NU Ajak Warga Tangkis Radikalisme dan Terorisme
Banyak cara yang dilakukan oleh teroris untuk membuat gaduh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mulai dari teror bom di tempat wisata dan rumah ibadah, sampai menebar ancaman memberikan racun dan merencanakan membakar pasar elektronik terbesar di Indonesia.
SUMBER – “Dari tahun 2002 sampai dengan 2014 sudah terjadi 215 kasus terorisme di Indonesia, paling populer dan menyedot perhatian khalayak dunia bom Bali I dan II,” ucap seorang peneliti dari Universitas Indonesia (UI) Sholahudin MA saat menyampaikan hasil kajian dan penelitiannya di hadapan para Danramil, Kapolsek, MWC Nahdlatul Ulama (NU), mahasiswa dan pelajar se-Kabupaten Cirebon dalam Halaqoh Kontra Radikalisme, yang diselenggarakan oleh PCNU Kabupaten Cirebon, di Gedung NU Center, Sumber, kemarin.
“Mereka mengekstrakkan buah jarak menjadi racun dengan sasaran para aparat kepolisian. Terbaru, mereka berencana ingin membakar Pasar Glodok sebagai bentuk balasan atas tindakan Myanmar menyiksa muslim Rohingya. Sebab, pasar tersebut mayoritas pedagangnya adalah etnis Tionghoa beragama Budha,” paparnya.
Dia mengatakan, gaya baru teroris ini dianggap lebih murah ketimbang melakukan bom bunuh diri. Namun, upaya tersebut keburu tercium oleh aparat kepolisian, kemudian menangkap para pelakunya. Ada juga gaya baru yang paling murah dan banyak disukai oleh teroris, yakni dengan membunuh sasarannya. “Mereka mengincar aparat kepolisian yang tengah pulang tugas dan sudah ada beberapa contoh kasusnya,” katanya.
Dari segi pendanaan, pada kasus bom Bali I dan II, dipasok dari luar negeri. Tapi, saat ini sudah mulai didanai dari dalam negeri. Para teroris, aktif mengumpulkan pundi-pundi dari orang kaya yang simpati atas gerakan mereka. Bahkan, mereka pun berani melakukan aksi perampokan dan tak segan melukai korbannya. “Latihan di Aceh yang terendus beberapa waktu lalu, ternyata telah memakan dana miliaran rupiah dan sumbernya dari dalam negeri,” ungkapnya.
Dari beberapa kali aksi perampokan, kelompok teroris ini bisa mendapatkan uang sebesar Rp1 miliar lebih. Bahkan, dalam satu kasus perampokan secara online di Medan, Sumatera Utara, mereka bisa menggaet uang senilai Rp7 miliar. “Tapi, nampaknya iman mereka tergoda, bukannya untuk latihan militer, tapi malah dibelikan rumah, mobil dan dibawa ke Poso sebesar Rp200 juta untuk menikah,” lanjutnya.
Aksi terorisme yang sudah muncul sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang, tampaknya sudah ada beberapa pergeseran motif. Pada awalnya, mereka menganggap Amerika Serikat dan antek-anteknya adalah musuhnya. Namun, belakangan mereka beralih kepada polisi. “Mereka menganggap polisi banyak menangkap dan menembak teman-temannya, sehingga polisi dianggap sebagai musuhnya sekarang,” beber pria berkacamata ini.
Meski akhirnya dimusuhi, dengan aksi sigap aparat kepolisian dengan Densus 88-nya, berhasil menurunkan angka aksi terorisme di Indonesia, sebanyak 1.050 pelaku teroris berhasil mereka tangkap. Kemudian, meletusnya perang di Syria dan munculnya ISIS menjadi salah satu penyebab para teroris bermigrasi dan membantu saudaranya di sana. “ISIS dianggap paling berkomitmen dalam menerapkan syariat Islam, Syria sebagai tempat peperangan di akhir zaman dan ISIS memberikan janji penghasilan dan penghidupan yang layak bagi mereka,” ujarnya.
Sementara, Dr Ahmad Suaedy yang juga seorang akademisi UI menyampaikan, karakteristik radikalisme yang berkembang di Indonesia saat ini bisa dilihat dari beberapa indikator, seperti mengedepankan egoisme, tidak mau berdialog, menghalalkan kekerasan, intoleransi. Kaum ekstrimis juga sudah tidak lagi melakukan gerakan dipusat kota, tapi sudah masuk ke kampung-kampung. Bahkan, sekolah menjadi sasaran empuk untuk mencari kader. “Gerakan mereka sudah terdesentralisasi, bahkan berani terbuka,” ucapnya.
Dandim 0620 Kabupaten Cirebon Letkol (Inf) A Mahmudi, dalam mengantisipasi tindakan radikalisme dan terorisme di Kabupaten Cirebon, pihaknya senantiasa mengedepankan dialog dengan tokoh agama, masyarakat dan pemuda. “Silaturahmi menjadi fokus kami dalam membentengi masyarakat terhadap gerakan ini, sehingga kondusivitas daerah tetap terjaga,” terangnya.
Sedangkan, Wakapolres Cirebon Kompol Eka Yekti Hananto Seno menghimbau kepada ulama dan tokoh agama untuk sama-sama saling mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan umatnya. Sebab, munculnya gerakan radikalisme dan terorisme itu karena kelengahan. “Kita tidak boleh lengah,” pungkasnya.
Acara yang berlangsung selama 2,5 jam ini ditutup dengan penandatangan MoU antara PCNU Kabupaten Cirebon, dengan Polres Cirebon dan Kodim 0620 Kabupaten Cirebon untuk sosialisasi pencegahan radikalisme agama kepada masyarakat di Kabupaten Cirebon (jun)