7,56 Juta Orang Nganggur

Jumat 06-11-2015,19:37 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Ekonomi Kita Masih Lambat, Gelombang PHK Terus Terjadi JAKARTA- Perlambatan ekonomi global dan juga domestik mulai berdampak bagi sektor industri padat karya. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pun terus terjadi, khususnya perusahaan-perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Agustus 2015, terdapat 7,56 juta orang yang menganggur. Angka pengangguran tersebut meningkat sebanyak 0,24 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. “Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ini memang terus meningkat. Pada Agustus 2014 TPT-nya 5,94 persen, Agustus ini sudah mencapai 6,18 persen. Jadi jumlah orang yang menganggur itu bertambah sebanyak 320 ribu orang, dibanding periode Agustus tahun lalu,\" papar Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Kecuk Suhariyanto di Gedung BPS, kemarin. Kecuk melanjutkan, selama setahun terakhir, kenaikan penyerapan tenaga kerja terutama di sektor konstruksi mencapai 930 ribu orang, kemudian sektor perdagangan sebanyak 850 ribu orang dan sektor keuangan sebanyak 240 ribu orang. Menurut dia, terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. “Tapi karena lemahnya daya serap tenaga kerja di sektor industri, pergeseran sektor itu menjadi penyebab tingginya angka pengangguran,\" katanya. Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS Razali Ritonga mengamini pernyataan Kecuk. Dia menekankan, pertambahan pengangguran tersebut dipicu meningkatnya jumlah angkatan kerja, namun daya serap tenaga kerja dari sejumlah industri justru menurun. Akhirnya, terjadi PHK. \"Ya memang ada PHK dan daya serap yang agak menurun, sehingga pengangguarn agak meningkat. Jadi ada new entry yang pencari kerja baru tidak terserap ditambah sebagian ada PHK, sehingga ada mismatched,\" papar Razali di Gedung BPS, kemarin. Razali menuturkan, sektor industri yang paling banyak terpukul akibat gejolak ekonomi global ini adalah industri yang bergantung pada impor, khususnya bahan baku. Dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, beban biaya produksi pun makin bertambah. Mereka pun memutuskan melakukan penghematan ongkos produksi. \"Salah satu caranya dengan mengurangi tenaga kerja. Jadi memang kebanyakan (industri) yang bergantung dengan impor, nilai tukar naik, yang impor rugi, yang ekspor untung,\" paparnya. Terkait tingkat pengangguran berdasar pendidikan, Razali menuturkan, per Agustus 2015, pengangguran terbanyak justru berasal dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan presentase 12,65 persen. Menurut dia, skill spesifik yang dimiliki lulusan SMK tersebut, cukup menyulitkan dalam mencari pekerjaan. “Kalau sekolah jurusan kan dia spesialis. Nah, ketika di lapangan kerja sesuai keahlian dia tidak ada, maka dia sulit untuk mencari kerja ke sektor lain. Jadinya tidak fleksibel,” imbuhnya. Sementara itu, keadaan ketenagakerjaan di Indonesia menunjukkan, jumlah angkatan kerja hingga Agustus ini, bertambah 510 ribu orang menjadi 122,38 juta, jika dibandingkan dengan posisi Agustus 2014 yang sebanyak 121,87 juta jiwa. Sedangkan penduduk bekerja per Agustus 2015 bertambah sebanyak 190 ribu orang bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Penyerapan tenaga kerja pada periode ini masih didominasi penduduk berpendidikan rendah yakni SD ke bawah dengan jumlah 50,8 juta orang dan SMP sebanyak 20,7 juta orang. “Penduduk berpendidikan tinggi yang terserap dalam dunia kerja hanya sebanyak 12,6 juta orang, yang mencakup 3,1 juta berpendidikan diploma dan sebanyak 9,5 juta berpendidikan universitas,” urai Razali. Membengkaknya angka pengangguran menjadi perhatian serius pemerintah. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, selain faktor PHK, naiknya jumlah pengangguran juga disebabkan oleh penciptaan lapangan kerja yang lebih kecil dibanding pertumbuhan angkatan kerja baru. “Artinya, pertumbuhan ekonomi kita belum optimal menyerap tenaga kerja,\" ujarnya saat ditemui di Kantor Presiden kemarin (5/11). Darmin menyebut, tren naiknya angka pengangguran memang sudah terlihat dalam beberapa waktu terakhir. Karena itu, pemerintah pun sudah merespons dengan berbagai paket kebijakan untuk mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja baru. \"Tapi paketnya kan baru mulai September. Saya yakin dalam beberapa bulan ke depan penyerapan tenaga kerja akan makin baik,\" katanya. Pernyataan Darmin tentang kurangnya penyerapan tenaga kerja diamini oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani. Dia menyebut, investasi sektor padat karya sepanjang semester I 2015 memang menyusut dibanding periode sama 2014. \"Turunnya 20 persen,\" sebutnya. Data BKPM menunjukkan, ada dua sektor penting yang menunjukkan penurunan investasi. Pertama, industri padat karya yang pada semester I 2015 mencatat investasi Rp28,57 triliun, turun 20,33 persen dibanding realisasi periode semester I 2014 yang mencapai Rp35,86 triliun. Kedua, sektor industri yang berorientasi ekspor yang pada semester I 2015 membukukan investasi Rp15,25 triliun, turun10,61 persen dibanding periode semester I 2014 yang sebesar Rp17,06 triliun. \"Penurunan investasi di industri orientasi ekspor ini bisa dipahami karena pasar global memang lesu,\" katanya. Karena itu, lanjut mantan ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tersebut, pemerintah berupaya maksimal untuk mendongkrak kembali kucuran investasi di sektor industri padat modal. Apalagi, lesunya ekonomi dalam setahun terakhir sudah memicu PHK oleh sebagian perusahaan. Salah satu caranya adalah dengan memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha terkait upah tenaga kerja melalui penetapan formula. \"Sebab, salah satu keluhan utama industri padat karya adalah upah tenaga kerja,\" ucapnya. Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengaku belum membaca data BPS terbaru terkait angka pengangguran. Namun, Dede menilai angka itu bisa menjadi patokan, jika didasarkan pada jumlah data PHK yang pernah dirilis oleh Apindo dari berbagai perusahaan. “Angka itu bisa menjadi data kompilasi baru,” kata Dede saat dihubungi. Menurut Dede, penambahan angka pengangguran di bulan Agustus menunjukkan ada kebijakan pemerintah yang belum menyentuh angka pengangguran. Memang benar ada investasi yang masuk, termasuk MoU dari sekian proyek dilakukan pemerintah. Namun, semua itu adalah proyek nanti, yang belum bisa dirasakan langsung oleh para korban PHK yang menjadi pengangguran. “Saya berpikir seharusnya pemerintah menyelamatkan (pengangguran) itu. Apa yang bisa diselesaikan dalam kurun enam bulan, bukan proyek yang baru dua tahun baru selesai, mau menunggu sambil makan apa mereka,” ujar anggota Fraksi Partai Demokrat itu. Menurut Dede, Komisi IX DPR sudah beberapa kali memberikan rekomendasi kepada Menteri Tenaga Kerja, bagaimana solusi mengatasi masalah pengangguran. Hal pertama yang dilakukan bagaimana pemerintah mengupayakan jangan sampai ada PHK, dengan memberi ruang kepada industri. Selain itu, kepada yang sudah terlanjur di-PHK, selain bantuan Jaminan Hari Tua (JHT) pemerintah perlu memberikan program buffer, seperti bimbingan dan akomodasi kepada pengangguran. Tak lupa, pemerintah harus menciptakan lapangan kerja sebesar-besarnya. “Lapangan kerja ini harus fokus padat karya, bukan padat modal dan mesin saja. Kalau anda lihat proyek jalan tol, itu banyakan mesinnya. Artinya itu tidak padat karya,” jelasnya. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan pengangguran tersebut merupakan dampak dari dua faktor yang menghambat penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan. Yakni, perlambatan ekonomi dan isu penetapan upah minimum pekerja. “Dengan adanya perlambatan ekonomi, mau tidak mau pengusaha pasti berpikir untuk menambah karyawan. Ditambah lagi dengan kekhawatiran soal beban upah tahu depan. Bukannya menambah pekerja tapi malah merampingkan,” terangnya. (ken/owi/bay/bil)

Tags :
Kategori :

Terkait