SAYA lagi mampir Paris dua hari. Dalam perjalanan pulang dari Kolombia dan Meksiko. Tidak ada tujuan apa-apa. Tumben. Mungkin karena sudah 7 tahun saya tidak ke Paris. Sejak terlibat di pemerintahan dulu. Kangen. Mungkin juga karena ternyata selama ini saya tidak benar-benar tahu Paris. Dulu, ketika masih sering ke Prancis, saya selalu hanya menjadikan Paris tempat lewat. Begitu mendarat di Paris, saya langsung menuju lokasi-lokasi pabrik kertas. Atau lokasi pabrik yang membuat pabrik kertas. Yang biasanya berlokasi di pelosok-pelosok desa: Lille, Normandi, Grenoble, dan seterusnya. Tiba kembali di Paris tengah malam. Tidur. Pukul 5 pagi ke pelosok lagi. Waktu itu saya memang lagi mau membangun pabrik kertas koran. Beberapa tahun kemudian, saya sering ke Prancis lagi. Tapi juga ke pelosok-pelosok. Ke pembangkit-pembangkit listrik. Yakni, untuk persiapan membangun pembangkit listrik di sebelah pabrik kertas di Gresik. Baru kali ini saya tahu bahwa Paris itu ternyata seperti dibilang banyak orang: cantik. Pakai sekali. Mendengar saya lagi di Paris, anak wedok saya bermanja: minta dibelikan tas Chanel. Saya pernah mendengar merek tas mahal Chanel, tapi terus terang saya tidak tahu seluk-beluknya. Istri saya tidak pernah bermanja seperti itu. Karena itu, agar tidak salah, saya minta diberi petunjuk yang terperinci. Putri saya pun mengirimkan foto-fotonya: muka, belakang, atas, bawah, jarak jauh, dan jarak dekat. Mungkin diambil dari internet. Dia pun menyebut jenisnya: Chanel Boy 25. Seumur-umur baru sekali ini saya mendengar tas dengan nama seperti judul film itu. Waktu saya berjalan di sepanjang Champ Elysees (baca: song elize) yang terkenal itu, anehnya, tidak ada satu pun toko Chanel di situ. Yang ada Louis Vuitton. Dan sebangsanya. Berita duka itu saya kabarkan ke Surabaya. Dasar anak sekarang, saya pun dikirimi alamat beserta petanya. Rupanya didapat dari Google Map. Oh, kalau itu sih di dekat hotel saya. Di mal bawah tanah Museum Louvre. Kebetulan, sejak membaca novel DaVinci Code, saya memang bermimpi ke museum itu. Untuk melihat piramida kaca dan lukisan Monalisa. Dua benda yang dimisteriuskan secara memikat di novel karangan Dan Brown tersebut. Saya berhasil menemukan lokasi di mana di museum yang grande itu lukisan Monalisa digantung. Tapi, tidak bisa mendekat. Ratusan orang memenuhi ruangan itu. Dengan mengacungkan handphone. Memotret. Ternyata, lukisan asli Monalisa itu kecil sekali. Tenggelam oleh pengunjung. Novel yang terjual hampir 100 juta buku tersebut pastilah penyebabnya. Saya juga berhasil menemukan toko Chanel di bawah museum. Tapi, yang dijual hanya kosmetik. Tidak ada Boy 25. Demi sang putri, saya jalan kaki ke sepanjang Medellin Evenue yang tersohor itu. Merek-merek terkenal juga berpusat di sini. Ternyata, di Medellin Evenue pun tidak ada. “Sombong banget merek ini,” kata saya dalam hati. Saya pun lari ke internet. Harus ketemu. Ternyata, pusat Chanel ada di sebuah jalan kecil tidak jauh dari Medellin. Benar-benar pede merek ini. Rupanya, hanya sebangsa saya yang tidak tahu alamat tersebut. Buktinya, begitu tiba di jalan kecil itu, orang sudah berjubel di depan toko: antre! Yaaa ampuuun. Beli tas antre! Satpam toko mengatur kapan antrean paling depan boleh masuk. Saya pun begitu gembira ketika dapat giliran masuk. Saya berniat dengan semangat 45 akan membelikan pula istri saya. Kalau putri saya minta Boy 25, saya akan buat kejutan untuk istri saya: Boy 28. Ini saya rahasiakan dari anak saya. Juga tidak saya bocorkan kepada istri. Dengan gegap gempita (dalam hati), sampailah saya di ruangan yang memajang tas. Pesss. Kempes. Hati saya pun seperti es krim jatuh dari cable car: kecewa. Boy 25 habis. Demikian juga Boy 28. Saya belum menyerah. Ada info bahwa di mal terkenal itu, Galeries Lafayette, mungkin ada. Saya pun ke sana. Sekalian ingin ke gedung concert nasional untuk nonton orkestra. Ampun! Manusia berjubel di Lafayette. Mana itu krisis ekonomi? Di sini pun untuk masuk ke toko Chanel harus antre! Saya amati beberapa orang yang ingin langsung masuk ditolak. Kelihatannya pengunjung dari Tiongkok. Harus antre. Dari yang antre saat ini (Selasa, 27 Oktober 2015 pukul 16.00), saya lihat 50 persennya turis dari Tiongkok. Yang di depan saya pasangan muda dari Sichuan. Yang di belakang saya pasangan muda dari Wuhan. Saya mengenal baik dua daerah itu. Sambil antre, saya berbincang dalam bahasa Mandarin dengan mereka. Kian banyak saja orang kaya di Tiongkok. Begitu antrean saya tiba paling depan, petugas bertanya: Tujuannya beli apa? Saya tidak tersinggung. Pasti bukan karena saya hanya pakai kaus dan sepatu kets. Terbukti semua ditanya seperti itu. Ketika saya jawab bahwa saya akan beli Boy 25, dia langsung berkata: Habis. Boy 28? Juga habis. Saat itu di Indonesia sudah tengah malam. Putri saya masih on. Tapi, begitu mendapat berita duka tersebut, dia langsung kirim WA: Ya sudah, saya tidur saja. Saya berdoa semoga tidak terbawa mimpi. Istri saya tidak kecewa karena memang tidak tahu. Dalam hati, saya merasa bersalah. Selama ini paling banter hanya membelikan istri tas dari Shenzhen. (*)
Tugas Berburu Boy 25 sampai Lafayette
Kamis 29-10-2015,16:56 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :