Belasan pesawat terparkir rapi di Bandar Udara Cakrabuana Penggung, Minggu (6/12). Di tempat tersebut, terlihat pesawat dengan tampilan unik nan klasik. Ada pesawat perintis Cessna, ada juga pesawat tempur canggih buatan Amerika dan Rusia seperti F-16 dan Sukhoi.
TAPI jangan salah. Pesawat-pesawat tersebut bukan pesawat sesungguhnya. Pesawat tersebut adalah pesawat yang digunakan dalam olahraga kedirgantaraan yakni aeromodelling. Ada pesawat yang hampir mirip dengan pesawat aslinya yang dinamakan pesawat scale (perbandingan dengan ukuran sebenarnya), ada pula pesawat dengan bentuk unik, dan tentunya belum pernah dilihat masyarakat umum.
Pengurus Komunitas Aeromodelling Cirebon (KAC), Dadang Ruskandar yang ditemui Radar di Bandar Udara Cakrabuana Penggung mengatakan, untuk jenis aeromodelling dibagi menjadi dua, yakni fixed wing dan rotary wing. “Fixed wing itu pesawat yang menggunakan sayap, sementara rotary wing adalah yang mengadopsi sistem dari rotor helicopter,” ujarnya.
Saat ini di aeromodelling ada dua tipe pesawat menurut jenis sistem penggerak. Ada yang menggunakan engine yakni mesin penggeraknya memakai sistem pembakaran, ada yang berbahan bakar etanol, gasoline atau bensin, ada juga sistem elektrik dengan mesin penggeraknya menggunakan tenaga baterai. “Kelemahan engine adalah tidak tahan air, sementara elektrik cenderung tahan segala kondisi, bisa terbang dalam kondisi hujan juga,” imbuh Dadang.
Dadang pun mencontohkan, untuk satu pesawat aeromodelling jenis Cessna 195 menggunakan OS 55AX atau setara dengan mesin 8 Cc, pesawat ini termasuk pesawat miniatur atau pesawat scale karena pesawat aslinya dengan jenis tersebut ada dan sudah beroperasi. Dalam satu pesawat minimal harus ada empat cervo, alat yang satu ini berguna untuk mengontrol pergerakan naik turun dan kemampuan pesawat untuk melakukan manuver di udara.
Untuk Kota Cirebon, perkembangan aeromodelling memang masih belum signifikan. Malah komunitas yang didirikan dari tahun 2007 tersebut masih beranggotakan 24 orang. Jumlah ini tentu jauh angkanya dengan pehobi pesawat tanpa awak yang kini sedang tren yakni drone.
Dari sisi perawatan, untuk pesawat-pesawat aeromodelling memang harus rutin. Mulai pengecekan berbagai kelengkapan elektriknya, sampai dengan perawatan mesin yang hampir sama dengan perawatan kendaraan bermotor. “Walaupun sama-sama terbang, kita ini beda dengan drone. Hampir seluruh sistem yang dipakai di aeromodelling ini manual, sementara drone sudah digital. Tentunya ada perawatan ekstra yang harus dilakukan demi mencapai umur maksimal ketahanan mesinnya,” tuturnya.
Dadang pun tidak menampik jika bujet yang dikeluarkan untuk olahraga ini tergolong besar. Namun untuk para pemula yang ingin mencoba bisa menggunakan pesawat-pesawat handmade yang untuk onderdilnya bisa dirakit sendiri. “Bisa beli part-nya secara terpisah, dan bikin pesawatnya secara handmade. Bahannya bisa dari kayu balsah, styrofoam, fiber dan plastik. Untuk radio kontrolnya bisa maksimal sampai 2 KM,” tambahnya.
Salah satu peserta asal Leuwimunding, Majalengka, Toye yang ditemui Radar dalam acara tersebut mengatakan, risiko selalu ada dalam setiap hal. Salah satunya jika saat terbang pesawat tidak bisa dikendalikan dan akhirnya mendarat dengan keras pada landasan yang keras pula. “Tadi pesawat saya hilang kendali, dan hancur saat jatuh menghajar permukaan aspal. Kalau ditotal, mungkin seharga Rp3 juta dari mesin dan lain-lain yang rusak,” pungkasnya.
Sementara itu, DanPos Bandara Cakrabuana Penggung, Letda Lek Budi Hernawan mengatakan, acara yang digelar di tempatnya tersebut adalah acara funfly dengan peserta dari berbagai daerah seperti Jakarta, Tegal, Purwakarta dan sejumlah daerah di Jawa Barat. Hal tersebut sebagai bentuk dukungan dan upaya memasyarakatkan olahraga kedirgantaran, dengan penanggung jawab AURI. “Ke depan mudah-mudahan segera bisa masuk KONI dan jadi salah satu cabor yang nantinya bisa dipertandingkan di PON ataupun even-even lainnya. Tadi kita juga sudah undang pengurus KONI untuk hadir,” katanya. (andri wiguna)