Dukungan Hak Interpelasi Meluas

Kamis 14-01-2016,15:43 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Hari Ini, Komisi A DPRD Bahas Kisruh Perbatasan KEJAKSAN – Kisruh perbatasan menjadi bola liar. Wacana hak interpelasi yang digulirkan Sekretaris Fraksi Bangkit Persatuan H Budi Gunawan, mendapat dukungan dari sejumlah fraksi. Bahkan rencananya, seluruh anggota Komisi A DPRD Kota Cirebon akan menggelar rapat internal terkait munculnya draf kesepakatan dua kepala daerah, mengenai batas wilayah Kabupaten/Kota Cirebon di Kompleks Pilang Setrayasa, Kelurahan Sukapura, Kota Cirebon, yang masuk wilayah Kabupaten Cirebon. “Kita sangat menyayangkan wilayah Kota Cirebon dicaplok Kabupaten Cirebon. Kenapa hal ini bisa terjadi? Atas kejadian itu, besok (hari ini, red) kita akan rapat soal batas wilayah,” ujar anggota Komisi A DPRD Kota Cirebon Andrie Sulistio SE kepada Radar, Rabu (13/1). Dia mengatakan, wilayah yang ada di Kota Cirebon harusnya dapat dipertahankan, meski ada dua opsi yang ditawarkan. “Kalau seperti itu, berarti tidak menguntungkan Kota Cirebon. Apalagi luas wilayah Kota Cirebon sangat kecil,” ucapnya. Ketua Fraksi Partai Golkar itu menjelaskan, harusnya walikota bisa bargaining atau lobi lanjutan, sebelum ditandatangani draf batas wilayah. Meski peristiwa ini sudah terjadi, hal itu semua tergantung dari masyarakat setempat. Apakah ingin menjadi warga kota atau kabupaten. “Tapi, masyarakat sudah jelas menyatakan menolak mentah-mentah masuk wilayah kabupaten,” jelasnya. Disinggung, apakah akan ada rencana interpelasi kepada walikota, Andrie mengaku belum bisa mengambil sikap karena akan mempelajarinya secara seksama. “Tapi, ketika hasil kebijakan yang diambil walikota ini salah dan merugikan Kota Cirebon, Fraksi Golkar akan menginterpelasi walikota,” tegasnya. Tommy Sofiana dari Fraksi Gerindra secara tegas mendukung penuh upaya dewan untuk menggunakan hak interpelasi terhadap walikota. Dia menilai, walikota sudah tidak peduli dengan nasib warganya di perbatasan kota. Buktinya, dengan entengnya menandatangani draft perbatasan yang dikirimkan ke Mendagri. “Saya mendukung penuh anggota dewan menggunakan hak interpelasi, dan Fraksi Gerindra terdepan mendorong interpelasi,” sambungnya. Hak interpelasi ini, kata Tommy, bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban walikota karena caranya melanggar prosedur. Dan syarat minimal untuk melakukan interpelasi, lima anggota dan atau lebih dari satu fraksi mengajukannya. Hal senada diungkapkan Sekretaris Fraksi Nasdem dr Doddy Ariyanto MM. Kepada wartawan, Doddy mendukung penuh DPRD menggunakan hak interpelasi. Karena langkah yang dilakukan walikota sangat jelas melukai hati masyarakat perbatasan. “Mereka selama ini sudah nyaman dengan berbagai pelayanan di Kota Cirebon. Ehhh…mendadak walikota membuat keputusan menyerahkan warganya ke Kabupaten Cirebon,” ungkapnya sembari menegaskan, anggota dewan menggulirkan hak interpelasi, bukan bertujuan menjatuhkan walikota, tetapi memperjelas proses yang dilakukan walikota sampai mau menandatangani draf yang merugikan Kota Cirebon. “Saya mendukung interpelasi, karena walikota tidak pernah melibatkan khalayak umum,” ujarnya. Terpisah, mantan wakil walikota, Dr H Agus Alwafier By MM menilai, kisruh batas wilayah yang muncul selama ini karena tidak ada ketegasan penataan RTRW. Yang terjadi justru malah mundur-mundur terus. Dulu, kata Agus Alwafier, sebenarnya sudah ada dialog dengan Bupati Sutisna yang hampir tuntas. Sebab bupati merespons dan memberi peluang wilayah Kota Cirebon berkembang, bahkan kembali ke sejarah di Tuparev sampai Kalikoa. Hanya saja tidak tuntas, karena keburu ganti Bupati Dedi Surpardi. Sedangkan Bupati Dedi punya sikap lain yakni mempertahankan Tuparev mulai dari jembatan. “Saat itu pendopo bupati pun diminta menjadi aset Kota Cirebon karena menjadi tidak elok pendopo bupati berada di jantung Kota Cirebon,” tegasnya. Menurut Agus, semangat penataan wilayah adalah semangat pemberdayaan agar lebih efektif dan optimal, sekaligus menata rencana tata ruang dan wilayah yang strategis untuk menambah kesejahteraan masyarakat. Agus menyarankan, kepala daerah dan DPRD duduk bersama mencari solusi strategis, begitu juga gubernur sebagai moderator bila perlu diundang sebagai perwakilan mendagri tentang bagaimana kepatutan pembagian wilayah kota dan kabupaten pinggir kota untuk kemajuan daerah dan meningkatkan pelayanan masyarakat. Kalaupun pemkot dan DPRD pernah berjuang hingga ke mendagri, jika tidak ada turun tangan dari gubernur dan mendagri, maka bupati akan terus ngotot mempertahankan wilayah, sekalipun pendoponya harus masuk ke Kota Cirebon. Sementara, mantan anggota Komisi A DPRD Kota Cirebon, Dr Cecep Suhardiman SH MH menjelaskan, waktu itu memang tinggal 7 titik batas yang belum disepakati dari 25 titik yang ada. Dokumen itu, kata Cecep, pasti ada di DPRD dan di Pemkot yang waktu itu di bawah koordinasi Asda Pemerintahan Drs H Arman Surahman MSi. Ini penting karena waktu itu momennya pas, baik di provinsi maupun di pusat, terutama kaitan Perda RTRW yang harus melalui BKTRN. Dan saat itu, yang diundang tidak hanya Kota Cirebon, tetapi juga Kota Depok, Kota Tasikmalaya dan Kota Sukabumi. Di Kota Depok ada 6 kecamatan masuk Depok dari Kabupaten Bogor yang disepakati. Kabupaten Tasik dan Kota Tasik sepakat bahwa kompleks sekda dan Pendopo Kabupaten Tasik pindak ke Singaparna. “Yang saya heran, di Kota Cirebon kenapa malah menjadi anti klimaks begini?” kata Cecep dengan nada heran. Sementara, Juru Bicara Nasrudin Azis, Umar Stanis Clau mengatakan, walikota sebenarnya sudah sering bertemu menyampaikan maksud warga ingin tetap bergabung ke Kota Cirebon. Tapi dari pertemuan itu, dikembalikan kepada kesepakatan dua daerah. Namun pada perjalanannya ternyata tidak ada kesepahaman. Akhirnya ini hasil akhirnya mendagri yang mengambil kebijakan. “Kedua kepala daerah hanya menyetujui, dan mereka sebenarnya sudah sering bertemu,” kata Clau. Namun demikian Clau menegaskan, nilai akhir dari semua ini sebenarnya bukan persoalan kalah menang, tapi adanya kejelasan status hukum kedua daerah. “Jadi tidak ada lagi daerah yang berstatus samar-samar, tapi tetap menunggu SK resmi dari Mendagri,” pungkasnya. Penentuan Batas Wilayah Harus Libatkan Dewan Pengamat Pemerintahan Dr Endang Sutrisno SH MHum mengatakan, batas wilayah baru antara Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, harus dikaji ulang. Pasalnya, pembahasan perbatasan tersebut harus melalui mekanisme tata pemerintahan, dengan melibatkan berbagai elemen. Termasuk di dalamnya eksekutif, legislatif dan tokoh masyarakat. Sebab, dalam Permendagri 76 tahun 2012 tersebut menyebutkan dalam pasal 3, penegasan batas daerah berpedoman pada yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah, peraturan perundang-undangan, dan dokumen lain yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Batas daerah tersebut ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Di dalamnya, memuat titik kordinat batas daerah yang diuraikan dalam batang tubuh, peta wilayah dan titik koordinat. Artinya, kata pria berkacamata itu, batas wilayah antara Kota dan Kabupaten Cirebon yang dipersoalkan sudah ada panduannya. Jika ingin merevisi, perlu langkah-langkah yang harus dilakukan sesuai aturan. “Ada tahapannya. Tidak asal sepakat lalu selesai,” ucapnya kepada Radar, Rabu (13/1). Tahapan dimaksud adalah penyiapan dokumen, pelacakan batas, pengukuran dan menentukan posisi batas, dan pembuatan peta batas. Kesemua itu, ujar Direktur Pascasarjana Unswagati ini, dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh para pihak. Dalam hal ini, para pihak ada pemerintah daerah yang di dalamnya ada unsur eksekutif dan legislatif. Sehingga, menjadi pertanyaan besar dalam menentukan batas wilayah yang sangat penting tidak ada pelibatan aktif dari masing-masing legislatif. Dalam Pasal 6 Permendagri 76 tahun 2012 itu, penyiapan dokumen meliputi penyiapan peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah, peta dasar, dan/atau dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi dengan kesepakatan para pihak. Karena itu, menentukan perbatasan harus ada regulasi teknis yang bersifat mengatur pada tataran pelaksanaan. Regulasi tersebut sebagai penjabaran dari lanjutan produk peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Regulasi itu jadi pijakan. Tidak asal klaim dan harus melalui kajian bersama kedua daerah,” terangnya. Di samping itu, pengaturan perbatasan dapat tertuang dalam bentuk perjanjian kerjasama antar daerah. Bila semua aturan pijakan tidak ada, harus dikomunikasikan melalui kesepakatan bersama pada tataran pemangku kepentingan dua daerah tersebut. Di dalamnya ada eksekutif, legislatif, tokoh masyarakat dan sejarawan. Secara tata pemerintahan, menentukan perbatasan tidak boleh dilakukan atas dasar klaim sepihak. Termasuk peta perbatasan yang diajukan. Secara akademik, harus ada kajian yang melibatkan ahli sejarah, tokoh masyarakat dan keraton. Secara administratif, pendopo bupati berada di wilayah Kota Cirebon. Endang menjelaskan, menentukan batas wilayah harus berdasarkan bukti otentik. Dengan demikian, hasil yang diputuskan dapat diterima kedua belah pihak. Jika berdasarkan data Pilang Setrayasa masuk wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon harus menerima. Begitupula sebaliknya. “Landasan awal harus jelas dan otentik agar bisa dipertanggungjawabkan,” pesannya. (abd/sam/ysf)

Tags :
Kategori :

Terkait