Korban Pedofilia Perlu Penanganan Enam Bulan

Senin 26-10-2015,09:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

KASUS pedofilia di Kuningan menjadi perhatian semua pihak. Tak terkecuali dari para psikologi. Mereka ikut prihatin dengan merebak kasus ini. Dan mereka sangat kaget karena kasus pelecehan terhadap anak-anak ternyata korbannya cukup banyak di Kota Kuda. “Setelah baca berita, saya kaget, ternyata jumlahnya sangat banyak. Kasus ini perlu penanganan khusus karena masalahnya masuk kategori besar,” ucap Ani Susriani Psi kepada Radar, kemarin. Psikolog yang mendirikan Biro Psikologi dan Pendidikan Bina Insani di Kuningan tersebut menyebut, pedofil adalah seseorang yang memiliki gangguan kepribadian berupa ketertarikan seksual terhadap anak-anak. Hal ini umumnya terjadi pada laki-laki. Paedofil biasanya menunjukkan perilaku tertentu jika ingin menjadikan anak-anak sebagai target. Paedofil akan melakukan pendekatan pada anak atau disebut \"grooming\". Tanda-tanda grooming seperti perhatian terhadap anak dan memenuhi semua permintaan anak. Hal itu yang harus diperhatikan dan diwaspadai oleh orang tua di rumah dan guru di sekolah. Paedofil, lanjut dia, memiliki perilaku sayang atau sangat cinta terhadap anak, serta ramah dan hangat ketika berbicara dengan anak. Dengan melakukan grooming, pedofil ingin membuat anak percaya kepadanya hingga akhirnya dapat menyentuh tubuh anak dan terjadilah kekerasan seksual. Ironisnya, kata dia, kebanyakan pelakunya adalah orang-orang terdekat, misalnya ayah sendiri, paman, sepupu, pengasuh, ataupun tetangga. Mengenali ciri-ciri pedofil dapat menjadi salah satu langkah melindungi anak dari kekerasan seksual. Dampak bagi anak yang menjadi korban pedofil  banyak dan luas. Yang paling sering muncul adalah perubahan perilaku. Misalnya, semula ceria menjadi murung. Bagi mereka yang mengalami kekerasan secara fisik, pastinya akan mengalami kesakitan, seperti luka atau iritasi di alat kelamin. Bahkan ada yang menjadi sangat ketakutan karena takut dianggap sebagai orang yang salah. Kadang-kadang, anak yang menjadi korban malah takut dimarahi oleh orang tuanya, sehingga mereka cenderung menarik diri dan tidak mau berteman. Mereka lebih sering melakukan kegiatan secara sendiri, walaupun ada beberapa anak yang tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Anak yang menjadi korban pedofil membutuhkan pendampingan dan harus terus dipantau kondisinya apakah ada masalah emosi atau perilaku pasca peristiwa tersebut. Kalau belum ada, tetap dipantau karena mereka berisiko tinggi mengalami gangguan perilaku. “Minimal harus dilakukan pedampingan selama enam bulan. Sebab, yang paling sulit adalah menghilangkan trauma,” ucapnya. Dikatakan, anak-anak yang menjadi korban harus mendapat perhatian dan dukungan dari orang di sekitarnya agar luka fisik serta trauma psikisnya bisa disembuhkan. Orang tua bisa mencari bantuan untuk terapi anak ke psikolog atau psikiater untuk memulihkan luka batin anak. Adapun terapinya bermacam-macam. Untuk anak yang masih kecil biasanya dilakukan terapi bermain. Misalnya anak diajak menggambar untuk membantu anak mengekspresikan perasaannya, sehingga anak bisa mencurahkan perasaannya lewat gambar. Selain itu juga dilakukan terapi kognitif dan berbagai terapi lain sesuai kondisi anak. Tujuan awalnya adalah menjalin emosi dengan anak sehingga anak tetap bisa mengekspresikan perasaannya meski tidak selalu lewat kata-kata. Sementara itu, untuk pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seksual pada anak di sekolah. Lalu, pendidikan seksual bukan dalam arti memberikan informasi tentang hubungan seksual, tetapi pelajaran mengenai tubuh dan perbedaan antara lelaki dan perempuan. Kemudian, guru-guru memberikan perhatian dan perlindungan yang lebih terhadap anak-anak selama di sekolah.  Membangun komunikasi yang intensif dengan orang tua murid. Untuk pencegahan, kata Ani, yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah para orang tua harus waspada terhadap orang dewasa yang berada di sekitar rumah karena tanpa kita sadari pelaku pedofil adalah orang yang dekat dengan si anak. Lebih lanjut Ani menjelaskan, hal lain untuk pencegahan adalah memberikan pendidikan seksual pada anak-anak mengenai ciri-ciri kelamin dan menjelaskan bagian tubuh yang boleh disentuh dan yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Lalu, selalu mengingatkan anak agar tidak mudah terbujuk oleh orang yang dikenal dekat sekalipun. Poin selanjutnya adalah  membangun budaya untuk saling membagi cerita. Manfaat dari budaya bercerita adalah anak bisa bercerita kepada orang tua dengan nyaman ketika mereka mendapat gangguan dari temannya, lingkungan rumah atau bahkan anggota keluarga. Orang tua juga harus bisa bekerja sama dengan pihak sekolah. Kemudian, orang tua dengan guru dan kepala sekolah harus membangun komunikasi yang baik sehingga informasi yang muncul selalu terintegrasi. Misalnya, ketika di rumah anak bercerita sesuatu, maka orang tua bisa sharing ke gurunya. Sebaliknya, guru juga bisa sharing ke orang tua kalau melihat ada perubahan pada anak untuk mendeteksi ada atau tidaknya tindak kekerasan seksual. (mus)

Tags :
Kategori :

Terkait