimpin Dr Sutomo, kaum nasionalis di dalam volksraad dan perhimpunan Indonesia di negeri Belanda. Akhirnya setelah disekap 2 minggu, pemerintah Belanda membebaskan para tahanan kecuali empat orang, yakni : Ir Sukarno, Gatot Mangkupraja, Maskun dan Supriadinata. Bondan sebelum dibebaskan, dibawa menghadap Tuan Hilje, residen Cirebon yang langsung memecatnya sebagai pegawai Kotapraja Cirebon. Alasan pemecatan, berkelakuan buruk di luar dinas dan pola pikir yang revolusioner. Walaupun demikian Bondan merasa bangga karena jiwa nasionalismenya diharhagai oleh tuan residen. Karena di Cirebon tak ada harapan untuk mendapatkan pekerjaan, Bondan pindah ke Jakarta dan bergabung dengan tokoh-tokoh pengurus partai. Juni 1932, Kongres PNI pertama di Bandung. Utusan dari Jakarta Sutan Syahrir terpilih sebagai ketua umum sedangkan Bondan sebagai komisaris untuk Jawa Barat. Kongres membahas azas kebangsaan dan azas kerakyatan dan meningkatkan program usaha untuk kepentingan pendidikan politik, ekonomi dan sosial. Diputuskan juga untuk menerbitkan sebuah majalah yang bernama Kedaulatan Rakyat (KR). Dalam sebuah rapat umum di Gang Kenari Jakarta, Bondan mengucapkan slogan: Tanpa Sukarno-Hatta, Kita Jalan Terus. Maksudnya untuk memupuk semangat hadirin, karena Sukarno mendirikan Partindo, kemudian Sukarno ditangkap Belanda disertai larangan terhadap rapat-rapat partai dan rapat umum. Istilah kemerdekaan yang sering dikumandangkan oleh partai menjadi momok bagi penguasa. Dalam suatu rapat rahasia di Bandung, PNI memutuskan untuk tetap jalan terus walaupun ada larangan, dan memilih pengurus baru: Bung Hatta sebagai ketua, Burhanuddin sebagai sekretaris. Maskun menjabat wakil ketua I dan Suka Sumitro menjadi bendahara II, Bondan terpilih sebagai komisaris umum , sedangkan Bung Syahrir tidak diberi jabatan karena akan melanjutkan studinya di Belanda. 25 Februari 1934, Pengurus baru dan pengurus lama PNI ditangkap Belanda. Bung Hatta , Syahrir dan Bondan ditangkap di Jakarta, sedangkan Burhanuddin, Maskun, Suka Sumitro dan Marwoto ditangkap di Bandung. Setelah 5 hari meringkuk dalam tahanan polisi di Koningsplein West (Jl Merdeka Barat ), Bung Hatta dan  Bondan dipindahkan ke penjara Glodok, dan Syahrir dijebloskan ke penjara Cipinang. Dari situ, Bondan terus berpindah-pindah ke berbagai tempat. Hingga pada tanggal 18 Agustus 1945, para pengungsi mendengar proklamasi dari radio Bukittinggi berbahasa Arab. Bersama-sama mereka dengan dibantu seorang guru Australia menerjemahkan proklamasi tersebut. Selanjutnya mereka membentuk suatu organisasi bernama Central Komite Indonesia Merdeka atau Cenkim dan Bondan diangkat sebagai sekretarisnya. Pada 21 September 1945, pemogokan umum menentang Belanda mulai dari Brisbane menjalar ke seluruh Australia dan Selandia Baru, terus ke Amerika Serikat, Eropa dan Timur Tengah. Di manapun kapal Belanda berada apalagi yang membawa peralatan perang, tidak bisa bergerak akibat pemboikotan ini. Atas nama Cenkim, Bondan mencoba menghubungi beberapa tokoh dunia. Surat tertanggal 17 Juni 1946 kepada Department of State agar Amerika Serikat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di PBB, mendapat balasan yang ditandatangani oleh Alger Hiss, Direktur Kantor Khusus urusan politik. Cenkim juga menulis surat tertanggal 30 Januari 1947 kepada DR.R.V Evatt, Menteri Luar Negeri Australia yang ketika itu sebagai Ketua Konferensi Asia Pasifik mengadukan bahwa Belanda mempunyai kamp Konsentrasi bagi buangan politik di Digoel, Irian (Papua). Pada 21 Juli 1947, Belanda merobek-robek perjanjian Linggarjati (Linggajati) dan mengadakan serangan ke republik. Cenkim mengadukan hal itu ke Perdana Menteri Australia, J.B.Chifley, yang membalas suratnya tertanggal 24 Juli 1947. Surat ke Sekjen PBB dibalas tanggal 31 Juli 1947, yang ditandatangani oleh acting sekjennya. Oktober 1947, dengan pesawat komisi perdamaian yang bernama Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia dan Amerika Serikat ), Bondan beserta keluarga dipulangkan ke Ibukota Republik Indonesia masa itu, yaitu Jogjakarta. 6 Februari 1981, Bondan meninggal di Jakarta dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. (ysf)

Tags :
Kategori :

Terkait