Cerita Aop Saopudin, Guru yang Dianiaya dan Dipotong Rambutnya oleh Orang Tua Siswa Senin 19 Maret 2012 mungkin tak akan pernah dilupakan Aop Saopudin SpdI. Upaya Aop mendisiplinkan anak didik dengan memotong rambut salah satu siswanya justru berujung masalah. Aop dianiaya oleh orang tua siswa, bahkan rambutnya dipotong. Kasus ini berproses di ranah hukum karena Aop dan orang tua siswa saling lapor polisi. Tapi akhirnya Mahkamah Agung (MA) menyatakan orang tua siswa yang bersalah. Bukan Aop. Ono Cahyono, Majalengka PERISTIWA itu terjadi di SDN Panjalin Kidul V, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka. Aop masih ingat betul, saat itu usai upacara, seluruh siswa masuk kelas. Aop sendiri masuk ke kelas III menanyakan peserta didiknya yang masih berambut gondrong. Ketika itu sebagian siswa sudah terlihat rapi. Namun ada beberapa siswa yang rambutnya masih panjang. Aop pun mengambil tindakan mendisiplinkan siswa dengan berupaya memotong rambut. Salah satunya adalah siswa berinisial T. \"Saya sudah memperingatkan sejak Jumat (16/3). Tapi ada sebagian siswa termasuk T rambutnya tetap masih panjang. Pada saat itulah saya memotong rambunya,\" cerita Aop saat ditemui di SDN Panjalin Kidul V, Senin (4/1). Tak disangka, T melaporkan tindakan Aop kepada orang tuanya. Aop pun diintimidasi. Dia bahkan diancam akan dibunuh. \"Hari itu di Pasar Prapatan kala itu saya pulang dari ngajar dan bertemu dengan beliau (orang tua siswa, red) untuk mengklatifikasi soal perbuatan saya. Tapi tetap terjadi tindakan potong rambut terhadap saya. Saya sebenarnya sudah minta maaf, tapi orang tua murid belum puas,\" kata Aop. Proses hukum pun berjalan. Setelah melewati berbagai tahapan sidang, akhirnya Aop divonis bersalah di PN Majalengka. Yang menarik, vonis di tingkat PN Majalengka bertepatan saat momen Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Kamis 2 Mei 2015. Kala itu majelis hakim PN Majalengka menyatakan Aop bersalah dan menjatuhkan vonis tiga bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Kala itu, vonis tersebut dianggap sebagao kado terpahit bagi para pelaku dunia pendidikan, khususnya para guru di Majalengka. Majelis hakim yang diketuai Tardi SH dengan hakim anggota Achmad Budiawan SH dan Guse Prayogi SH membacakan putusan perkara dengan nomor register SH.257/pidB/2012/Pn.Mjl, yang proses persidangannya sudah berlangsung sejak Oktober 2012 lalu. Berdasarkan pertimbangan dari keterangan saksi dan alat bukti yang dihadirkan selama 28 kali proses sidang, majelis hakim memutuskan Aop bersalah atas dakwaan alternatif ketiga yang dituntutkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni pasal 335 KUHPidana tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Sontak, pembacaan vonis hakim tersebut disambut dengan gemuruh teriakan istighfar dari puluhan guru yang memadati ruang sidang utama dan teras PN Majalengka. Mereka menilai vonis terhadap Aop melemahkan posisi guru sebagai pendidik. Dalam sidang yang berlangsung dengan pengamanan ketat dari petugas kepolisian itu, Aop dan kuasa hukumnya M Alwan Husen SH MH langsung menyatakan keberatan. “Kami keberatan dan akan melakukan banding ke PT (Pengadilan Tinggi, red),” jelas Alwan. Para guru yang hadir saat sidang vonis, terutama dari kalangan perempuan, tampak menitikan air mata saat mendengar majelis hakim membacakan vonis bersalah kepada Aop. Beruntung, MA menyatakan Aop tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan pertama atau kedua atau ketiga. Nasib berbeda justru dialami orang tua siswa yang memotong rambut Aop. Sang orang tua siswa sendiri semula juga dihukum percobaan di PN Majalengka. Tapi oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, majelis hakim mencoret hukuman percobaan dan menjatuhkan pidana penjara kepada sang orang tua selama tiga bulan. Hukuman kepada sang orang tua ini kemudian dikuatkan di tingkat kasasi. Kini Aop tetap aktif mengajar di SDN Panjalin Kidul V. Kemarin koran ini menemuinya saat hari pertama kegiatan belajar mengajar (KBM) awal semester kedua pasca libur semester ganjil. Aop seperti sudah mengetahui kedatangan koran ini untuk menanyakan informasi putusan MA yang menyatakan dirinya tak bersalah. Apakah Aop trauma? Kepada koran ini dia mengaku trauma. Bahkan awalnya enggan berkomentar soal keputusan MA tersebut. Karena dia tidak ingin masalah ini mencuat kembali. Bagi Aop, itu adalah masa lalu. Dia hanya bersyukur atas keputusan dan dinyatakan telah bebas. “Trauma tetap ada. Saat ini saya syukuri apa yang diputuskan MA,” ujarnya. Warga Blok Kamis, RT 01/07, Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka, itu mengaku tiga tahun menjalani proses hukum merupakan sebuah masalah yang sangat besar. Aktivitas mengajar pun dikurangi. “Kalau mesti bilang perasaan hati trauma tetap ada. Saya hanya berharap tidak ada guru atau Aop- Aop yang lain di kemudian hari,\" harapnya. Aop juga berharap para guru tidak takut untuk mendisiplinkan anak didik. Guru, kata Aop, bukan hanya mengajar, namun juga mendidik moral dan mental yang kuat terhadap anak didik. Pria asal Kabupaten Kuningan ini mengucapkan terima kasih kepada Pemkab Majalengka, PGRI, Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) Kabupaten Majalengka dan semua guru yang telah memperhatikan dan mendukungnya selama menjalani proses hukum. “Banyak bantuan baik moril maupun materil untuk menyelesaikan kasus yang saya hadapi. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih,” tutup Aop. (*)
Bebas, Selalu Bawa Salinan Putusan MA
Rabu 06-01-2016,00:52 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :